Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

26 December 2014

Perjalanan Qalbi

Perjalanan Porong-Lawang pada Kamis (25/12) siang itu ternyata banyak menyita tenaga dan waktu. Bayangkan, jarak yang biasa ditempuh hanya dalam waktu normal 2 x 30 menit (dengan mengesampingkan berhenti mengisi bahan bakar dan duduk sebentar di warung pinggir jalan-red), kali ini bisa memakan waktu sampai hampir dua jam lebih. Faktor klasik; kemacetan, masih menjadi aktor utama terhambatnya perjalanan.

24 December 2014

Membajak Einstein

Eits, tunggu dulu. Bukan bermaksud membuat bingung dengan hadirnya judul. Tapi memang, bila dikaitkan dengan rumus dari Einsten; E=Mc2, bolehlah kita katakan‘sah’ :)

Sepekan yang lalu, tepatnya tanggal 16-19 Desember 2014, sekolah kami, SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo mengadakan kegiatan. Lembaga pendidikan yang terkenal dengan akronim Musasi tersebut mengadakan acara untuk mengisi kekosongan waktu usai ujian akhir semester (UAS). Sepekan sebelumnya, saya dipanggil Bu Eni untuk menghadap.

Bila siswa yang menghadap Bu Eni, biasanya ada dua pilihan; mau mengikuti lomba atau ada urusan kedisiplinan. Tapi, berhubung status saya yang bukan lagi siswa, kedatangan saya di depan meja kesiswaan tersebut untuk menerima sebuah amanah.

Amanah itu adalah menjadi ketua penyelenggara. Awalnya saya begitu berat. Maklum, ada beberapa amanah lain yang belum bisa saya tunaikan. Nah, ini malah ketambahan amanah baru. Jangan-jangan malah entar ga bisa mengemban amanah dengan baik. Stempel “orang-orang yang tak amanah” bakal jadi label baru nanti.

Kekhawatiran tersebut akhirnya saya kikis sendiri dengan menguatkan komitmen. Maklum, kultur di Muhammadiyah adalah tidak mencari jabatan/ posisi. Tapi. Bila diberi amanah tak boleh menolak. Saya kemudian teringat kata-kata Pak Syafigh A. Mughni, ketua PP Muhammadiyah yang berdomisili di Sidoarjo.

Mantan rektor Umsida kelahiran Lamongan itu pernah ditanya perihal kesiapannya untuk maju dalam Muktamar Muhammadiyah 2015 di Makassar. Apa jawab beliau? Ternyata, untuk orang sekelas Pak Syafigh, beliau menjawab dengan penuh ketawadhu’an. “Saya akan maju bila tidak ada calon lain yang mencalonkan”, begitu jawab beliau.

Meneladani sikap Pak Syafigh diatas, maka tawaran pun kusambut dengan Bismillah. Beda kultur antara pendidikan sekolah dengan kuliah rupanya cukup terasa. Hal itu terlihat dari komposisi panitia. Menjadi ketua dengan durasi menjadi warga sekolah yang baru beberapa bulan merupakan tantangan tersendiri. Bagaimanapun, para guru senior yang berada di lingkungan sekolah juga masuk dalam koordinator lomban serta juri.

Melihat hal tersebut dan atas saran dari pengarah dan kawan-kawan yang baru. Akhirnya, kami pun bersegera membentuk konsep kegiatan. Dari latar lomba antar kelas yang biasa disebut dengan class meeting. Maka kemudian kami comot rumus Einsten agar lebih familiar. Ya, kegiatan tersebut bernama Mc2, atau “Musasi Class Meeting Championship 2K14”.

Penggunaan 2K14 menandakan tahun penyelenggaraan, seperti yang biasa kita lihat di even-even anak muda kebanyakan. Setelah nama kegiatan sudah terbuat. Kemudian saya banyak melakukan konsultasi dengan Bu Eni, yang sekaligus menjadi ketua pengarah. Dari diskusi dengan beliau, akhirnya diputuskanlah kegiatan Mc2 dibagi menjadi dua kategor lomba; olahraga dan seni. Dari olahraga ada lomba lari sprint 100 meter, sepak bola mini, badminton, tenis meja dan catur. 

Penampilan Musikalisasi Puisi
Sementara dalam bidang seni ada lomba membaca puisi, story telling, dan musikalisasi puisi. Selain untuk para siswa, even Mc2 kali ini turut melombakan lomba untuk guru dan karyawan. Untuk guru dan karyawan putra ada lomba sepak bola mini, sementara untuk guru-karyawan putri ada lomba bola voli.

Kegiatan yang berlangsung empat hari tersebut dipamungkasi dengan jalan sehat dan bazaar dari IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah). Selain itu, di hari terakhir ada pembagian doorprize jalan sehat dan pembagian hadiah para pemenang lomba, serta tak ketinggalan request lomba dari kepala sekolah; senam.

Dari kegiatan Musasi Class Meeting Championship 2K14 tersebut, saya pribadi banyak menimba ilmu dari rekan-rekan guru yang membantu. Mulai dari persiapan lomba yang kurang sehari kita dikejar waktu. Saya masih ingat hari Senin (sehari sebelum lomba dimulai. Dari pagi hingga malam, saya, pak Heri, Pak Qoisul, Pak Huda, dan Mas Farid menginap di sekolahan. Karena pagi kami masih menjalanakan amanah sebagai pengawas UAS. Maka mengurusi lomba dari persiapan hanya bisa dilakukan setelahnya, alias usai UAS rampung.

Juara 1: Bidikan Lensa Daffa Ahmadi 
Rasa ucapan terimakasih juga tak kalah besar kami sampaikan pada Kak Wildan. Guru Ngaji dan Tapak Suci di TPQ Nurul Huda Gedang, yang dipertemukan kembali di SMP Musasi. Saya baru tahu bila beliau sekarang bergelut di dunia ‘printing digital’, dan sangat profesional saat harus diminta cetak banner, spanduk, dan backdrop hanya dalam beberapa jam (meski harus kena wanti-wanti jangan sampai diulangi lagi, hehe..).

Ucapan rasa terimakasih tak kalah tinggi pula untuk sahabat baru saya; Pak Qoisul, yang rela menunda beberapa proyek desainnya, hanya untuk segera menyelesaikan desain banner dkk., pesanan saya untuk lomba. Saya masih belum percaya bila lulusan Unesa bidang seni rupa ini juga pandai ahli dalam hal gerinda, las listrik, hingga menangani sound system. Saya harus banyak belajar dari sosok ayah dua anak ini.

Kurang lengkap rasanya bila tak menyebut Pak Heri. Bagian perlengkapan lomba yang sekaligus menjadi Waka Sarpras sekolah bersama Pak Edy. Sarjana Teknik tersebut, dengan ikhlas mengantarkan kami ke Lamongan untuk mengambil sound system milik Pak Qois malam-malam. Ya, rupanya acara menyetting lapangan sepak bola mini dengan beragam pendukungnya baru bisa kita rampungkan pada pukul 01.00 dini hari. Kami awalnya ragu, mau tidak sosok penghobi fotografi itu mengantar? Kami pun sudah berancang-ancang untuk menyetir mobil sekolah sendiri bila Pak Heri enggan mengantar. Tapi rupanya, dengan bekal minuman energi yang dibelinya di rest area jalan tol, keraguan kami akhirnya tertepis. Tiba di bumi Lamongan kurang lebih pukul tiga pagi. Dan disana, ibunda Pak Qois menyambut ramah kami bertiga. Saya yang agak setengah sadar, tiba-tiba disuguhi dengan teh anget dan indomie goreng. Subhanallah, Alhamdulillah!

Juara 2: Life Style Photo Bidikan Bagas Ajitama
Kami bertiga akhirnya bertolak dari tanah Joko Tingkir tersebut pas adzan subuh. Sejenak kemudian kami berhenti di sebuah masjid untuk menunaikan salat subuh secara berjamaah. Usai salat subuh saya tak bisa menahan kantuk. Pak Qois yang berada di jok tengah rupanya sudah lelah. Tenaganya terkuras setelah malam-malam me-ngelas dan menggerinda plat-plat besi. Dia terlelap. Praktis, hanya tersisa Pak Heri dengan sisa-sisa tenaga  dibelakang kemudi. Awalnya saya tak enak hati membiarkan Pak Heri menyetir sendiri, tapi beliau kemudian berkata; “Dilanjut saja tidurnya, Pak!”

Pagi itu saya tak hanya melihat mentari mengendap memancarkan cahaya cerahnya ke segala penjuru bumi. Tapi pagi itu, saya turut merasakan cahaya-cahaya ketulusan dan keikhlasan yang terpancar dari hati para guru Musasi..

Porong, 24 Desember 2014


Foto-foto Daffa Ahmadi (9A), Bagas Ajitama (8G), dan Alysa Aldrin (7F)


Serius; Para Peserta Lomba Catur
Badminton on Shoot
Ustadz Kifly Tak Mau Ketinggalan
Berlomba-lomba dalam Mini Soccer
Rangkep-rangkep: Penulis Ketika Mewasiti Sepak Bola Mini Guru dan Karyawan

15 November 2014

Dunia Tanpa "A"




Apa jadinya bila dunia tanpa agama (Islam)? Tanpa ada orang-orang yang mengajak pada kebenaran dan mencegah pada yang munkar?

Kita pun tak akan pernah mendengar lantunan suara adzan di masjid dan langgar. Telinga kita juga akan asing dengan lantunan tarhim dan bacaan Al-Quran sebelum seruan kemenangan diperdengungkan.

