26 September 2014

Biarkanlah Eyang Berproses..

Merupakan judul dari “guratan pena” Bapak Zainal Arifin (ZA) EMKA di “Kolom” majalah Al Falah. Ciri khas yang mafhum ditemukan pada halaman akhir sebuah majalah biasanya terletak dari sudut pandang penulis yang lain daripada yang lain.

Tengoklah halaman akhir dari majalah Suara Muhammadiyah. Majalah dwi bulanan yang diterbitkan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu manghadirkan tagline “Ibrah” di lembar akhir dari majalah yang menjadi bacaan wajib para kader Muhammadiyah itu.

Sementara MATAN, majalah bulanan yang diterbitkan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, tak mau kalah dengan menyuguhkan “Risalah” Prof. Dr. Syafiq A. Mughni di setiap lembar akhir halaman.

Ketiganya memberikan sudut pandang baru dalam memahami tema yang sedang diangkat. Ada oase yang hadir diantara kepenatan kalimat yang dipaparkan mulai halaman awal. Menariknya, secercah cahaya muncul pelan-pelan, tak gemebyar terang.

*

Kembali ke tulisan Pak ZA, beliau menghadirkan tulisan dengan gaya cerita keluarga. Mengenalkan Ayah, Ibu, Irvan, dan Putri. Dalam judul tulisan “Biarlah Eyang Berproses” cerita mereka bermula dari obrolan keluarga di dalam gerbong kereta.

Salah satu anggota keluarga “nyeletuk” tentang kondisi Eyang yang usai dikunjungi dalam momen mudik. Bagaimana si Eyang masih mempertahankan tradisi budaya jawa yang terhias dalam tiap “amalan” malam Jumat. Kebiasaan menyiapkan air yang berisi bunga dan  diletakkan di ruang tamu. Sementara di sisi lain, Eyang juga tak pernah lupa dalam mengerjakan perintah agama seperti salat, zakat, dan puasa.

Irvan kemudian nyeletuk dengan mengatakan jika  perilaku Eyangnya tidak Islami dan menjadi pelaku bid’ah. Cepat-cepat Ibu mengingatkan agar Irvan tidak cepat memvonis seseorang itu ahli bid’ah, khurafat, dan sebagainya dengan jalan memperolok, menghina, atau menyakiti perasaan mereka. Ayah kemudian angkat bicara, mengutip ayat Al Quran surat An Nahl ayat 125 yang di dalamnya memuat pesan agar setiap mukmin yang menyeru pada jalan Allah agar mengambil cara yang terbaik, berbantahan pun juga dengan cara yang terbaik. Biarlah Allah yang memberi hidayah, tugas manusia hanyalah menyeru pada jalan kebenaran.

**

Cerita diatas berkaitan dengan tutur kata seorang jamaah musala yang berbagi kisah. Dia yang dulunya aktif mengikuti pengajian, aktif berorganisasi, aktif dalam kepengurusan ta’mir musala, kemudian semangatnya memudar, dan pelan-pelan hilang.

Harus diakui, tiap jamaah mempunyai kadar ilmu yang tidak sama. Ada yang tingkat keilmuan dan kesadaran dalam pengamalannya tinggi, sehingga ketika diingatkan ketika melakukan kesalahan dia kemudian menyadari kekhilafan. Namun ada juga yang tingkat keilmuannya masih terbatas, yang masih belum memahami dengan menyeluruh, mana yang menjadi syariat dan mana yang hanya sebatas amalan yang dibuat-buat.

Cara mengingatkannya pun tidak bisa dengan jalan menghina, memperolok, maupun menyindir yang itu malah membuat mereka merasa menjadi kelompok yang terpinggirkan, dan akhirnya pelan-pelan tidak mengikuti pengajian, meninggalkan musala, dan yang paling ekstrim adalah tidak mau berhubungan apapun itu, baik bentuk, nama, dan rasa yang berbau organisasi.

Kesadaran saling menjaga perasaan antar jamaah, dan menyadari tingkat keilmuan yang dimiliki mereka berbeda, wajib untuk ditanamkan pada para warga persyarikatan, terutama pimpinan dan pengurus tingkat akar rumput. Sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan keretakan berorganisasi dapat dicegah. Maka, biarkanlah “Eyang” berproses..

*Jumat mubarakah di Ruang Guru SMP Muhammadiyah..

sumber: http://shadowness.com



0 komentar: