Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

28 April 2015

Dari Remang-remang Menuju Cerah Berseri-seri

Perawakannya biasa, tanpa jubah, tak berjenggot panjang pula. Tapi, kiprahnya tak kalah dengan para “pasukan jubah putih”. Jika mereka (para pasukan jubah putih) berkoar atas nama Tuhan, membawa “pentungan”, mengobrak-abrik lahan kemaksiatan. Apa yang dilakukan M. Arif’an (41) berbeda 180’. Dalam berdakwah dia tak sekadar “bersenjata golok”.

Baginya dakwah adalah jalan kebenaran yang harus ditempuh dengan cara yang terbaik. “Dakwah itu mengajak dan merangkul, bukan menakut-nakuti lantas membuat lari,” tambah pria yang menjadi ketua PCM Krembangan itu.

Ketika hadir dalam Pelatihan Ideopolitor di Graha Umsida, Sabtu-Ahad (25-26/4), pria yang menamatkan gelar sarjananya di Unmuh Surabaya itu menggambarkan lika-likunya dalam dakwah lokalisasi. “Saya tinggal di lingkungan prostitusi, jadi saya tahu betapa kelamnya para wanita yang menggantungkan hidupnya pada “lembah hitam” tersebut,”tukasnya.

Tekad dan keinginannya yang kuat, tak lantas menjadikan jalan dakwahnya lurus tak berpenghalang. Pernah suatu hari dia diprotes ibu-ibu Aisyiyah karena para bapak diajak bertabligh di wisma-wisma. Namun, beragam penolakan yang datang dari Ibu-ibu ‘Aisyiyah maupun dari warga Muhammadiyah sendiri tak menyurutkan tekadnya untuk tetap melanjutkan gagasan besarnya tersebut. “Karena dakwah sesungguhnya tak berhenti pada masjid, musala, atau tempat-tempat “nyaman” lainnya,”imbuh Bapak dua anak itu menambahkan.

Tekadnya semakin membulat ketika dirinya terpilih menjadi ketua pada Musycam PCM Krembangan. Sebagai pimpinan persyarikatan pada taraf cabang, dia tak segan mengganti para pimpinan ranting yang jarang berjamaah di masjid dan musala. “Ketika kita dipilih menjadi pimpinan, apalagi dalam organisasi besar seperti Muhammadiyah, maka pada saat itu kita menjadi teladan bagi masyarakat,”ungkapnya. Dia menambahkan sebagai pimpinan persyarikatan dalam apapun kapasitasnya, setidaknya punya kriteria 4-er, pinter, bener, kober, dan . “Pimpinan Muhammadiyah ibaratnya bekerja pada perusahaan Allah. Jangan pernah jadikan sampingan, harus sungguh-sungguh mengelolanya,”lanjutnya dengan nada serius.

Perjuangannya setidaknya membuahkan hasil, ketika banyak perusahaan yang menyalurkan dana CSR-nya pada PCM Krembangan. Beberapa perusahaan itu bahkan tak segan memberikan berapapun dana yang diminta untuk bisa memberdayakan para pekerja PSK agar mandiri dan mentas dari “lembah hitam”.

Namun, bukannya tanpa halangan perjuangan yang dirintisnya. Banyak ancaman dan teror datang, terutama dari para preman yang tidak ingin “lahan basahnya” berpindah atau menghilang. “Saya pernah dikalungi (lehernya dilingkari) pedang oleh salah seorang preman. Beberapa saudara juga lari menjauh dari saya karena merasa tidak aman,”kenangnya. Namun, pada akhirnya, ketika seseorang menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya. Dukungan yang diterimanya pun semakin banyak, hal itu terlihat ketika PDM dan Aisyiyah lambat laun menyambut gagasannya. Walikota Tri Rismaharini pun turut membantu ketika lokalisasi yang berada di Dupak Bangunsari dan Kremil itu dicanangkan untuk ditutup.

Para peserta tampak tak beranjak sedikitpun dari tempat duduk, antusiasme berlanjut ketika pada sesi tanya jawab, para peserta ingin tahu bagaimana kiat perjuangannya Rif’an dalam mengembangkan cabang dan ranting lebih lanjut. Pada akhir sesi, narasumber bahkan “ditahan” oleh para peserta karena rasa ingin tahunya yang masih tinggi.  

Pelatihan ideopolitor diselenggarakan Majelis Pendidikan Kader (MPK) PDM Sidoarjo, yang bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR), turut juga mengundang perwakilan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) se-Kabupaten Sidoarjo. Selain memberikan penguatan akan pentingnya ideologi Muhammadiyah dalam gerakan dan organisasi, panitia yang didominasi para Pemuda Muhammadiyah Daerah Sidoarjo itu juga menghadirkan ketua fraksi PAN Kabupaten, yang memberikan wacana perpolitikan di kota delta.

Sehari sebelumnya acara tersebut dibuka ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo Ustadz Dzul Himam, Lc. Pada kesempatan yang sama ketua MPK dan kepala SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo Drs. Aunur Rofiq hadir saat sesi penguatan cabang dan ranting. Setelahnya rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Drs. Hidayatulloh, M.Si., memberikan percik inspirasi ideologi Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan yang melintas zaman. Dalam ceramahnya, Pak Dayat mengingatkan bila setiap perubahan yang dilakukan Muhammadiyah berkat para tokohnyayang berani mendobrak kemapanan. Contoh misalnya KH. Ahmad Dahlan, dengan keberaniannya mengubah arah kiblat masjid Agung Kauman yang sejak lama salah. Juga ada Pak AR Fachruddin, dengan kemampuan komunikasinya yang baik pada Presiden saat itu, menjadikan Muhammadiyah lebih besar dan berkembang. Selain itu ada Pak Amien Rais, sang lokomotif reformasi, menggulingkan rezim yang sudah 32 tahun berdiri. Kini, ada Pak Din Syamsuddin yang menabuh genderang jihad konstitusi.

Jangan pernah berhenti Mujahid-mujahid Muhammadiyah, jadikan negeri ini tercerahkan oleh langkah dakwahmu..

Trawas-Jasem, 280415
Dalam Dekapan CintaNya


SEMANGAT: Sebagian Peserta dan Panitia Mengabadikan Momen*
foto: fesbuk Abi Nurbian

22 April 2015

Sekuler

Api Tauhid, novel terbaru Habiburahman El Shirazy tak hanya mengulas bagaimana rona kisah cinta antara Fahmi dan Nuzula. Disamping roman tersebut, penulis yang akrab disapa Kang Abik itu menceritakan pula kisah perjuangan seorang pahlawan akidah, dialah Badiuzzaman Said Nursi.

Bisa dibilang, Said Nursi merupakan ulama lintas zaman. Ia lahir ketika Khilafah Utsmani masih kokoh berdiri. Ketika masa Sultan Abdul Hamid yang amanah menjalankan sistem khilafah, Said Nursi ingin memberi masukan pada kebijakan yang diambil Sultan. Ketika itu, tidak sedikit warga Turki yang mulai banyak “terkontaminasi” dengan gaya hidup barat. Maklum, Turki adalah negara dua benua, Eropa dan Asia. Masukan dari Said Nursi hampir saja dijalankan, namun sayang, “rongrongan” dari luar rupanya banyak menggoyahkan keteguhan Sultan, dimana saat itu kekuatan Ottoman sudah mulai berkurang.

Menjelang kekhilafahan Utsmani runtuh, kobar perjuangan Said Nursi belum padam. Bahkan ketika tampuk kekuasaan bertransisi ke arah sekuler, dimana pelajaran agama dihapus, para ulama diberangus, sampai pada hal lafadz adzan pun diganti dengan bahasa Turki, Said Nursi tak berdiam diri. Saat fatwa para ulama dibungkam menurut hawa nafsu pemerintah, Said Nursi enggan menerima. Baginya, harum Islam harus tetap disebar, jangan karena rendah diri, nama Islam kemudian dikucilkan dari peradaban. Paham sekuler merupakan ideologi yang memisahkan ranah agama dengan dunia. Bagi penganut sekularisme, membawa-bawa agama hanya akan membawa masalah. “Jauhkan agama dari tempat umum, masukkan dia ke ruang privat,” kata mereka.

Gaung pengaruh sekuler rupanya terendus sampai Indonesia. Peran Islam dalam sejarah kemerdekaan tak banyak ditampilkan. Buku-buku sejarah yang seharusnya menyajikan fakta sejarah yang sebenarnya tertutupi beragam kepentingan sentimen agama. Nama-nama ulama dan pejuang Islam mendapat porsi lebih sedikit dalam materi sejarah di sekolah. Akibatnya pun bisa ditebak. Generasi muda Indonesia lebih mengenal Kartini daripada Nyai Walidah. Mereka kurang familiar dengan Dewi Sartika dan Rohana Kudus. Mereka lebih senang Kartinian daripada Cut Nyak Dien-an, atau Malahayatian. Impact-nya lebih jauh bisa ditebak, ghirrah—semangat dalam beragamanya tidak lagi militan. Fanatiklah pada klub sepak bola, pada bintang korea, jangan fanatik beragama. “Agama hanyalah candu,”kata Nietzche.

Jika sudah demikian, apa yang dikhawatirkan dari virus sekularisme akan menjadi kenyataan. Mereka—para generasi muda, akan memberikan disparitas antara ilmu agama dan ilmu dunia. Ilmu dunia akan diposisikan pada masalah dunia, ilmu agama akan ditempatkan pada ranah akhirat. Mereka akan sulit menangkap dan membaca “ayat-ayat tersirat”.  

Tak salah ketika di dalam kelas, seorang guru Penjasorkes dalam mengawali materi lompat jauhnya, memberikan pemahaman pada seluruh murid betapa pentingnya mengungkap fakta sejarah yang lurus. Guru tersebut menyampaikan argumen, bila di masa Kartini hidup, banyak nama-nama pejuang wanita yang tak kalah gigih berkorban demi pemberdayaan dan kemerdekaan.

Namun sayang, upaya sang guru belum bisa ditangkap salah seorang murid. Dalam sebuah diskusi, murid tadi bertanya pada sang guru; “apa hubungannya Kartini dengan Olahraga?” Guru tersebut hanya bergumam dalam hati,”banyak-banyaklah membaca, Nak, kau akan tahu sendiri.” Kendati di bagian hatinya yang lain dia ingin berucap lirih,”di Jepara itu ada Stadion Sepak Bola yang bernama Gelora Bumi Kartini.”

Porong, 220415
Ketika Mayantara membawa Imajinasi Nyata



*gambar:http://opinion.bdnews24.com/

Bermuhammadiyahlah, Bergeraklah!

“Islam Agamaku, Muhammadiyah Gerakanku”

Semboyan diatas bukan sembarang semboyan. Jargon yang populer di kalangan warga persyarikatan tersebut rupanya menjadi semacam parameter; “bermuhammadiyahlah, maka dirimu akan bergerak!”

Ibarat air, ketika diam menggenang maka akan menjadi sarang penyakit. Berbeda ketika air tersebut mengalir, tiap lekukan batu, sawah, dan sungai menjadi hidup karena air yang mengalir. Maka menjadi warga Muhammadiyah dalam apapun kapasitasnya, kewajiban bergerak, mengalir seperti air, sudah saatnya menjadi keharusan.  

Gerakan Muhammadiyah adalah amar ma’ruf nahi munkar, menyuruh dalam kebaikan dan mencegah dari yang munkar. Dalam tataran praktis, ketika ada “lahan” untuk berbuat ma’ruf, maka ada kewajiban untuk menjalankan dakwah ma’ruf di sana. Contoh kecilnya, ketika di sekeliling tempat tinggal banyak anak-anak kecil dan remaja, bahkan orangtua yang kurang bisa atau belum lancar membaca Al-Quran, ada rasa keterpanggilan kita untuk mengajarinya. Lebih-lebih ketika kita menggerakkan teman-teman sejawat untuk mendirikan TPQ atau taman belajar Al-Quran. Demikian pula, jika ada tetangga yang kekurangan dalam hal materi. Sebagai warga Muhammadiyah, yang selalu berpedoman tajdid, maka tak cukup dengan memberi “ikan”, harus “kail”, agar kemandirian bisa tercapai.

Mencegah pada yang munkar idealnya menjadi pedoman bagi seluruh elemen warga Persyarikatan. Tentunya, tetap dalam koridor cara yang terbaik. Jika sudah demikian, diperlukan semacam kreatifitas dalam dakwah. Dakwah tak lagi terbatas hanya dalam tataran ceramah. Bukan pula, atas nama dakwah, cara-cara kekerasan dilegalkan. Jika ingin menjadi warga persyarikatan yang baik, terus meneruslah belajar, agar dapat mengurusi Muhammadiyah, bukan malah sebaliknya: menjadi obyek yang harus diurusi Muhammadiyah.

Muhammadiyah di tahun ini sudah berumur 103 M/106 H. Usia yang layak dikatakan matang, bahkan sangat matang. Tantangan yang dihadapi pun semakin kompleks. Satu abad lebih usia Muhammadiyah seperti sepotong kue besar, yang diperebutkan banyak orang.
Atas nama organisasi, tak jarang banyak oknum yang memperkaya diri. Dengan dalih meraup banyak suara, nama Muhammadiyah dijual murah. Atas nama kekuasaan dan jabatan, lagi-lagi kebesaran Muhammadiyah digadaikan. Ketika sudah menjabat, nama Muhammadiyah ditanggalkan. Beragam alasan diungkapkan.

Bermuhammadiyahlah, maka dirimu akan bergerak!

Lebih dari itu, Muhammadiyah adalah satu  gerakan yang dilandasi semangat dakwah. Dalam pendidikan harus ada nafas Islam pada tiap hembusannya. Dalam ranah politik, cita-cita “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” selayaknya menggantikan orientasi “kursi” dan materi. Jangan kemudian lalai, lantas menjadi semacam “buih yang terombang-ambing di lautan”. Adakah indikasi kesana? Sedikitnya jumlah Ulama Muhammadiyah saat ini, kemungkinan itu bisa saja terjadi. Wallahua'lamu bisshawwab.

Porong, 220415
Saat Kultum Pak Anang pada Briefing Pagi Menginspirasi



 *gambar: muhammaddaradjat1962.files.wordpress.com

20 April 2015

Teacher’s Blogger

Menjadi guru pada era kekinian dituntut update perkembangan teknologi. Hal tersebut wajar, ketika daya tangkap dan nalar anak-anak zaman sekarang bisa dikatakan lebih unggul dari masa kanak-kanak tempo dulu. Memang ada gap yang cukup kentara antara sekolah pinggiran dan sekolah perkotaan, baik dari segi bangunan, fasilitas, sumber daya guru pengajar, maupun teknologi yang sedang berkembang.

Namun, seorang pendidik harusnya memegang prinsip "dimanapun tempat kita mendidik dan mengajar, kita harus siap!" Mereka yang mengabdi di pinggiran, rasa syukur itu harus tetap dijaga dan dipelihara. Jangan sampai keterbatasan mematikan kreativitas. Bagaimanapun juga, menjadi guru sekolah pinggiran memberikan kesempatan menularkan teladan keikhlasan di tengah keterbatasan. Teladan yang dicampur bumbu ikhlas akan memberikan dampak luar biasa bagi masa depan para anak didik. Guru tersebut akan memberikan "warna" yang akan selalu melekat hingga dewasa kelak. Sama halnya dengan mereka yang sekarang mengajar di sekolah perkotaan, kiranya wajib mensyukuri. Kemudahan aksesibilitas diantara kesibukan sudah waktunya dinikmati, bukan diratapi.

Musasi, merupakan akronim dari SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo. Sekolah yang letaknya tak jauh dari pusat kota delta itu tak lagi mengalami keterbatasan dalam fasilitas dan teknologi seperti yang banyak dialami sekolah-sekolah lain. Jika ruang kelas sekolah lain—dalam artian sekolah swasta yang setara—untuk fasilitas semacam LCD saja belum tentu lengkap, maka sekolah yang terletak di Jalan KH, Samanhudi itu malah bisa dikatakan wah. Lihat saja sarana kantin sekolah dan Lab IPA-nya yang cukup mewah, belum lagi fasilitas “sinar” wifi yang berpendar dimana-mana (terutama ruang guru-red). Maka tak salah bila sekolah yang sudah berdiri sejak tahun 60-an itu terpilih menjadi salah satu sekolah yang menjadi pilot project pengembangan teknologi dari Google Indonesia.

Sudah beberapa kali tim Google memberikan pelatihan pada para warga sekolah, khususnya para guru. Tujuannya jelas, untuk memberikan alternatif media pembelajaran yang tidak hanya terpaku di dalam ruang kelas. Menjadi sekolah percontohan juga memberikan keberkahan. Salah keuntungannya adalah fasilitas ruang penyimpanan Gmail yang sampai 30 gigabyte (GB). Dan itu diberikan cuma-cuma pada seluruh warga Musasi. Maka jangan heran sekarang para guru, karyawan, dan siswa menggunakan akun Gmail dengan domain @smpm1sda.sch,id, bukan lagi memakai @gmail.com yang “hanya” berkapasitas 15 GB. 

Untuk menunjang sekolah berbudaya, baik teknologi maupun literasi, maka sekolah mengadakan lomba blog bagi para guru dan karyawan Musasi. Bagi guru yang sudah memiliki blog tinggal meneruskan saja catatan-catatannya. Sedangkan bagi mereka yang belum, maka hukumnya wajib untuk membuat dan berpartisipasi. Sabtu lalu (18/4) pimpinan sekolah yang dikomandoi Waka Sarana dan Prasana Edy Prawoto mengadakan pelatihan dan tanya interaktif tentang blog. Sejak pagi, ruang guru dipenuhi hampir seluruh peserta pelatihan yang terdiri dari Guru dan Karyawan. Mereka dengan mimik serius mendengar dan mengikuti arahan dari guru multitalent pemilik blog laci guru tersebut. .

Awalnya Pak Edy memberikan tutorial membuat blog baru dengan menggunakan blogspot. Setelah blog dibuat, para peserta diminta untuk menuliskan catatan atau fotonya di halaman entri . Setelah itu para peserta "digiring" untuk menghias blog dengan beragam widget, baik yang bersifat bawaan dari blogger maupun tambahan dari pihak ketiga. “Salah satu widget bawaan adalah tautan, di dalamnya dapat ditambahkan link dari blog guru atau siapapun yang sudah membuat blog” kata Pak Edy disambut antusia para peserta. 

Beberapa peserta yang belum punya blog tampak begitu bersemangat. Dengan sabar Pak Edy mengajari dan memberikan penjelasan bagi yang masih bingung. Bagi mereka yang sudah mempunyai blog, pelatihan tersebut tak ubahnya ajang berbagi pengalaman dalam mengelola dan menghias blog untuk agar terlihat semakin memikat. 

Blog “Singbaurekso” besutan kepala perpustakaan Kholifah Nurdiana adalah salah satu yang "beringas". Dibuat singbaurekso Musasi dua puluh tahun itu secara mandiri. Bayangkan, untuk ukuran usia Bu Khol yang diatas kepala lima, namun semangatnya tak kalah dengan yang baru beranjak remaja, (hehe..). Blog itu dibuat sedikit demi sedikit di sela-sela aktivitas beliau mengurus perpus. Blog yang penuh dengan ulasan-ulasan buku yang ada di perpustakaan Musasi itu sejatinya ingin diubah tampilannya agar lebih hidup dan menarik. Sayang, bawaan template yang tak bisa diutak-atik membuat keinginannya menambahkan slide foto pada postingan harus tertunda. Blognya pun sementara hanya berhias slide foto di bilah samping serta sedikit modifikasi pada kursor. 

Lain "Singbaurekso" lain pula "Alis Baja", nama blog dari Waka Ismuba Moch. Mughir. Meskipun menggunakan template biasa, namun konten di dalamnya indah tiada terkira. Blog Pak Mughir, berisi banyak foto kegiatan, guru dan karyawan, juga tak ketinggalan materi pelajaran agama Islam, terutama Ke-Muhammadiyahan. Maklum, pria yang sekaligus mengemban amanah sebagai Waka Humas tersebut juga mengampu Al Islam, mata pelajaran khas di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Tak lupa, Pak Mughir juga menambahkan Al Quran digital di blognya, wah..wah..super!

Tanpa terasa dua jam lebih waktu pelatihan terlewati. Pak Edy akhirnya menutup sesi dengan memberikan polling blog yang penilaiannya diberikan batas sampai akhir Mei 2015.
Teacher’s Blogger..Yes, We Are!


Jasem 200415 at Teacher’s Room Musasi
*gambar http://cdn.teachhub.com/

15 April 2015

Kepada Siapa Lagi Kami Bertanya?

Siang itu saya beserta kawan menghadiri tabligh akbar. Entah kapan persis tanggalnya, acara yang menghadirkan Pak Amien Rais tersebut memantik keingintahuan kami untuk datang. Jika tidak salah, acara tersebut bertempat di Perguruan Muhammadiyah Gempol, sebelah timur Pasar Kejapanan. Ada satu kenangan yang hingga sekarang masih terngiang. Ketika masuk waktu salat Dhuhur, kami berdua mencari musala. Kebetulan musala berada tak jauh dari lokasi acara. Kami menunggu mulai pagi, ternyata ada kabar Pak Amien datang selepas dhuhur.Saat menunggu waktu salat, seorang bertubuh agak besar dan beberapa orang di belakangnya tiba di musala.

“Assalamu’alaikum..”

“Wa’alaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh”

“Sudah adzan?” tanya orang tersebut.

“Belum, Pak”

Ketika orang tersebut duduk, mereka yang berada di belakang orang tersebut kemudian ikut duduk dan berbincang. Ketika itu saya masih belum ngeh dengan organisasi dan persyarikatan. Ghirrah yang muncul hanyalah menuntut ilmu di tempat manapun yang bisa dijangkau. Setelah sayup-sayup terdengar adzan, salah seorang dari rombongan tersebut beranjak dari tempat duduk dan segera mengumandangkan adzan. Usai adzan, semua yang berada di musala tersebut berdiri untuk mengerjakan qabliyah dhuhur. Iqamat dikumandangkan, dan sosok yang berkharisma tersebut ditunjuk para rombongan untuk menjadi imam. 

Usai salat dhuhur, kami kembali ke tempat acara. Sejenak kami membicangkan, siapa gerangan tadi yang menjadi imam salat, kok sepertinya pernah lihat? Kami hanya bisa menduga-duga sampai akhirnya mata kami melihat sosok itu duduk di kursi depan, tempat para tamu penting.

Dan beberapa waktu kemudian ketika berlangganan majalah YDSF, saya baru tahu sosok yang berada di musala dan menjadi imam salat dhuhur adalah salah satu ulama fikih yang banyak dijadikan tempat bertanya. Dari tangannya lahir banyak buku yang mengulas beragam persoalan ibadah dan muamalah. Dialah Allahuyarham Ustadz KH. Mu’ammal Hamidy, Lc. 

Saat berlabuh di SMP Musasi, saya bertemu kembali dengannya disaat menjawab persoalan umat di kolom konsultasi agama. Saya pun selalu menantikan goresan beliau yang lain dalam kolom hadits. Ulasan-ulasan tersebut hadir menyejukkan di majalah MATAN, media bulanan terbitan PWM (Pimpinan Wilayah Muhammadiyah) Jawa Timur.

Dan, ketika kabar duka itu datang..

Kepada siapa lagi tempat kami bertanya?

Sebuah pertanyaan yang menggelayut di pikiran kami. Ketika ulama dipanggil Allah, mayoritas umat kehilangan, Kepada siapa kami mendapat pencerahan? Siapa lagi yang akan menjawab persoalan umat yang kian hari makin kompleks? 

Bisakah sekaliber Ustadz Abdurrahim Nur, sosok ulama yang murah senyum yang menjelaskan persoalan agama dengan mengajak para jama’ah memikirkan ayat-ayatNya?

Bisa pulakah setara dengan Ustadz Aliga Ramli, salah satu cendekiawan fikih, yang ketika menjelaskan sebuah ayat dan dalil menumbuhkan ghirrah untuk berthalibul ilmi?

Ataukah seperti Ustadz Mu’ammal Hamidy sendiri, yang kemampuan dakwah maupun menulisnya sama-sama baiknya? Yang menguraikan masalah rumit dengan pendekatan yang baik dan ga mbuleti?


"Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati" (QS. Ali Imran: 185)”

Mendung sore itu menggelayut. Kelabu awan menyapu pemandangan sepanjang jalan. Gurat kesedihan seolah terbaca langit. Hari itu dunia berduka. Sosok ulama-penulis telah dicukupkan umurnya. Allahuyarham Ustadz KH. Mu’ammal Hamidy, Lc. Semoga Allah menerima semua amal baiknya, aamiin.


Porong, 150415
—saat maghrib memanggilmu

Riwayat Hidup:

KH. Mu'ammal Hamidy, lahir di Lamongan 1 September 1940. Menuntaskan pendidikan dasar di MI Muhammadiyah Sedayulawas, Lamongan pada 1955. Sekolah menengahnya ditempuh di Pesantren Tebuireng Jombang dan Pesantren PERSIS Bangil Pasuruan. Pengetahuan keagamaannya kembali diasah di Universitas Madinah, Arab Saudi. Selain sebagai mubaligh, guru Pesantren PERSIS Bangil (1964-1984), dan dosen serta Direktur Ma'had Aly Lil Fiqh Wad Dakwah Bangil (1994-sekarang), ini pada menjelang reformasi sempat duduk menjadi anggota DPR RI.

Kiprahnya dalam struktur Muhammadiyah diawali sebagai Ketua Majelis Dikdasmen Bangil, kemudian Ketua PCM Bangil, Ketua Majelis Tarjih PWM Jatim, dan Wakil Ketua PWM Jatim selama tiga periode berturut-turut. Di tengah kesibukan membimbing umat, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Al-Muslimun Bangil (1975-1985) ini tetap rajin menulis dan mengasuh Rubrik Tanya Jawab di berbagai majalah. Ia bahkan sudah aktif menulis sejak tahun 70-an. Bukunya yang telah terbit, antara lain: Terjemah Nailul Authar, Terjemah Syarah Riyadush Shalihin, Terjemah Halal dan Haram dalam Islam, Tanda-tanda Khusnul Khatimah, dan lain-lain.
(sumber: Hamidy, Mu'ammal. 2012. Islam dalam Kehidupan Keseharian. Surabaya: Hikmah Press)

Allahuyarham Ustadz KH. Mu'ammal Hamidy, Lc (1940-2015)

13 April 2015

Aysel dan Emel

Jika Pak Edy Prawoto lebih suka memberi judul “Bule dan Perdagangan Bebas”, maka saya lebih memilih sudut pandang lain. Aysel dan Emel, dua tokoh yang diceritakan Kang Abik dalam novel terbarunya Api Tauhid.

Dalam novel pinjaman Perpus Musasi yang bau saya tuntaskan tersebut, Aysel diceritakan sebagai sepupu Hamzah, teman kuliah tokoh utama Fahmi ketika menempuh studi di Madinah. Karena Fahmi mendapat ujian sesaat setelah menikah dengan putri Kyai Arselan, Nuzula. Belum beberapa lama menikah, Fahmi diminta untuk menceraikan Nuzula tanpa sebab yang jelas. Kegalauan Fahmi akhirnya dilarikan dengan cara ‘radikal’; menghafal Quran dengan hafalan sebanyak 40 kali di raudhah masjid Nabawi.

Belum genap 20 kali khataman, tubuh Fahmi akhirnya ambruk. Ketika ditemukan sahabatnya asal Indonesia, Ali, ia segera dibawa ke rumah sakit oleh Hamzah. Begitu siuman dan baikan. Keinginannya untuk melupakan masa lalunya begitu kuat, sampai akhirnya Hamzah menceritakan rencananya pulang ke negara asalnya, Turki, pada liburan kuliah. Gayung bersambut, Fahmi akhirnya mau ketika ditawari Hamzah untuk ikut bersamanya. Bersama Subki, sahabat kuliahnya yang lain asal Indonesia, mereka pun pergi ke negeri yang berbatasan dengan selat Bosphorus tersebut.

Di negara bekas kekhalifahan Utsmaniyah itu, Fahmi dan Subki diajak berkeliling kota-kota bersejarah yang ada kaitannya dengan Badiuzzaman Said Nursi, seorang Mujaddid—yang juga menjadi kisah lain di novel ini—dan ikut andil dalam menjaga kemurnian tauhid umat Islam Turki dari gempuran atheisme dan sekularisme yang didengungkan Mustafa Kemal Attaturk.

Di sanalah akhirnya mereka bertemu dengan Aysel dan Emel. Emel sendiri juga ada ikatan saudara dengan Hamzah. Kedua saudara Hamzah tersebut diceritakan dalam novel tersebut sama-sama mempunyai paras yang rupawan—terus terang sebelumnya saya hanya bisa menggambarkan paras-paras rupawan Indonesia—yang membedakan hanyalah soal kualitas hafalan Quran. Dalam bidang hafalan, Emel, lebih unggul dari Aysel, karena Emel lebih mendalami ilmu agama dibanding Aysel.

Kembali ke topik awal. Sabtu pagi itu (11/4), saya ‘beruntung’ bertemu Aysel dan Emel dalam arti yang lebih luas, hehe..

Ruang guru dibuat panik, ketika para peserta pelatihan yang mendapat wejangan IT dari Pak Edy, dikejutkan dengan kedatangan gadis-gadis luar negeri. Ternyata mereka adalah mahasiswa Bu Purwaningsih, Dosen yang sekaligus Dekan Fakultas Keperawatan Unair, yang sengaja diundang ke sekolah untuk menjadi pembicara dalam kegiatan IPM tentang Bahaya dan Penanggulangan HIV/ AIDS.

Mereka berenam adalah mahasiswi Belanda yang menjalani pertukaran mahasiswa dengan Unair. Selama enam bulan mereka “menjajah” kembali Ibu Pertiwi. Dari sekilas perbincangan dengan Bu Pur—panggilan Bu Purwaningsih, mereka sudah dua bulan berada di kota Pahlawan. Bu Pur juga bercerita, jika diantara enam mahasiswi asal Belanda itu, ada satu yang keturunan Turki.

“Agamanya Islam, Bu?”

“Ya, Islam! Ketika saya studi di Belanda, Ayah-Ibu mereka salat dan puasa, tapi dia (gadis Turki) itu ga salat dan ga puasa..”jawab Bu Pur. 

“Kenapa, Bu?”

“Karena pengaruh lingkungan. Disana kan ateis begitu dominan. Materialisme menjadi Tuhan. Meskipun gereja-gereja bertebaran, namun taka da yang berpenghuni, sepi.” tambah wali murid dari Iqra kelas 7C ini. 

Hmm..saya hanya bisa menarik nafas panjang..

Kedatangan para tamu dari Belanda ke sekolah kami tersebut, setidaknya pada diri saya pribadi memberi banyak pelajaran.

Yang pertama adalah aspek keimanan. Betapa kita sungguh bersyukur dilahirkan Ibu kita sudah dalam keadaan Islam. Kita berislam secara turunan. Dan lingkungan kita, negara kita mayoritas pemeluk agamanya adalah Islam. Sejak kecil kita dibiasakan dengan akhlak dan ibadah Islami, Alhamdulillah..

Kedua, saya sendiri merasa minder, Dengan kemampuan bilingual yang sangat terbatas dan pas-pasan, rasa-rasanya begitu kelu lidah ini untuk sekedar bertanya pada mereka. Saya pun jadi teringat masa pra-kemerdekaan. Bagaimana kecerdasan para founding father kita, Bung Hatta dan Agus Salim saat berdiplomasi dengan mereka. Lha kita (saya), jangankan berdiplomasi, untuk sekedar….(ah sudahlah)

Terakhir, rasa penasaran saya dengan sosok Aysel dan Emel akhirnya sedikit terobati. Bayangan saya pada keduanya, akhirnya terjawab dengan kehadiran enam mahasiswa asal Belanda tersebut. Lho, Belanda kan bukan Turki? Iya, setidaknya Turki adalah separuh wilayahnya masuk Eropa, Iya, kan?!

Porong, 130415
—ghadul  bashar—

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al-Hujurat:13)



11 April 2015

Sepenggal Kisah Wisuda (2/habis)

Jadi begini, ketika kita punya kenangan dengan apapun itu, maka saat bertemu kembali dengannya, sedikit banyak kita akan mengenang masa-masa bersamanya. Seperti itulah saya ketika mendapati kenyataan Wisuda ke-82 Unesa akan diadakan di DBL Arena, bukan di GOR Bima-Lidah.

INSTAGRAM: 23 Juni 2013

Haru. Betapa tidak! Dulu, sekitar tujuh tahun lalu, ketika diri ini untuk pertama kalinya menjejak kaki di Graha Pena. Info lowongan kerja yang dibaca pada kolom iklan baris hari Sabtu di Jawa Pos, mengantarkan langkah kaki hingga sampai di markas koran terbesar di ujung timur pulau Jawa itu. 
Hanya berbekal selembar ijazah cuma-cuma dari SMA, ditambah semangat jihad fi sabilillah, membulatkan tekad pada diri untuk mengubah keadaan, dari tiada menjadi ada, dari kutu kupret menjadi kutu loncat—kutipan khas Pak Romi Satria Wahono, dengan harapan agar dapat menjadi kenyataan—red.

Bukan waktu yang singkat untuk dapat bertahan di rumah keluarga besar Jawa Pos Group tersebut. Bukan pula semudah membalik telapak tangan untuk dapat mengatur waktu, dan kemudian membaginya antara kesibukan kerja dan kuliah. Menjadi mahasiswa dua kaki. Menjadi pekerja dua hati. 

Pernah ada suatu masa, ketika musala di lantai dua menjadi teman tidur setia. Hanya karena ketika jam pulang malam shift dua yang pukul sebelas itu aras-arasen—malas—terj, akhirnya musala menjadi sasaran. Ada pula masa, ketika kamar mandi redaksi yang ada di lantai empat menjadi target, agar bau badan sedikit berkurang ketika masuk shift pagi. Begitulah sedikit ingatan yang disebut dengan kenangan itu.

Maka saya begitu naif, ketika menyebut gelar yang saya dapatkan ini murni karena kerja keras, keuletan, dan sikap pantang menyerah dari saya seorang, itu salah besar. Karena sesungguhnya ada banyak tangan-tangan yang digerakkan oleh Allah untuk membantu hambanya yang lemah dan tanpa daya ini. Ada doa-doa terpanjatkan. Dan itu semua karena Allah yang memberi jalan atas semua kemudahan.

Saya akan mengingat mereka, kawan seprofesi di ring satu (sebutan untuk “pasukan” garda terdepan) yang telah memberikan sumbangsih waktu, tenaga dan pikirannya untuk saya. Mereka mungkin disebut golongan—maaf-- “pekerja kelas bawah”, namun percayalah dari merekalah saya menemukan pelajaran berharga: “jangan pernah menilai isi buku dari sampulnya”.

Kenyataannya memang, ketika dugaan awal yang mengatakan tidak adanya teman baik dalam pekerjaan akhirnya terbantahkan. Di Graha Pena ternyata berterbaran, mereka-mereka yang tulus, ikhlas, dan berhati mulia. Pengalaman pribadi selama kurang lebih enam tahun disana (2008-2014) menjadikan saya sedikit membuka diri dan mengasah kepekaan dengan realitas sosial para buruh jasa—jika boleh mengatakannya—dengan “mata yang lebih terbuka”.

Itulah mengapa ada perasaan haru ketika mengikuti prosesi wisuda yang lalu. Ketika tiba di Graha Pena saya masih bisa bercengkrama dengan mereka, Mas Syaifulloh, Mas Murindae, Mas Anton, dan Mas-mas serta Pak-pak lain, yang tak dapat disebut satu-persatu—semoga Allah memberikan kelipatan atas kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya, aamiin.


Terakhir adalalah berat. Beratnya tanggungjawab yang teremban usai wisuda dirampungkan. Dari ikrar yang diucapkan bersama-sama, dari gelar yang merupakan amanah, dan dari harapan masyarakat yang dibebankan pada pundak kami semua. Semoga Allah selalu meridhoi jalan kami, jalan para PEDJOEANG yang tak hanya haus gelar, namun juga haus ilmu dan prestasi. 

Jasem-Wonoayu-Tulangan-Porong 110415
–dalam degup niatan bersegera—

TERIMA KASIH: Hasil Bidikan Sholeh Ugeng, Salah Satu Kawan di Graha Pena


9 April 2015

Sepenggal Kisah Wisuda (1)

DBL Arena menggema. Ribuan manusia tumpah ruah dalam alunan wisuda. Ya, Ahad pagi itu (29/4), gedung megah yang dibangun pada medio 2007 lalu itu menjadi saksi acara Wisuda Universitas Negeri Surabaya yang ke-82. Terus terang, dalam hati saya campur aduk. Antara senang, haru, dan berat.

Senang? Wajar! Ketika seseorang mendapatkan suatu kebahagiaan, selain rasa syukur karena mendapatkan kenikmatan dari Allah. Senang tak lain merupakan ekspresi dari keraguan yang beberapa waktu lalu menghinggapi, “Iso tha aku iki lulus lan di wisuda, koq sawangane iwune ngerjakno skripsi iki?” (Bisakah saya nanti lulus dan diwisuda, koq kelihatannya beragam kesulitan ketika mengerjakan skripsi—terj).

Skripsi seolah menjadi momok. Padahal tidak ada kendala dalam hal penulisan. Namun, lagi-lagi manajemen waktu yang kurang profesional, sehingga beberapa hal yang prioritas seolah terabaikan. Akhir 2013 sampai 2014 menjadi catatan sejarah perjuangan anak pelosok kampung yang tak pernah bermimpi mengenakan toga itu dalam meraih cita-cita.

Pada fase akhir 2013 usai menunaikan amanah tugas PPL di SMK Ketintang Surabaya. Benar memang sebuah pitutur, betapa berharganya kehati-hatian. Ya, saat itu selepas melaksanakan salat Jamaah di masjid, tas beserta isinya (laptop) hilang tak berbekas. Harusnya, kebiasaan meletakkan tas dan tetek-bengeknya di depan shaft selayaknya menjadi habit, namun lagi-lagi mentalitas meremehkan sesuatu menjadi biang keladinya. Sehingga, ketika PKL pun, agak tersendat-sendat dalam mengerjakan laporan, menggarap skripsi-pun menjadi nomor kesekian. Ibaratnya, saat kawan-kawan lain sudah memanggul senjata, kita masih tidur nyenyak di barak -_-

Alhamdulillahnya, Allah mempertemukan saya dengan orang-orang berhati mulia. Dimulai dari kawan Pemuda Muhammadiyah di kampung halaman yang menaruh kepercayaan yang luar biasa besar pada saya, seorang yang kadang keistiqomahannya naik-turun, memberikan amanah untuk membeli ganti laptop saya yang hilang. Kedua, Allah mempertemukan saya dengan para dosen pembimbing, baik de jure maupun de facto yang sungguh sangat membantu.

Bu Sasminta misalnya. Meskipun beliau secara de jure bukan dosen pembimbing skripsi saya. Namun, peranannya dalam menumbuhkan ghirrah untuk bersegera menuntaskan janji mahasiswa—kalo boleh saya mengatakannya—luar biasa besar. Dari beliaulah awalnya benih semangat itu berkobar. Bu Sas—panggilan akrab beliau—mengirimi pesan via inbox fesbuk.  Bayangkan saja—saya saja tak pernah membayangkan—dosen sekaliber Bu Sas, yang menurut pengakuan kawan-kawan seangkatan terkenal dengan integritas dan kapabilitasnya yang tinggi, menanyakan kesungguhan saya dalam mengerjakan skripsi. Saat itulah kemudian—dengan persetujuan beliau sebelumnya—saya mengajukan beliau untuk menjadi dosen pembimbing. Namun sayang Kalab (Kepala Laboratorium) Jurusan saat itu tidak mengijinkannya dengan argumen kuota mahasiswa bimbingan Bu Sas sudah overload.  Apa daya, saya kemudian diberi opsi untuk memilih dosen pembimbing yang sesuai dengan judul TOR Proposal Skripsi yang diajukan. Dengan basmalah akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada dosen Psikologi Olahraga, Bapak Anung Priambodo. Dari Pak Anung—biasa warga FIK memanggilnya—saya mengenal arti perjuangan dalam menelorkan sebuah karya yang bernama skripsi.

Pak Anung merupakan dosen kami yang ranah keilmuannya dalam bidang psikologi. Maka tak heran, ketika pada semester dua lalu saya mengalami “misteri kuliah” dalam matakuliah Psikologi Olahraga dan kemudian mengulangnya pada semester genap berikutnya, saya dipertemukan dengan beliau dan alhamdulillah berhasil ‘merebut’ kembali nilai sebelumnya yang tak bertuan itu, hehe..

Pada saat menjadi mahasiswa bimbingannya, beliau—Pak Anung—sedang menjalani ‘pendakian’ untuk mendapatkan gelar doktoralnya di Universitas Negeri Malang (UM). Memang, selayaknya saya banyak berterimakasih pada beliau karena seringnya menghambat (hingga skripsi saya sudah sah, disertasi beliau ternyata masih berjalan). Berburu “coretan” dari kampus Lidah hingga Ketintang menjadi kenangan tersendiri. Bahkan pada akhir-akhir revisi, seringkali saya diminta beliau datang ke rumahnya yang berada di Driyorejo. Tak jarang pula, saking padatnya jadwal beliau, saya pernah diminta beliau membawa draft revisi skripsi ke Gereja (Pak Anung penganut Nasrani) di kawasan Lidah Kulon, saat itu beliau bilang posisinya berada di tempat tersebut karena sedang ada kegiatan. Untungnya saat itu saya sudah balik ke kampung halaman.  

Kawan-kawan kuliah ketika melihat judul skripsi saya mayoritas mengernyitkan dahinya. Bagi mereka, judul skripsi “Perbandingan Sportivitas antara Atlet Religius dan Non-Religius merupakan sesuatu yang baru, tidak mainstream, kata anak sekarang. Beberapa analisis mereka menyebutkan, perbandingan sportivitas selama ini lebih banyak antara siswa putra dengan siswa putri dalam pembelajaran A. Atau juga yang mainstream, antara atlet voli dengan sepak bola, ataupun antara siswa negeri dengan swasta. Apalagi bila agak radikal, religius seperti apa yang dimaksud? JIka dalam konteks agama Islam, kok dosen saya penganut Nasrani. Atau harus universal, menganggap semua rata pemahaman semua agama? Ah, rasanya saya kurang nyaman dengan istilah pluralisme. Untungnya tempat pengambilan sampel penelitian saya yang di Smanor yang rerata beragama Islam. Jadi insya Allah, istilah pluralisme dalam skripsi saya hanya akan ditemukan pada pendahuluan di Bab I (itupun atas saran dari dosen penguji).

(bersambung..)
 #dalam balutan barakah malam Jumat 090415