Indahkah dunia tanpa agama, atau malah menyeramkan dan penuh dengan kebusukan?

Mereka yang tak menginginkan agama hidup bebas di dunia, mengajukan dalil: bila kebanyakan perang yang terjadi, mayoritas mengatasnamakan agama, benarkah? Atas nama agama banyak dari mereka yang mencederai hak asasi manusia, sungguh?

Lihat disana, ketika mereka yang menyebut diri mereka beragama, menyerbu dan membakar musala hanya karena beda pemahaman? Tengok juga yang sedang terusir dari tanah kelahiran mereka, benarkah dengan cara pengusiran ini mereka akan tersadar dengan klaim kebenaran sepihak, atau mereka akan menanamkan keyakinan yang begitu kuat pada anak-anak mereka tentang kejahatan yang dilakukan kita pada mereka?

Kita tak pernah memahami hal itu, Karena bagi kita, agama hanya ada dan hadir di shaf-shaf masjid, langgar, dan musala. Agama hanya sebatas kita kenakan ketika hari raya dan bermaaf-maafan pada keluarga dan sanak saudara. Agama hanya sebatas kita jadikan simbol yang hanya berlaku saat kita memakai baju koko, kopiah, atau mukena.

Kita belum sampai pada tataran bila agama itu memberi manfaat kebaikan bagi sesama. Kita belum membaca perjuangan para pendiri bangsa mencitrakan agama kita dengan penuh moderat dan anggun Dan kita masih harus banyak belajar, beberapa kesalahan masa lalu, keruntuhan kejayaan agama kita, salah satunya karena kita tak pernah menghargai perbedaan dan memaksakan kehendak yang kita punya dengan semaunya.

Kita masih belum menjadi golongan ulil albab, yang termasuk dari mereka yang mengingat penciptaan Allah baik ketika berdiri, duduk, maupun akan terbaring, Kita masih disibukkan dengan keduniaan dan kefanaan. Dan kita lupa untuk bertasbih padaNya. Memuji dan mengagungkan namaNya di setiap sendi dan nafas kehidupan. Bukan yang muncul di saat-saat tertentu.

"Mustahil Islam akan hilang di dunia, tapi Islam bisa punah di Indonesia"

Masih belum percaya? Mari kita berkaca pada Andalusia!

*foto Alhambra http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/02168/alhambra3_2168406b.jpg

Guru Kreatif Guru Masa Depan

Guru Kreatif, siapa yang tidak suka? Semua murid pasti selalu menunggu kedatangannya. Mereka terpacu dan bersemangat ketika diajar guru kreatif. Betapa tidak, guru kreatif mengajarnya dengan cara yang menyenangkan, nir-boring, dan selalu hadir dengan kejutan-kejutan serta menampilkan sesuatu yang baru. Maka tak salah, bila profesi pendidik atau guru dituntut harus kreatif.

Bu Siti Romlah, guru PNS berprestasi asal Probolinggo, dalam suatu kesempatan pernah mengatakan, "Seorang Guru haruslah kreatif, apapun itu kondisinya." Intinya, seorang guru, ketika berada dalam lingkungan sekolah dengan latar dan kondisi bagaimanapun, harusnya menjadi sosok kreatif. Beliau mengibaratkan, ketika sarana dan prasarananya kurang di sekolahnya, maka seorang guru kreatif wajib menjadikan media pembelajaran alternatif dan kreatif  yang fungsinya sebagai subtitute (pengganti) sarana/ prasarana yang tidak bisa di dapatkan sekolah tersebut. Termasuk juga ketika di sekolah tersebut mayoritas muridnya nakal-nakal (padahal Pak Munif Chatib mengatakan tidak ada murid nakal, tapi murid yang tidak dapat stimulan yang kompatibel), tetap harus berpikir kreatif dengan memberikan strategi pembelajaran yang tepat bagi murid-murid yang dianggap "menyimpang".

Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (Penjasorkes), sebagai matapelajaran penting bagi tumbuh kembang peserta didik, yang bertujuan agar setiap peserta didik menyadari betapa pentingnya pola hidup sehat dengan aktif bergerak dan cerdas memilih serta memilah asupan makanan. Tidak bisa dilepaskan dari keterbatasan sarana dan prasarana. Termasuk ketika masuk pada salah satu kompetensi dasar  tentang pembelajaran atletik. Dimana salah satu sub indikatornya adalah mengenalkan dan membelajarkan salah satu cabang atletik lompat jauh.

Belum adanya bak pasir sebagai tumpuan ketika melakukan pendaratan saat melompat, menjadikan seorang guru penjasorkes diharuskan memutar otaknya agar pembelajaran tersebut dapat tetap tersampaikan, dengan cara memodifikasi pembelajaran yang meliputi sarana dan prasarana dengan tetap memenuhi standar keamanan.

Melihat peluang di sekitarnya, ketika di sekolah terdapat matras pencak silat dan matras busa (yang biasa dipakai untuk senam lantai) serta ada bekas bantalan kursi yang teronggok di gudang. Maka dengan sedikit sentuhan kreatifitas, mengolah ketiga komponen bahan tadi menjadi satu rangkaian dalam pembelajaran lompat jauh.

Hasilnya, meskipun bel pergantian pelajaran sudah berbunyi, namun antusiasme peserta didik untuk mencoba melakukan lompatan berkali-kali tetap tinggi. Selamat mencoba!





13 November 2014

Pahlawan, Siapakah Gerangan?

Empat bulan berjalan, secara de jure saya berada di lingkungan SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo. Meskipun secara de facto, sejak bulan Maret, saya diberikan amanah oleh kawan-kawan Pemuda Muhammadiyah untuk mengabdi di sekolah yang berdiri sejak tahun 70-an itu. Selama itu pula saya mengenal sosok-sosok "pahlawan" yang tak hanya mendedikasikan hidupnya untuk para murid yang sedang berproses, namun mereka juga menjadi sosok pahlawan bagi anak-anak yang tak sempat mendapat kasih sayang dari kedua orangtuanya. Mereka merupakan sedikit dari sosok yang rela menjadi pahlawan tanpa tanda jasa dan tanpa tanda terima.  

**

"Pak Darul, kapan mampir ke panti?"
"Sekarang pantinya sedang dibangun kolam pemandian untuk anak-anak, lho!"
"Monggo mampir, masa' cuma pas ramadan saja kesana.."

Pertanyaan yang kadang saya sendiri tidak dapat menjawabnya dengan pasti. Ketika ditanya Bu Khol, panggilan akrab Bu Kholifah Nurdiana, Pustakawan SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo yang juga menjadi Ibu pengasuh bagi anak-anak yatim piatu di Panti Asuhan Hidayatul Ummah, Kebonsari-Candi. 

Namun sore itu saya akhirnya diberikan kesempatan Allah untuk bertandang kembali ke panti yang para pengasuhnya mayoritas kaum hawa tersebut. Bu Khol yang pulang dari SMP Musasi lebih awal, tampak sedang membersihkan lantai keramik yang berada di ruang tamu. Beliau kemudian mempersilakan saya masuk, sesaat setelah uluk salam saya dijawabnya. "Selamat datang di rumahnya umat!"

Ihwal kedatangan saya kedua kalinya ke panti yang lokasinya berada di sentra pembuatan telur asin aneka rasa itu sebenarnya berkaitan dengan kalimat Bu Khol yang meminta saya 'melihat' komputer baru yang kini dimiliki panti. Dan dari cerita Bu Khol, saya baru tahu bila komputer asal pabrikan negara paman sam tersebut merupakan infaq dari salah seorang donatur. Kata-kata rumah umat yang sebelumnya menjadi tanda tanya akhirnya terjawab ketika mengingat cerita Bu Khol tadi. 

Rumah umat itu kemudian tergambar semakin jelas, manakala di dalamnya saya menyaksikan para anak-anak panti sedang belajar mengaji, Disaat Bu Khol mengenalkan saya (kembali) dan menyuruh mereka untuk salim (salaman sambil cium tangan), ada perasaan haru yang melingkupi tatkala tangan-tangan dan pipi-pipi mungil nan hangat itu menyentuh punggung tangan saya. Mereka yang rata-rata berusia dibawah sepuluh tahun dan mayoritas masih menjadi siswa sekolah dasar tersebut terlihat ada yang sedang mengaji dan disimak oleh pengasuh, ada yang tidur-tiduran, dan ada juga yang sedang bercanda dengan 'saudara' yang sudah dianggap kakak atau adik kandung sendiri.

Panti tersebut memang tak hanya dikhususkan untuk laki-laki atau perempuan saja. Dengan jumlah anak didik sekitar 15 anak yang diantaranya ada yang tidur di dalam (panti) dan sebagian yang lainnya ada yang tidak tinggal di panti. Para anak didik panti tersebut tergolong berasal dari beragam daerah dan latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Ada yang memang kedua orangtuanya sudah meninggal. Ada pula yang berasal dari keluarga single parent, namun karena Bapak/ Ibunya menikah lagi kemudian anak-anak tersebut tak pernah diurus dan kemudian pengurusan anaknya diserahkan ke panti. Terkadang orangtuanya juga ada yang mengidap kelainan jiwa, sehingga anaknya yang masih kecil tak pernah tersentuh pendidikan, dan kemudian diserahkan ke panti. Bu Khol dan kawan-kawan kemudian yang mengajari mereka. 

