Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

24 October 2014

(Bukan) Kita

Kumandang adzan maghrib baru saja terdengar sayup-sayup. Gerobak itu masih penuh tumpukan sampah. Anak kecil itu menangis meratap dan mengiba, entah apa yang dimintanya, mengharap sang Ibu berhenti mengangkuti sampah yang masih menggunung di bak-bak sekolah itukah? Atau mengharap sang Bapak menghampirinya sejenak, menggendongnya, dan membelikannya sekedar permen atau makanan ringan?

Ternyata tidak, kedua orangtuanya masih saja berkutat dengan “ladang rezeki” yang kadang tak mengenal waktu. Memang, untuk mengambil sampah-sampah itu, mereka harus menunggu jam sekolah berdentang berkali-kali, dan memastikan para penghuninya pergi. Baru kemudian, mereka bisa memungut sampah-sampah yang kadang mereka sendiri tak pernah andil terlibat, tapi tahu-tahu sudah menggunung. Dari sampahlah mereka mengais rupiah demi rupiah.

Monas, 22 Oktober 2014.

Portal berita online menulis sampah-sampah yang berserakan usai “konser rakyat”, “syukuran rakyat” atau “pesta sehari, setelah itu kerja dan kerja”, entah apalagi namanya, yang banyak bertebaran di Monumen Nasional. Konon, jargon revolusi mental yang di dengung-dengungkan sebelumnya, hanya menjadi isapan jempol. Buktinya, meski beragam himbauan konon banyak dilayangkan di media sosial, namun hasilnya nol besar. Bahkan, salah satu postingan di fesbuk memperlihatkan alat kontrasepsi bekas pakai yang termasuk menjadi “komoditi” sampah sisa “pesta semalam suntuk” tersebut, na’udzubillah.

Jargon revolusi mental; jujur, sederhana, dan merakyat; serta “..adalah kita”, seolah menjadi bias bila dihadapkan pada realita yang ada. Jika memang memakai alasan merevolusi mental tidak gampang dan tak semudah membalik telapak tangan, maka kenapa harus menuliskannya di media cetak yang bertiras lumayan? Mengapa tak membukukannya sehingga latar belakang, rumusan masalah, hingga hipotesis yang diunngkapkannya jelas?

Apakah syukuran itu tak boleh? Jelas boleh. Tapi haruskah dengan cara hura-hura, menafikan keadaan bangsa yang sedang banyak dirundung duka, dari Sinabung yang meletus, kebakaran hutan sampai-sampai asapnya kita “ekspor” ke negeri jiran? Atau kalo tak mau jauh-jauh, dari kebakaran ratusan rumah yang terjadi di Jakarta? Atau kekeringan yang melanda negeri gemah ripah loh jinawi ini? Wooii, dimana empati kita sebagai bangsa yang konon menjunjung tinggi adat-adat ketimuran?
Apakah itu yang dimaksud dengan “KITA”?

Bukan! Kita bukan mereka..

Kita adalah golongan hamba, yang ketika amanah diberikan, kita tidak tertawa, tapi kita menangis, karena ada beban yang amat berat yang harus kita pikul.

Kita bukan mereka..

Kita adalah bangsa Indonesia, yang ketika saudara sebangsa dan setanah airnya sedang menanggug beban derita, kita mau memikirkannya. Bukan malah berpesta pora, dengan dalih “rakyat”, yang katanya untuk rakyat, tapi nyata-nyatanya hanya untuk memuaskan syahwat.
Dan kita bukanlah mereka..

Karena sejarah kita melahirkan tokoh-tokoh yang tak tunduk pada asing. Tak menjilat antek-antek “kompeni”, dan tak tunduk pada kepentingan penjajah. Serta tak pernah menjual bangsanya sendiri.
Kita akan bangga, ketika “blusukan” tak menjadi busuk karena polesan media mainstream, tapi karena niat bersih dan benar. Meleladani sikap Umar RA., yang ketika malam-malam sendirian mengangkut gandum sekarung untuk salah seorang rakyatnya.

**

Maghrib pun berlalu, cahaya emas di ujung barat kini berganti kelabu dan gelap, tanda-tanda malam akan menggantikan siang. Tapi suara tangis anak kecil itu tak terdengar, entah kemana..







11 October 2014

Pecel Mak Yati: Maknyus Bergizi tanpa Penyedap Imitasi

Berbahagialah, ketika kita menjadi salah satu bagian dari keluarga besar pencinta kuliner Indonesia. Mengapa? Sebab, ketika kita membeli makanan di sebuah warung , café, or restoran, maka di dalamnya kita menjadi bagian dari entitas yang disebut penjual dan pembeli.

Lebih dari itu, hubungan yang terjalin pun sudah terbingkai dalam ikatan persaudaraan. Bukan lagi “kita puas, kita bayar”, atau “tarif porsi sesuai permintaan lidah."

Maka, disaat “ikatan” penjual-pembeli sudah terlampaui, yang dalam prosesnya membutuhkan waktu lebih dari sehari, maka di saat itu pula kehadiran kita di warung langganan dirasakan menjadi sangat berarti bagi penjualnya.

Kedatangan kita begitu dinantikan. Kehadiran kita begitu dirindukan. Kita pun seolah menjadi bermakna dalam kehidupan. Ketidakhadiran kita seperti membuat ruang kosong, maka ketika kita kembali mencicipi kuliner yang itu juga dirindukan oleh lidah, maka klop-lah, antara kita dan penjualnya, ada ikatan simbiosis, mutualisme.

**

Cuplikan kalimat di atas adalah ungkapan perasaan pagi tadi (11/10/2014), ketika “bereuni” dengan salah seorang penjual kuliner yang sejak tahun 2009 menjadi langganan tetap dalam menu sarapan pagi. Pecel Mak Yati, panganan pecel khas Kertosono-Nganjuk,  yang warungnya menyewa lahan di Jemur Gayungsari gang II. Dari Graha Pena-Surabaya, kurang lebih arahnya 500 meter ke sebelah selatan.

Pertama kali menginjakkan kaki di Gedung Graha Pena bertinggi 21 lantai, lima tahun lalu itu, tak butuh waktu lama membuat lidah saya menjadi ketagihan dengan menu utama warung Mak Yati itu. Panganan yang berbahan cacahan sayur yang disiram bumbu pecel khas Kertosono itu rasanya maknyus dengan tambahan ceplok telur, tempe goreng, plus peyek ikan teri.

Bahkan, sebelum sinar matahari menyembul di ufuk timur, para pekerja dari Graha Pena Surabaya menjalani rutinitas untuk bersarapan ria dan menjadi golongan pencinta Pecel.  

Walah, wong namanya pecel juga sama saja, banyak juga tersebar dimana-mana,” kata beberapa teman yang kadang nyinyir dengan dan ga suka Pecel.

Maklum, argumen mereka terbangun karena belum pernah merasakan cita rasa pecel yang tak hanya enak, namun juga menyehatkan.

Dibilang menyehatkan, karena jelas-jelas panganan tersebut terdiri dari sayuran yang tentu banyak mengandung vitamin, mineral dan serat.

Kedua, dalam penyajian menu yang terdiri dari bumbu, lauk, sayur, maupun pelengkap berupa peyek teri, penjualnya, Mak Yati, tak pernah sekalipun memakai penyedap rasa seperti MSG, vetsin, micin, dan sejenisnya.

Micin seolah menjadi musuh utama dari Mak Yati ketika menjadi penjual kuliner. Jangan pernah berharap di warung pecel tersebut akan menemukan penyedap buatan, karena semuanya dijamin alami.

Mak Yati pernah bercerita, sudah puluhan tahun yang lalu dia hanya menggunakan garam dan gula sebagai penyedap rasa pengganti vetsin. Salah seorang yang menjadi faktor “penyebabnya” adalah sosok sang suami.

Sang suami, kata Mak Yati, akan marah besar jika dia menambahkan penyedap sintetis dalam tiap makanan yang dibuat. “Nggarai mbodohi utek (membuat otak bodoh),” tegas Mak Yati menirukan ucapan sang suami ketika itu.

Well, semoga Mak Yati diberi kesehatan dan kekuatan untuk tetap “berkarya”, menjaga cita rasa panganan khas Nusantara tersebut. Berkibar tinggi menebarkan ke-“laziz”-an pecel Kertosono yang maknyus bergizi tanpa penyedap imitasi. #salamsaturasa

(darul)