Ketika meninjau kolam pemandian yang masih dibuat, saya melihat beberapa anak panti sedang membantu pekerjaan Pak No, tukang bangunan yang merangkap 'jabatan' sebagai 'arsitek design' panti tersebut. Beberapa diantaranya ada yang berasal dari Flores, Nusa Tenggara Timur. Dari penjelasan Bu Khol, mereka tiba di panti tersebut sekitar tahun 2011.

Keberadaan Bu Khol di panti sama lamanya dengan usia panti tersebut. Sosok yang juga sudah mengabdikan dirinya di SMP Musasi selama 22 tahun itu tak hanya menjadi ibu pengasuh bagi mereka. Ummi, panggilan anak-anak panti pada Bu Khol, juga merangkap sebagai penjaring donatur agar tergerak kepeduliannya. 

(to be continue..)
ilustrasi: sudirman
http://fc05.deviantart.net

9 November 2014

Rihlah Guru Go Blog

Penggalan judul di atas jelas plagiat dari karya ketujuh dari seorang wakil Majelis Ekonomi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Iman Supriyono yang  berjudul "Guru Goblok Ketemu Murid Goblok". Buku yang ditemukan secara 'kebetulan' yang sudah diskenariokan tersebut semoga menjadi relevan ketika judul dan catatan  'perjalanan thalibul ilmi' saya kali ini bertepatan di tempat dimana Cak Iman, panggilan akrab beliau, menyelesaikan program pascasarjananya di Manajemen Administrasi Unair. 

Kedua, kalimat "Teacher Leader" seolah menggambarkan inspirasi dari Pak Edy Prawoto, S.Ag. Kepala sekolah SMP Muhammadiyah Sidoarjo periode lalu yang menjadi 'katalisator'-menyebut istilah Pak Munif Chatib- dalam menstimulus para guru maupun calon guru agar dapat mengembangkan potensi semaksimal mungkin. Pak Edy menanamkan-kalau saya tidak salah menyebutnya-semangat berlomba-lomba dalam menelurkan karya agar dapat berfastabiqul khairats dalam nikmat Allah berupa kreatifitas!

**


Kamis (6/11) menjadi rihlah keilmuan pertama saya bersama Pak Edy Prawoto. Berangkat beriringan dari jalan KH. Samanhudi No.81 pukul 7.30 menggunakan shogun merah dan beat hitam. Beriringan di padatnya jalan 'mahakarya' Daendels tersebut tak menyurutkan tekad kami untuk segera sampai di kampus C Unair. 

Selang sejam kemudian, tibalah kami di pintu gerbang kampus. Sempat berputar dan bertanya-tanya tempat berlangsungnya acara, hingga kemudian petunjuk itu mengarahkan kami menuju Gedung Manajemen Unair. Di depan lift ternyata sudah ada clue yang memberitahukan agar kami naik ke lantai tiga, persisnya di Aula Grand Kahuripan. 

Ketika sampai di lokasi, kami segera ditanya oleh panitia terkait pendaftaran peserta. Panitia segera mempersilahkan kami untuk segera menuju monitor layar sentuh sesaat setelah kami menjawab belum mendaftar secara online. Mengisi daftar absensi dan menerima seminar kit menjadi proses selanjutnya sebelum mencari tempat duduk. 

"Posisi Menentukan Prestasi", kalimat motivasi itu nampaknya melekat kuat pada Pak Edy. Pengalamannya ketika menjadi kepala sekolah dan ber-positioning diantara sekolah-sekolah yang lain membuat tempat duduk kami yang sebelumnya nomor dua dari belakang kemudian hijrah berpindah di depan (paling depan). Pilihan beliau ternyata memang tepat, selain dapat jelas mendengarkan materi, posisi di depan seperti yang kami tempati, sepertinya tidak memberikan ruang gerak untuk kantuk (meskipun kadang sliat-sliut di sesi ketiga, hehe..)

Saya pribadi baru ngeh dengan acara yang dimaksud ketika MC membuka acara dan memberikan informasi singkat tentang acara yang sudah diselenggarakan kali keempatnya ini (mulai tahun 2011-pen). Dari background spanduk setidaknya saya menangkap pesan jika acara yang bertema Konferensi Nasional Guru Blogger itu penyelenggaraanya juga bekerjasama dengan Microsoft. Saya kemudian mendapatkan tambahan informasi lainnya ketika saya membuka seminar kit yang terbungkus tas map yang berstiker nama kegiatan itu. 

Pak Munif Chatib tampil menjadi pembicara pada sesi pertama. Penulis buku best seller pendidikan manusia series (Gurunya Manusia, Sekolahnya Manusia, Kelasnya Manusia, dan judul-judul lain yang tentang humanism education. Sebenarnya sangat pas untuk menjadi menteri pembangunan manusia). Penulis yang berdomisili Sidoarjo itu mengatakan tidak ada manusia bodoh. Yang ada hanyalah manusia yang tidak mendapatkan stimulus yang tepat dari lingkungannya. Beliau mencontohkan orang-orang yang mempunyai kekurangan dan itu berhasil menjadi orang sukses ketika mereka (orang-orang dengan keterbatasan fisik) mendapatkan stimulan yang tepat, baik dari orangtua maupun lingkungan yang disekitarnya.

Sesi pertama menjadi bersemangat tatkala dalam pemaparan materi, lulusan sarjana hukum Unibraw itu memberikan banyak permainan edukatif. Salah duanya ketika para peserta diinstruksikan untuk menuliskan nama dengan cepat di notes masing-masing melalui tangan kanan. Dan sesaat kemudian berganti dengan tangan kiri. Di kesempatan lain, beliau juga meminta para peserta mencari pasangan dan kemudian disuruh bercerita masa kecil dalam tempo 15 detik. Acara menjadi heboh, ketika tatkala petunjuk selanjutnya menambahkan konsonan huruf yang sudah dipih dalam setiap kalimat yang diungkapkan. 

Jeda ishoma, sesi kedua materi yang bersifat panel dengan tiga pembicara. Pak Bukik Setiawan, mantan dosen Unair yang mengundurkan diri setelah setahun sertifikasi dosennya keluar. Kepala Dinas Pendidikan Sidoarjo Pak Mustain. Dan pembicara ketiga salah seorang dosen sistem Informasi Unair yang menggantikan pemateri yang berhalangan hadir. Sampai sesi kedua, saya belum menemukan korelasi antara judul acara dengan estimasi awal dan harapan. Di sesi ini, saya lebih banyak mendengar curhatan dari para peserta (yang memang mayoritas adalah guru) pada kepala dinas. 

Baru pada sesi ketiga, spirit news idea dari para pemateri sudah mulai nampak. Terlihat dari tema materi yang dibawakan oleh Bu Siti Romlah, seorang pendidik dari Probolinggo yang menguasai betul teori-teori kepemimpinan dalam kelas. "Apapun kondisinya, Guru harus menjadi manusia kreatif!", pekik semangat beliau pada ratusan peserta. Pembicara ketiga, Baharuddin, M.Pd, pendidik asal Sulawesi Selatan yang menjuarai lomba literasi skala nasional membeberkan kiat membentuk budaya literasi (baca-tulis). Salah satu metodenya adalah memanfaatkan teknologi. Dengan jejaring sosial, sekolah berasrama (Boarding School) yang diajar beliau menjadi salah satu sekolah unggulan yang para siswanya sudah menerapkan budaya literasi . Beberapa tipsnya adalah menerapkan student day pada tiap hari Jumat. Dimana para peserta didik terjun dalam diskusi sastra mulai pukul 13.30 sampai 17.30.

Pukul 17.00 acara pun usai. Pembawa acara mengumumkan nama-nama peserta yang mendapatkan doorprize. Meski kami tak membawa hadiah sebagai oleh-oleh, tapi kami membawa semangat untuk Musasi, sekolah tempat kami mengabdi, untuk segera berlari (seperti hobi Pak Iman Supriyono setiap hari) segera mengimplementasikan budaya sekolah yang sudah digagas: MUSASI BUDAYA LITERASI. Coming soon! 


4 November 2014

Namanya Mas Gong

Bila kemudian Allah mentakdirkan kita bertemu dengan salah seorang penulis hebat, yang kita lebih banyak membaca karya-karyanya daripada melihat rupa dan penampilannya. Maka, ketika bertemu mereka, membeli karya mereka, dan mendapatkan limpahan ilmu dan pengalaman yang tak ternilai harganya, sebutlah segala sesuatu itu dengan anugerah :)

Gempa, satu kata yang membuat siapa pun akan membayangkan imajinasi atau gambaran tentang getaran yang luar biasa. Guncangannya terkadang membuat apapun berhamburan keluar dan lari tunggang-langgang mencari keselamatan. Namun, sore itu sebuah "gempa" yang melanda rumah di jalan Bengawan nomor 2A malah membuat orang-orang yang berada di dalamnya merasa semangatnya menyala-nyala. Lho koq?

Ya, dialah Gerakan Gempa Literasi. Kegiatan yang dibarengi Tur Anyer-Panarukan untuk menggaungkan dan menggetarkan semangat gerakan membaca dan menulis itu sampai juga di Surabaya. Adalah Gol A Gong, penulis novel fenomenal Balada Si Roy tersebut berbagi inspirasi dan pengalamannya. Traveler yang sekaligus penggagas Rumah Dunia itu juga sharing beragam catatan-catatan yang berkaitan dengan dunia literasi (baca-tulis). 

Tak kurang puluhan peserta hadir dalam kegiatan yang digagas Forum Aktif Menulis (FAM) dan Bina Qolam Indonesia (BQI) itu. Mereka yang datang pun tak hanya dari kalangan pegiat literasi, namun banyak juga para siswa, mahasiswa, guru, serta para wartawan majalah yang tak menyia-nyiakan kesempatan langka berjumpa penulis dengan karya 90 buku tersebut. 

Dalam even yang bertajuk "90 Menit Bersama Gol A Gong", para peserta disuguhi beberapa trik agar dapat menjadi penulis hebat. Salah satu tips yang diberikan Mas Gong, sapaan akrabnya, yaitu jangan pernah malas membaca. Mengapa? Pertama, sebagai umat muslim seharusnya kita menjadi umat pertama yang tidak pernah lepas dari membaca. Sebab, ayat Al Quran yang pertama kali turun adalah "IQRA'!", bacalah! Maka sungguh naif, bila negeri yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini peringkatnya terperosok jauh kedasar, kalah dengan negara-negara yang mayoritas berpenduduk non-muslim. 

Selain itu, menurut Mas Gong, dengan membaca maka kita akan menyediakan nutrisi bagi otak. Karena sehari-harinya, kita kebanyakan hanya menyediakan konsumsi untuk bagian tubuh bagian bawah mulai dari leher sampai perut.Melupakan leher ke atas (otak-pen). "Karena sesungguhnya aktivitas menulis tak lain merupakan kegiatan membaca dua kali", tambahnya. 

Selain banyak membaca, mantan juara bulutangkis khusus difabel se-Asia Pasifik tersebut juga menambahkan dua kiat lain; membeli buku dari penulisnya sebagai bentuk menghargai karya penulis; serta berinteraksi dan bertatap muka, mulai dari meminta nasehat hingga berfoto bersama. 

Sebagai penulis yang telah banyak menelurkan karya (60 karyanya berupa novel), Mas Gong terlihat begitu bersahaja. Datang dengan memakai alas kaki berupa sandal jepit dan ketika bercerita lebih memilih untuk berdiri (karena sudah lebih dari 28 jam duduk di kursi mobil katanya, hehe..). Serta menihilkan pengeras suara (konon bersebab ingin memaksimalkan panca indera), berbanding terbalik dengan aktivitasnya yang sungguh luar biasa. 

Saat berbagi inspirasi, suami Tias Tatanka tersebut memperlihatkan ragam kegiatan yang dilakukan sebelum sampai ke Bina Qolam hingga seabrek kesibukannya di Rrumah Dunia. Salah satu yang menginspirasi adalah proses mengawali masyarakat Banten untuk diajak datang ke Rumah Dunia. Meskipun sudah diberi label gratis dan bahkan ada embel-embel uang saku-pun tak mempan. Sampai akhirnya dapat mengajak para penjual gorengan, abang tukang becak, hingga penjual bakso untuk menciptakan puisi. Tentu puisi yang dibuat juga berkaitan dengan profesi yang mereka jalani. 

Well, hadir dalam forum tersebut seolah membuka cakrawala pemikiran serta memberikan cahaya pencerahan baru bagi saya. Alhamdulillah..

(bersambung edisi selanjutnya ya.^^,)

24 October 2014

(Bukan) Kita

Kumandang adzan maghrib baru saja terdengar sayup-sayup. Gerobak itu masih penuh tumpukan sampah. Anak kecil itu menangis meratap dan mengiba, entah apa yang dimintanya, mengharap sang Ibu berhenti mengangkuti sampah yang masih menggunung di bak-bak sekolah itukah? Atau mengharap sang Bapak menghampirinya sejenak, menggendongnya, dan membelikannya sekedar permen atau makanan ringan?

Ternyata tidak, kedua orangtuanya masih saja berkutat dengan “ladang rezeki” yang kadang tak mengenal waktu. Memang, untuk mengambil sampah-sampah itu, mereka harus menunggu jam sekolah berdentang berkali-kali, dan memastikan para penghuninya pergi. Baru kemudian, mereka bisa memungut sampah-sampah yang kadang mereka sendiri tak pernah andil terlibat, tapi tahu-tahu sudah menggunung. Dari sampahlah mereka mengais rupiah demi rupiah.

Monas, 22 Oktober 2014.

Portal berita online menulis sampah-sampah yang berserakan usai “konser rakyat”, “syukuran rakyat” atau “pesta sehari, setelah itu kerja dan kerja”, entah apalagi namanya, yang banyak bertebaran di Monumen Nasional. Konon, jargon revolusi mental yang di dengung-dengungkan sebelumnya, hanya menjadi isapan jempol. Buktinya, meski beragam himbauan konon banyak dilayangkan di media sosial, namun hasilnya nol besar. Bahkan, salah satu postingan di fesbuk memperlihatkan alat kontrasepsi bekas pakai yang termasuk menjadi “komoditi” sampah sisa “pesta semalam suntuk” tersebut, na’udzubillah.

Jargon revolusi mental; jujur, sederhana, dan merakyat; serta “..adalah kita”, seolah menjadi bias bila dihadapkan pada realita yang ada. Jika memang memakai alasan merevolusi mental tidak gampang dan tak semudah membalik telapak tangan, maka kenapa harus menuliskannya di media cetak yang bertiras lumayan? Mengapa tak membukukannya sehingga latar belakang, rumusan masalah, hingga hipotesis yang diunngkapkannya jelas?

Apakah syukuran itu tak boleh? Jelas boleh. Tapi haruskah dengan cara hura-hura, menafikan keadaan bangsa yang sedang banyak dirundung duka, dari Sinabung yang meletus, kebakaran hutan sampai-sampai asapnya kita “ekspor” ke negeri jiran? Atau kalo tak mau jauh-jauh, dari kebakaran ratusan rumah yang terjadi di Jakarta? Atau kekeringan yang melanda negeri gemah ripah loh jinawi ini? Wooii, dimana empati kita sebagai bangsa yang konon menjunjung tinggi adat-adat ketimuran?
Apakah itu yang dimaksud dengan “KITA”?

Bukan! Kita bukan mereka..

Kita adalah golongan hamba, yang ketika amanah diberikan, kita tidak tertawa, tapi kita menangis, karena ada beban yang amat berat yang harus kita pikul.

Kita bukan mereka..

Kita adalah bangsa Indonesia, yang ketika saudara sebangsa dan setanah airnya sedang menanggug beban derita, kita mau memikirkannya. Bukan malah berpesta pora, dengan dalih “rakyat”, yang katanya untuk rakyat, tapi nyata-nyatanya hanya untuk memuaskan syahwat.
Dan kita bukanlah mereka..

Karena sejarah kita melahirkan tokoh-tokoh yang tak tunduk pada asing. Tak menjilat antek-antek “kompeni”, dan tak tunduk pada kepentingan penjajah. Serta tak pernah menjual bangsanya sendiri.
Kita akan bangga, ketika “blusukan” tak menjadi busuk karena polesan media mainstream, tapi karena niat bersih dan benar. Meleladani sikap Umar RA., yang ketika malam-malam sendirian mengangkut gandum sekarung untuk salah seorang rakyatnya.

**

Maghrib pun berlalu, cahaya emas di ujung barat kini berganti kelabu dan gelap, tanda-tanda malam akan menggantikan siang. Tapi suara tangis anak kecil itu tak terdengar, entah kemana..







11 October 2014

Pecel Mak Yati: Maknyus Bergizi tanpa Penyedap Imitasi

Berbahagialah, ketika kita menjadi salah satu bagian dari keluarga besar pencinta kuliner Indonesia. Mengapa? Sebab, ketika kita membeli makanan di sebuah warung , café, or restoran, maka di dalamnya kita menjadi bagian dari entitas yang disebut penjual dan pembeli.

Lebih dari itu, hubungan yang terjalin pun sudah terbingkai dalam ikatan persaudaraan. Bukan lagi “kita puas, kita bayar”, atau “tarif porsi sesuai permintaan lidah."

Maka, disaat “ikatan” penjual-pembeli sudah terlampaui, yang dalam prosesnya membutuhkan waktu lebih dari sehari, maka di saat itu pula kehadiran kita di warung langganan dirasakan menjadi sangat berarti bagi penjualnya.

Kedatangan kita begitu dinantikan. Kehadiran kita begitu dirindukan. Kita pun seolah menjadi bermakna dalam kehidupan. Ketidakhadiran kita seperti membuat ruang kosong, maka ketika kita kembali mencicipi kuliner yang itu juga dirindukan oleh lidah, maka klop-lah, antara kita dan penjualnya, ada ikatan simbiosis, mutualisme.

**

Cuplikan kalimat di atas adalah ungkapan perasaan pagi tadi (11/10/2014), ketika “bereuni” dengan salah seorang penjual kuliner yang sejak tahun 2009 menjadi langganan tetap dalam menu sarapan pagi. Pecel Mak Yati, panganan pecel khas Kertosono-Nganjuk,  yang warungnya menyewa lahan di Jemur Gayungsari gang II. Dari Graha Pena-Surabaya, kurang lebih arahnya 500 meter ke sebelah selatan.

Pertama kali menginjakkan kaki di Gedung Graha Pena bertinggi 21 lantai, lima tahun lalu itu, tak butuh waktu lama membuat lidah saya menjadi ketagihan dengan menu utama warung Mak Yati itu. Panganan yang berbahan cacahan sayur yang disiram bumbu pecel khas Kertosono itu rasanya maknyus dengan tambahan ceplok telur, tempe goreng, plus peyek ikan teri.

Bahkan, sebelum sinar matahari menyembul di ufuk timur, para pekerja dari Graha Pena Surabaya menjalani rutinitas untuk bersarapan ria dan menjadi golongan pencinta Pecel.  

Walah, wong namanya pecel juga sama saja, banyak juga tersebar dimana-mana,” kata beberapa teman yang kadang nyinyir dengan dan ga suka Pecel.

Maklum, argumen mereka terbangun karena belum pernah merasakan cita rasa pecel yang tak hanya enak, namun juga menyehatkan.

Dibilang menyehatkan, karena jelas-jelas panganan tersebut terdiri dari sayuran yang tentu banyak mengandung vitamin, mineral dan serat.

Kedua, dalam penyajian menu yang terdiri dari bumbu, lauk, sayur, maupun pelengkap berupa peyek teri, penjualnya, Mak Yati, tak pernah sekalipun memakai penyedap rasa seperti MSG, vetsin, micin, dan sejenisnya.

Micin seolah menjadi musuh utama dari Mak Yati ketika menjadi penjual kuliner. Jangan pernah berharap di warung pecel tersebut akan menemukan penyedap buatan, karena semuanya dijamin alami.

Mak Yati pernah bercerita, sudah puluhan tahun yang lalu dia hanya menggunakan garam dan gula sebagai penyedap rasa pengganti vetsin. Salah seorang yang menjadi faktor “penyebabnya” adalah sosok sang suami.

Sang suami, kata Mak Yati, akan marah besar jika dia menambahkan penyedap sintetis dalam tiap makanan yang dibuat. “Nggarai mbodohi utek (membuat otak bodoh),” tegas Mak Yati menirukan ucapan sang suami ketika itu.

Well, semoga Mak Yati diberi kesehatan dan kekuatan untuk tetap “berkarya”, menjaga cita rasa panganan khas Nusantara tersebut. Berkibar tinggi menebarkan ke-“laziz”-an pecel Kertosono yang maknyus bergizi tanpa penyedap imitasi. #salamsaturasa

(darul)








26 September 2014

Biarkanlah Eyang Berproses..

Merupakan judul dari “guratan pena” Bapak Zainal Arifin (ZA) EMKA di “Kolom” majalah Al Falah. Ciri khas yang mafhum ditemukan pada halaman akhir sebuah majalah biasanya terletak dari sudut pandang penulis yang lain daripada yang lain.

Tengoklah halaman akhir dari majalah Suara Muhammadiyah. Majalah dwi bulanan yang diterbitkan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu manghadirkan tagline “Ibrah” di lembar akhir dari majalah yang menjadi bacaan wajib para kader Muhammadiyah itu.

Sementara MATAN, majalah bulanan yang diterbitkan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, tak mau kalah dengan menyuguhkan “Risalah” Prof. Dr. Syafiq A. Mughni di setiap lembar akhir halaman.

Ketiganya memberikan sudut pandang baru dalam memahami tema yang sedang diangkat. Ada oase yang hadir diantara kepenatan kalimat yang dipaparkan mulai halaman awal. Menariknya, secercah cahaya muncul pelan-pelan, tak gemebyar terang.

*

Kembali ke tulisan Pak ZA, beliau menghadirkan tulisan dengan gaya cerita keluarga. Mengenalkan Ayah, Ibu, Irvan, dan Putri. Dalam judul tulisan “Biarlah Eyang Berproses” cerita mereka bermula dari obrolan keluarga di dalam gerbong kereta.

Salah satu anggota keluarga “nyeletuk” tentang kondisi Eyang yang usai dikunjungi dalam momen mudik. Bagaimana si Eyang masih mempertahankan tradisi budaya jawa yang terhias dalam tiap “amalan” malam Jumat. Kebiasaan menyiapkan air yang berisi bunga dan  diletakkan di ruang tamu. Sementara di sisi lain, Eyang juga tak pernah lupa dalam mengerjakan perintah agama seperti salat, zakat, dan puasa.

Irvan kemudian nyeletuk dengan mengatakan jika  perilaku Eyangnya tidak Islami dan menjadi pelaku bid’ah. Cepat-cepat Ibu mengingatkan agar Irvan tidak cepat memvonis seseorang itu ahli bid’ah, khurafat, dan sebagainya dengan jalan memperolok, menghina, atau menyakiti perasaan mereka. Ayah kemudian angkat bicara, mengutip ayat Al Quran surat An Nahl ayat 125 yang di dalamnya memuat pesan agar setiap mukmin yang menyeru pada jalan Allah agar mengambil cara yang terbaik, berbantahan pun juga dengan cara yang terbaik. Biarlah Allah yang memberi hidayah, tugas manusia hanyalah menyeru pada jalan kebenaran.

**

Cerita diatas berkaitan dengan tutur kata seorang jamaah musala yang berbagi kisah. Dia yang dulunya aktif mengikuti pengajian, aktif berorganisasi, aktif dalam kepengurusan ta’mir musala, kemudian semangatnya memudar, dan pelan-pelan hilang.

Harus diakui, tiap jamaah mempunyai kadar ilmu yang tidak sama. Ada yang tingkat keilmuan dan kesadaran dalam pengamalannya tinggi, sehingga ketika diingatkan ketika melakukan kesalahan dia kemudian menyadari kekhilafan. Namun ada juga yang tingkat keilmuannya masih terbatas, yang masih belum memahami dengan menyeluruh, mana yang menjadi syariat dan mana yang hanya sebatas amalan yang dibuat-buat.

Cara mengingatkannya pun tidak bisa dengan jalan menghina, memperolok, maupun menyindir yang itu malah membuat mereka merasa menjadi kelompok yang terpinggirkan, dan akhirnya pelan-pelan tidak mengikuti pengajian, meninggalkan musala, dan yang paling ekstrim adalah tidak mau berhubungan apapun itu, baik bentuk, nama, dan rasa yang berbau organisasi.

Kesadaran saling menjaga perasaan antar jamaah, dan menyadari tingkat keilmuan yang dimiliki mereka berbeda, wajib untuk ditanamkan pada para warga persyarikatan, terutama pimpinan dan pengurus tingkat akar rumput. Sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan keretakan berorganisasi dapat dicegah. Maka, biarkanlah “Eyang” berproses..

*Jumat mubarakah di Ruang Guru SMP Muhammadiyah..

sumber: http://shadowness.com



25 September 2014

Pedjoeang, Berdjoeang, dan Tetaplah dalam Perdjoeangan!

Hari ini ketika aku mengetik kalimat diatas laptop bermerk Asus yang masih cicilan. Aku ingin menulis, bersebab dengan menulis, virus kegalauan akan menyingkir dan hilang, begitu katanya..
Galau? Koq bisa? “Bisa saja, namanya juga manusia,” biasa yang diucap mereka yang mengajukan pembelaannya. Jika dirunut, kegalauan yang pertama adalah karena faktor “I”

Berjuang dalam dunia akademik perkuliahan dalam sembilan (baca: SEMBILAN semester) bukan merupakan catatan baik bagiku, mesipun ada yang berseloroh, “lakon India menang keri” (pemenang dalam film India pasti menang terakhir). Tapi masih ingatkah, tidakkah cukup dua tahun telat kuliah menjadi cambuknya? Satu tahun menunggu sekolah berasrama menjadi penyentil telinga? Jadi seharusnya, diri ini bukan berleha-leha masanya, namun bergegas-cepat, ber-“fastabiqul khairats”,  berlomba-lomba menuju kebaikan. Kebaikan apapun itu, ya lulus kuliah, ya menjadi pendidik profesional, ya menjadi imam yang baik bagi keluarga, yang terakhir itu diingat dengan baik juga.

Mengingat kata berlomba-lomba, aku kemudian tersadar ada kata-kata yang selalu diucapkan Principal SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, Pak Aunur Rofiq, tiap briefing pagi, lima belas menit sebelum para guru masuk kelas mengamalkan ilmu:

“Hari ini bukanlah masa orang pintar mengalahkan yang bodoh. Bukan pula yang kuat mengalahkan yang lemah. Tapi hari ini adalah masa, siapa yang bergerak cepat,  dia akan mengalahkan yang lambat!”

Principal Smamda, SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo, Pak  Hidayatulloh, pun pernah menyampaikan hal serupa. Bila tak salah, ketika ada pelatihan Baitul Arqam (pengkaderan) untuk para guru baru di lingkungan cabang Muhammadiyah Sidoarjo yang dilangsungkan di padepokan Umsida, Trawas-Mojokerto beberapa waktu silam:

“Di Korea Selatan, para siswa sudah ditanamkan falsafah ber”fastabiqul khairats”, yakni berlomba-lomba menjadi yang terdepan. Falasafah yang ditanamkan sejak mereka masih kecil yang berbunyi: saat yang lain masih tidur, aku sudah bangun. Saat yang lain bangun, aku sudah berjalan. Saat yang lain berjalan aku sudah berlari. Saat yang lain berlari, aku sudah terbang."

Dalam petuahnya, beliau menjabarkan juga, bila suatu kebaikan tidak cukup dilakukan sekali. Berulang-ulang pun menjadi biasa dan lumrah bila banyak orang yang melakukannya. Namun, ada satu kebaikan dengan level tertinggi dan itu tidak cukup dilakukan sekali: yakni suatu kebaikan yang dilakukan pertama kali ketika belum ada orang yang melakukannya dan kita istiqamah mengulangnya. Subhanallah!

Pak  Imam Robandi, petinggi Dikdasmen Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur, dan juga Dikdasmen PP Muhammadiyah, serta lulusan doktor engineering Jepang dan menjadi guru besar ITS berkata dalam bukunya:

“Jadilah kijang cerdas, yang berlari kencang sebelum harimau terbangun”

Dari ketiganya ternukil pesan, bila kebaikan harus dilakukan dengan cepat dan bersegera. Kebaikan apa saja? Ya kebaikan apapun, jangan menundanya, karena belum tentu esok hari kita menjumpai matahari masih bersinar di ufuk timur. Kita pun belum tentu bisa menghela nafas dan menghirup udara pagi dari balik jendela kamar (dengan catatan kamarnya berjendela).

Spirit ideas dari para tokoh wajib hukumnya menjadi inspirasi. Salah satu inspirasi datangnya dari Ustadzah Fine Ifike Favourita yang mengatakan: “kehidupan sebelum menikah bukanlah apa-apa dibandingkan sesudah menikah dan punya anak. Karena disana (setelah menikah dan punya anak)  kita akan merasakan bagaimana ujian hidup yang sesungguhnya.

Tulisan Pak Romi Satria Wahono, salah seorang penulis favorit, dalam bukunya pernah mengutip ayat Al Quran: bila Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila manusia tersebut tidak mau mengubahnya. Kalimat yang termaktub dalam buku terbitan tahun 2009 yang berjudul “Dapat Apa Sih dari Universitas”, itu secara tidak sengaja aku temukan di JP Bookstore, toko buku milik Jawa Pos Grup yang dulu masih bermarkas di lobi lantai satu Graha Pena. 

Dan seringkali Pak Romi mengistilahkan dirinya adalah sebagai pejuang ilmu yang berjuang laksana para pahlawan yang bertempur dengan darah, jiwa, dan airmatanya untuk merebut kemerdekaan. Karena beliau masih sadar bila dirinya merupakan bagian dari bangsa yang bernama Indonesia, bukan bangsa Thailand atau Malaysia, yang mendapat kemerdekaan bukan dengan jalan perjuangan, tapi dengan belas kasihan. Maka di setiap akhir tulisan beliau menulis sebuah kalimat “sakti” yang menjadi semangat para pedjoeang lain yang membacanya: “TETAP DALAM PERDJOEANGAN!”

Hidup adalah perjungan. Bila diibaratkan dengan zaman pra kemerdekaan, maka perjuangan melawan penjajah dengan segenap tenaga, pikiran, dan harta adalah jihad yang utama. Dalam konteks kekinian, bagaimana mewarnai kemerdekaan ini dengan semangat djoeang yang terpatri di sanubari, dan meyakinkan pada diri, bila tak mudah untuk meraih kemenangan. Kemenangan sejati hanya dapat diraih dengan kesungguhan, kerja keras, semangat tinggi, pantang menyerah, dan mengembalikan hasil akhirnya pada ketentuan Allah Azza wa Jalla.

**

Hidup adalah perjuangan,
Dari sebuah nilai yang dulu tak pernah lekang, dalam tiap deru nafas anak-anak SMA yang berlatih dua kali sehari, sepuluh kali sepekan..

Hidup adalah perjuangan,
Semangat pertama kali yang dilihat mereka, anak-anak SMA penghuni asrama, yang menaikkan asa menggantungkan cita-cita, setinggi langit katanya..

Hidup adalah perjuangan,
Yang terpatri dari seorang mahasiswa olahraga, berkelana menyambung hidup pendidikan dan idealismenya dengan menjadi karyawan perusahaan swasta..

Hidup akan tetap dalam perjuangan,
Cermin dari seorang calon guru: amanah dan cita-cita mendidiknya..

Hidup bukanlah hidup, ketika langkah dan nafas perjuangan meredup,
Dari seorang manusia biasa yang berupaya menyempurnakan separuh agamanya, yang hingga kini Allah masih merahasiakannya..

Lidah Wetan-SMP Musasi, ghurubus syams, ketika matahari di ufuk barat terbenam..
Dua puluh empat September berapsodi, saat jilidan proposal rampung tertandatangani..


9 August 2014

Proposal Pertama: Nikmatnya Menjadi Peneliti Pemula

Jumat kemarin (8/8), menjadi hari yang bersejarah. Diantara tiga dosen penguji, Bu Sas, Pak Totok, dan Pak Anung, serta Sekretaris Jurusan (Sekjur) Pak Taufik, saya pun akhirnya menjalani sidang proposal.

Setelah sempat terombang-ambing oleh ambiguitas jadwal (yang salah jadwal atau pembuatnya ya?). Kepastian menjalani sidang proposal didapat setelah Bu Sas, dua hari sebelumnya dengan penuh antusias menyampaikan agar saya bersegera menghadap Sekjur untuk mendapat tandatangan. Akhirnya, melewati beberapa jam dengan menunggu, nge-print, dan konfirmasi ke TU, kepastian jadwal pun menjadi sah tatkala surat undangan ujian dari unduhan web tersebut ter-stempel.

Perjuangan ternyata masih baru dimulai, Bu Sas mengigatkan agar jangan sampai lupa segala sesuatunya, termasuk powerpoint dan “kostum”. Saya pun segera menjawab dengan acungan jempol dan anggukan kepala. Terlintas, betapa dosen senior tersebut sungguh sangat peduli dengan para mahasiswa. Meskipun, saya sendiri termasuk bukan mahasiswa bimbingannya, namun kepeduliaannya dengan menelepon saya Rabu malam hingga tiga kali dan semuanya semuanya sukses tidak terangkat. Untungnya, ketika ditelepon balik, beliau masih saja berkenan dan memaklumi alasan bila ponsel ini butuh suplai daya, hehe..

Hari-H pun tiba, Jumat mubarakah. Dengan segenap doa dan persiapan yang sudah terangkum dalam cetakan draft proposal dan file Ppt di laptop, pagi itu saya bergegas menuju sekolah. Lho koq ke sekolah? Ada tanggung jawab absensi ektrakurikuler olahraga yang harus diserahkan pada Sie Kesiswaan. Jadi, setelah mengikuti briefing  tiga puluh menit, dengan masih menggunakan kemeja putih dan celana hitam, para guru hanya bertanya-tanya. Sampai kepala sekolah pun mengernyitkan dahinya. Saya bilang akan ujian/ sidang, dan setelah itu, banyak dukungan mengalir. Semuanya mendoakan agar sukses dan lancar.

Pukul sepuluh jadwal seharunya berlangsung, waktu yang bisa dikatakan mepet  dengan salat Jumat. Namun, hingga pukul 10.15 masih ada ujian proposal mahasiswa angkatan 2007. Saya pun akhirnya menunggu, sembari membaca sedikit-sedikit bahan yang akan saya presentasikan.

Usai beberapa menit, ada kode dari Sekjur untuk segera memasuki ruang sidang pindahan (karena yang asli sedang direnovasi). Setelah melihat sekitar ruangan yang sehari-harinya menjadi ruang kuliah tersebut, saya pun mengeluarkan amunisi berjenis Asus kaliber X450C dan melekatkannya dengan kabel penghubung LCD.  

Dalam bayangan, saya akan menjelaskan materi sidang proposal dengan berdiri. Namun, ketika Sekjur membuka sidang dengan ketukan satu kali dan memberi waktu sepuluh menit untuk saya memaparkan proposal dengan tetap duduk, saya akhirnya memposisikan tempat duduk yang bisa dikatakan kurang tinggi tersebut.

Banyaknya materi slide dibanding waktu yang tersedia, menjadikan beberapa point slide hanya tampil lalu. Dua belas menit ternyata waktu yang saya gunakan untuk paparan proposal, extra time dua menit dari waktu normal. Giliran para dosen penguji yang akan “membenahinya”.

Bu Sas, Dosen penguji pertama, langsung “menembak” dengan tiga pernyataan, bila syarat sebuah tulisan ilmiah haruslah berketelitian tinggi, bertujuan, dan ilmiah. Dengan terstruktur beliau menjelaskan bila proposal saya masih banyak ejaan dan penulisan kata yang salah. Selain itu, beberapa pengutipan kajian dan daftar pustaka masih belum sesuai dengan buku pedoman penulisan tugas akhir. Sebagai catatan, dosen matakuliah softbol tersebut mengutip kata pengantar yang saya tulis,  yang menurut beliau tidak sesuai kaidah penulisan kata pengantar pada umumnya. Dari banyaknya masukan tersebut, beliau sudah menandai beberapa kata yang kurang tepat dengan tinta merah, agar menjadi pengingat.

Giliran penguji kedua, Pak Totok. Dosen matakuliah renang tersebut memberi koreksi yang tidak kalah melimpah dengan Bu Sas. Beberapa catatannya tentang ihwal judul dan pendahuluan yang kurang tajam menjadi pembuka. Beliau masih belum sreg dengan tema yang saya ajukan: korelasi religiusitas atlet dengan sikap sportivitas. Dalihnya, hal tersebut akan mengaburkan esensi oahraga. Dan beliau menyarankan agar lebih memfokuskan pada sikap sportivtas seorang atlet sehingga memberi sumbangsih peran untuk penelitian.
 
Dan tibalah Pak Anung, Dosen penguji ketiga yang sekaligus menjadi pembimbing skripsi. Dosen matakuliah Psikologi Olahraga tersebut memberi masukan yang beragam. Dari pendahuluan, penulisan, kutipan, maupun instrument penlitian yang digunakan. Agar lebh tajam, lebih baiknya beliau menyarankan latar belakang agar diawali dengan paparan sikap atlet di lapangan yang menujukkan sikap religius.

Usai para penguji membedah kelayakan Proposal, kemudian pimpinan sidang mempersilakan saya untuk keluar ruangan. Setelah beberapa menit, akhirnya saya diminta masuk kembali dan mendengarkan keputusan, layak tidaknya Proposal saya untuk melaju pada tahap penelitian. Akhirnya, melalui hasil diskusi tiga Dosen penguji, diputuskanlah Proposal saya untuk melaju pada tahap berikutnya, dengan revisi tentunya.
 
Bismillah, perjuangan baru saja dimulai..  


5 August 2014

Wahai Guru, Jangan Berhenti atau Malu untuk Tetap Mengais Ilmu..

Syawal biasanya identik dengan semangat baru dalam memulai perjuangan. Spirit Ramadan yang masih melekat kuat, seolah jadi amunisi dalam menata niat dan memulai gerak langkah untuk menghambakan diri di hadapan-Nya. Menghambakan diri sebagai makhluk Allah yang diciptakan tidak lain hanya untuk beribadah, ‘abdullah’.

Sebagai salah satu bentuk ibadah, mencari ilmu, baik untuk diri sendiri maupun untuk diamalkan kembali, yang notabene merupakan wujud perintah Allah untuk Nabi agar umatnya segera bergegas-semangat meraih kemuliaan ilmu, dari buaian hingga liang lahat!

"Al-'ilmun bila 'amalin, ka syajaratin bila tsamarin”, Ilmu tanpa amal, ibarat pohon yang tak berbuah. Demikianlah pepatah arab mengibaratkan, agar para pencari Ilmu tidak menyimpan ilmu yang dimilikinya hanya untuk dirinya sendiri, namun diamalkan agar daya manfaatnya dapat berguna bagi kemaslahatan banyak orang.

Meneladani pesan Nabi, “balighu anni walau ayah”, sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat, seperti itulah kiranya landasan awal yang ditetapkan saat meburkan diri dalam kawah pendidikan. Menggarap ladang pendidikan sebagai lahan dakwah, yang menyeru dan mengajak pada sesuatu yang ma’ruf dan mencegah pada yang munkar, menuntun mereka dari ruang gelap menuju pada sebuah tempat yang lapang, luas dan terang.

Menjadi ‘mujahid-mujahid’ tarbiyah, mendidik generasi penerus dengan muatan keikhlasan plus niat hanya untuk mengharap ridha-Nya. Bukan dengan jalan kepasrahanlah kita mencari keridhaan Allah Ta'ala, namun, dengan kesungguhan niat, kerja keras, belajar tekun, dan pantang menyerah untuk menjadi profesional, baik dari kompetensi keilmuan atau integritas sikap dan tindakan.

Dari sedikit gambaran dari seorang ‘newbie’ yang sedang memulai perjuangan dalam dunia pendidikan. Beban-beban yang berada di pundak, seolah menjadi pacuan semangat yang pantang untuk dikendurkan. Teringat, ketika dulu masih di Graha Pena dan berakrab ria dengan istilah service exellent, maka dalam ranah praktis paedagogis,  makna tersebut seharusnya tak lekas pudar, namun harus lebih kuat menancap dalam bingkai integritas diri, moralitas sikap, dan profesionalitas kinerja dan mantapnya akidah. Karena hari ini kita sedang mendidik calon-calon generasi penerus bangsa. 

Wahai guru, jangan berhenti atau malu untuk tetap mengais ilmu..



12 July 2014

Salam Jumpa di Musasi

“Perubahan akan memberikan dampak, baik berhasil ataupun tidak. Namun percayalah, itu lebih baik dari diam dan stagnan!”

Pesan dari Kepala Sekolah, Bapak Aunur Rofiq, sungguh tak bisa membuat saya tenang. Ada yang mengganjal, kalimat-kalimatnya mengusik alam pikiran saya. Paparan beliau Jumat pagi (11/7) di Hall lt.3 SMP Musasi (Muhammadiyah 1 Sidoarjo) seperti menghakimi diri ini, betapa lemah dan takutnya bila sesuatu yang bernama perubahan itu datang.

Sampai kemudian amanah itu datang, selembar surat yang didalamnya memuat perihal penugasan. Dua belas jam dalam sepekan. Empat kali pertemuan plus dua kali diluar jam internal. Dimulai pukul 6.45 hingga ba’da Asar.  “Ini mungkin saatnya!”
Inilah saatnya, ketika kita harus memilih..

**

Enam tahun bukanlah waktu yang singkat. Tentu begitu melimpah kenangan yang tersimpan dalam folder ingatan. Saya pun tak bisa menyangka, ketika kaki ini sudah melangkah di akhir, ada ketakjuban akan ke-Mahabesaran-Nya. Begitu banyak kemurahan Allah, memberikan kesempatan hamba-Nya untuk berdiri diantara dua kaki, bahkan tiga kaki, subhanallah!

Ya, hingga tujuh semester berakhir, saya belum memikirkan akan dibawa kemana ilmu yang saya kais di FIK-Unesa nantinya. Menunggu hingga lulus sembari tetap menjalankan aktivitas ‘biasanya’ di sore hari, atau harus melompat, mengembara dan berkelana menjelajah mengais pengalaman baru. Inilah yang dinamakan pilihan-pilihan. Dan kita harus memilihnya salah satu, meski sebenarnya kita bisa menjalankan keduanya, namun akan kurang optimal.  

Bismillah..

Semoga Allah karuniakan kebaikan-kebaikan atas apa yang kami pilih. Didasari niat untuk mengharap pahala dan ridhaMu, ya Rabb, berkahilah keputusan kami. Salam jumpa di Musasi..

9 July 2014

Pilpres: Pilih-pilih Preseden*

Pilpres 9 Juli 2014,

Pagi hari, semangat itu masih meninggi. Ba’da sahur dan salat subuh yang kemudian dirangkai dengan tadabbur Quran surat An-Nahl ayat 123-124 di Nurul Azhar. Ustadz Eko menjelaskan ayat per ayat yang menjelaskan betapa pentingnya meneladani sifat nabi Ibrahim sebagai Bapak Tauhid.

Ada 5 (lima) sifat nabi Ibrahim yang dijelaskan dalam ayat 123 tersebut. Pertama adalah Imam, yaitu yang dapat memberikan keteladanan. Kedua, tunduk-patuh-taat pada aturan Allah. Ketiga, lurus, yang dapat diartikan benar dalam setiap tindak-tanduk dan perilaku. Yang keempat, tidak melakukan kemusyirikan, yakni menyekutukan Allah dengan apapun. Dan yang terakhir adalah bersyukur pada Allah.

***

Pilpres yang dalam terjemahan aslinya pilihan Presiden. Pesta demokrasi lima tahunan. Kali ini yang menjadi trending topic bukan hanya dari kelas warung-warung makan pinggiran kaki lima, tapi merembet hingga artis-artis kelas papan atas dunia. Dua kandidat pasangan capres-cawapres yang dijagokan, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Jusuf Kalla ‘bertarung’ memperebutkan suara mayoritas rakyat Indonesia.

Maka, mempelajari rekam jejak dan reputasi kedua pasangan calon pun wajib hukumnya. Menimbang kualitas dan kapasitas keduanya sebagai pengemban amanah rakyat dalam lima tahun kedepan seolah tak bisa dipandang dengan mata. Artinya, maju-mundurnya negeri kita tercinta, dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia, tak bisa lepas dari peran seorang kepala negara dalam memberikan kebijakan dan kemaslahatan untuk rakyat dan umat.

Ketika pilihan kemajuan itu yang saya tangkap dari beberapa kali melihat tayangan televisi, yakni dari program debat capres-cawapres, yang notabene mempertunjukkan dengan jelas kemampuan seorang calon capres dan cawapres dalam menjawab pelbagai persoalan dan tantangan bangsa. Juga mengamati referensi dan kedalaman informasi media.

Plus ditambah diskusi dengan para sopir, mahasiswa, pendidik, pedagang, hingga pengangguran, jelas saya menangkap gejala kemajuan dan kebangkitan bangsa Indonesia --yang akan menghadapi tantangan lima tahun kedepan yang luar biasa itu-- datangnya dari pasangan  capres dan cawapres nomor urut 1 (baca: satu!). Prabowo-Hatta!
Bila kemudian ada yang mengaitkan,

“Ya jelas saja pilih nomor satu, kamu kan orang PAN.”
“Wah, ga heran, puasanya aja mendahului, pasti ikut PRABOWO!”
“Biasa, mereka kan golongan garis keras, fundamentalis, dsb..”

Bukan, bukan hanya karena alasan-alasan emosional seperti yang saya contohkan diatas..

****

Seringkali kami berdiskusi. Seperti yang kami lakukan ba’da Qiyamu Ramadan (salat tarawih) di Musala Nurul Huda tadi, saya bersama kawan seperjuangan Mohammad Delgago, dan guru kehidupan dan wawasan kami, Ustadz Syahrul, ST., membahas topik yang sedang hangat-hangatnya. Pilihannya ada tiga; piala dunia, infaq Ramadan, dan yang terakhir pilpres.

Tak dinyana, ketiga sub topik bahasan tadi rupanya masuk seluruhnya dalam diskusi yang berakhir ketika si Fuha (jagoan pertamanya Ustadz Syahrul) merengek minta pulang. 

Muqaddimah diskusi yang digelar di selasar musala dengan gaya lesehan itu pada awalnya membahas kekalahan Brasil yang telak atas Jerman di semifinal Piala Dunia. Dalam gelaran empat tahunan tersebut, Brasil yang dijagokan juara karena bertindak sebagai tuan rumah harus tunduk, patuh dan luluh lantak pada ketangguhan Jerman. Skor 7-1 menjadi bukti nyata ‘pembantaian’ tanpa belas kasihan tersebut. Absennya striker Neymar dan bek tangguh Thiago Silva menjadi kambing hitam kekalahan telak mereka yang dikenal dengan sepak bola indahnya; ‘Joga Bonito’.

Obrolan pun bergeser ke arah infaq Ramadan. Kegiatan yang menjadi agenda rutin musala Nurul Huda yang sama pada tahun-tahun sebelumnya, yakni membagikan beras pada mereka mustadh’afin yang berpuasa.
Tapi, mau tak mau diskusi kami akhirnya masuk pada putaran Pilpres. Dua kandidat ini akhirnya menjadi sasaran tembak. Bukan dengan hujan gol seperti gawang Brasil yang dikoyak Jerman, namun dengan analisis tajam yang dihimpun dari pelbagai sumber.

Diantaranya tentang ribut-ribut soal hasil hitung cepat Pilpres antar media yang berlainan hasil satu sama lain. Yang konon sudah tercium dari kasus Pilkada Jatim yang ternyata mencuat setelah ketua MK-nya (si Akil Baligh, eh..Akil Mochtar) tertangkap tangan tindak pidana penyuapan.

Hasil diskusi yang kritis, nyelentik, panas, dan membuat jiwa kita bergejolak bila melihat paparan argumentasi yang diberikan, sehingga lebih layak masuk dalam kategori OTR (Out of The Record). Mohon maaf bila tak bisa dipaparkan sekarang, sembari menunggu keputusan KPU tanggal 22 Juli nanti..

____________
*Preseden merupakan kejadian, tindakan, kesimpulan, keputusan yang telah terjadi pada masa lalu yg diikuti / ditiru oleh orang lain pada kejadian, tindakan yang sama atau serupa.pada masa berikutnya (idyahoo.answer.com-diakses 9/7/14)

7 July 2014

Judulnya Jadwal

Alhamdulillah, ungkapan yang wajib terucap untuk pertama kali, selain istighfar tiga kali saban usai salat. Ungkapan syukur karena diberikan oleh sang Maha menciptakan dan pemberi rezeki, juga karena saat ini, sudah mendekati Ramadan di hari ke-10. Lusa juga ada pemilihan capres-cawapres, dan yang pastinya ditunggu-tunggu adalah suguhan yang menarik dari si kulit bundar, apalagi jika bukan World Cup 2014.
Sayangnya, dari beragam warna dunia yang hadir dan memberi spektrum dalam tiap relung kehidupan itu, ada sedikit ganjalan yang terasa..

Beberapa hari ini saya berkepo-kepo di web Jurusan. Kelakuan yang sebenarnya jarang saya lakukan, tapi bersebab dalam web tersebut terdapat pengumuman yang dinanti-nanti oleh mayoritas mahasiswa semester akhir yang mencomot dan memprogram matakuliah skripsi dalam KRS-nya. Dan, sesuatu yang saya nanti-nanti itu rupanya belum nongol-nongol juga. Sudah saya tekankan pada diri saya untuk bersabar. Heh..bersabar?

Ya, hanya dengan sabar dan salat-lah pertolongan Allah itu datang. Namun, dalam konteks saat ini, dengan melihat para stakeholder jurusan dengan beragam 'politik kepentingan' di dalamnya membuat saya sedikit berkecil hati. Menyiutkan mental man shabara zafira yang sedang dipupuk.

Jika dulu, ya dulu saat kawah candradimuka diwarnai oleh para satria-satria penegak ilmu yang bersih hati dan jiwanya, tanpa tendensi dan kepentingan yang menyertainya, dunia perkampusan seolah dinamis dan bertaburan warna semangat tuk menggapai mimpi yang menjulang ke langit. Adanya sikap saling percaya (trust) antara pemangku kepentingan di perguruan tinggi dengan para pengais ilmu menjadikan kerjasama yang transparan tanpa harus disertai dengan transaksi abu-abu. Ujungnya pun menjadi semakin tak jelas, ada tumpang tindih antara hak yang harus diterima mahasiswa dan kewajiban yang kudu dijalankannya.

Dengan semakin berjalannya waktu, dimana hanya tinggal hitungan hari, maka saya hanya bisa ‘berpasrah’ pada Yang Kuasa. Berpasrah pada Yang Maha Segalanya ini bukan berarti kemudian saya cukup berpangku tangan, nirgerak, dan tengak-tenguk nungguk untuk saja. Namun, kepasrahan yang disertai dengan upaya daya yang telah dianugerahkan oleh-Nya pada kita. Diperkuat dengan doa-doa yang menjuntai dari bumi ke langit.

Dan bulan Ramadan yang mulia ini adalah momennya. Syahrut tarbiyah, bulan pendidikan, dimana ada gemblengan karakter tangguh dan pantang menyerah. Pengasuh, pelatih, sekaligus pengawasnya adalah Allah sendiri. Hasil training itu kemudian kita lihat dalam 11 bulan mendatang.


Jika kembali pada konteks asal, maka awal Juli sampai Agustus inilah pengerahan segenap kemampuan tenaga, otak, dan doa dioptimalkan. Dukung dan doakan kami, kawan!

23 June 2014

Tuntutlah Ilmu Sampai ke Jalan Bengawan

Pukul 13.30 dari rumah singgah (kos) Abah Kajat Lidah Wetan, motor keluaran tahun 2001 pabrikan negeri sakura ku keluarkan, nyetater dan berangkat dengan iringan bacaan basmalah.

Diniati dalam hati untuk ber-thalibul ilmi alias menunut ilmu, berangkatlah aku bersama misi dan visi yang menjulang tinggi.

Jalan Bengawan tujuanku, dekat Darmokali dari Joyoboyo lurus ke utara hingga ke Jalan Darmo, putar balik di Taman Bungkul kemudian lurus ke timur dan belok kiri sedikit, disitulah Jalan Bengawan, markas Bina Qolam, tempat dimana pelatihan yang berbingkai Madrasah Kreativitas Muslim diselenggarakan.

Sampailah jua akhirnya, meski sebelumnya sempet muter-muter bukan karena kesasar, tapi karena mencari tempat pengisian logistik yang ‘aman’, hehe..

Pukul tiga kurang seperempat tepat, roda duaku akhirnya masuk ke ke pelataran rumah no. 2A tempat dimana acara dihelat. Nampaknya masih sangat sepi dan belum banyak peserta yang datang. Dan ternyata benar, hanya aku seorang yang datang lebih awal, di dalam hanya ada tiga panitia acara dan dua orang pengurus yayasan penyelenggara acara.

Selanjutnya menuju musala agar salat Asar-nya tak ketinggalan dan tak menjadi tanggungan. Dan ketika melihat tempat wudlu yang baru dipermak dan musala-nya yang menempati sebuah ruangan, dapat disimpulkan rumah tersebut baru dibeli dan direnovasi.

Hampir pukul setengah empat ketika acara akan segera dibuka, mulailah satu persatu peserta berdatangan. Cholis Akbar sebagai pemateri dalam acara yang bertajuk Pengenalan Dasar-dasar Jurnalistik itu.
Redaktur majalah Hidayatullah yang sekaligus menjadi pengelola web Hidayatullah.com itu menyampaikan materi slide demi slide via powerpoint.

Dalam slide pembukanya, beliau memperlihatkan peta kepemilikan media di Indonesia yang 90 persen dimiliki oleh media non-Islam. Sisanya yang hanya kurang dari 10% dimiliki umat Islam, itupun tidak begitu laku di masyarakat. Selain memperlihatkan fakta-fakta tentang perkembangan media, mulai dari kepentingan, tujuan dan kekuatan dari media itu sendiri, yang sedikit banyak diantaranya adalah untuk menciptakan opini publik (public opinion), melahirkan efek dramatis, efek kognitif (tahu), afektif (sadar), dan konatif (berbuat). Pria yang sudah 15 tahun bergelut menjadi wartawan itu juga menyampaikan kekuatan dari media yang lainnya berupa melahirkan ideologi dan nilai, politik imagery dan framing (pembingkaian), serta melahirkan yang namanya worldview dan agama baru.

Selain menyampaikan beragam materi tentang media, beliau juga banyak menceritakan asam garam dalam penulisan berita. Haru birunya terhadap pemberitaan tentang Islam dan juga bermacam pengalaman saat liputan.


Kaya materi namun belum sampai pada tahap pemecahan masalah, kesimpulan yang didapat dalam pelatihan hari pertama kali ini. Dan memang, masih ada episode kedua dalam pengenalan dasar Jurnalistik yang akan berlangsung lusa. 

Esok, akan ada materi menggali inspirasi dari kehidupan sehari-hari yang akan disampaikan penulis yang juga menjadi dosen di STIKOSA AWS Zainal Arifin Emka. 

“Sok ketemu maneh,” jare wong Lamongan..