Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

22 December 2015

Ketika Tongkat Musa Berbicara

Inspirasi bisa datang dari manapun. Membaca buku, majalah, membuka ranah maya, atau ketika bertemu seseorang. Ya, bertatap muka dengan orang-orang berilmu salah satunya. Bersyukur ketika lahan mujahadah, 'jalan perjuangan para ksatria ilmu' tempat kita berpijak memfasilitasinya.

Aster Hotel menjadi kali kedua  labuhan ilmu. Jika tahun lalu, acara dikemas dengan nama family gathering. Tahun ini, hotel yang diresmikan Wali Kota Eddy Rumpoko tersebut menjadi tempat berlangsungnya kegiatan rihlah ruhiyah (wisata rohani/ spiritual trip) SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo. Kegiatan sebenarnya setali tiga uang dengan unsur rekreatif di dalamnya, namun dikemas dengan semangat ilmu. Untuk itu, jajaran pimpinan sekolah mengundang Pak Nur Cholis Huda dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, untuk memimpin jalannya 'perjalanan wisata' selama kurang lebih dua jam pada senin malam (21/12).

Bertempat di ruang rapat hotel yang berkapasitas kurang lebih 50 orang itu, Pak Nur, sapaan akrabnya, membawakan materi tentang Komunikasi Islami. Gaya penyampaian yang tidak monoton dan segar menjadikan suasana malam itu begitu semangat dan hidup. Setiap sub materi yang berkaitan dengan materi pokok selalu diiringi dengan cerita berkesan. Ya, penulis buku yang kini genap berusia 63 tahun itu selalu menyampaikan makna yang tersirat dari apa yang 'tersurat' yang ditampilkannya melalui slide.

Seperti ketika sampai pada Qaulan Layyina, perkataan yang lemah lembut. Seperti perintah Allah pada Musa dalam Quran Surat Thaha, agar Musa memberikan perkataan yang lembut pada Umara (Firaun) agar terbuka hatinya. Pak Nur kemudian mengaitkan dengan peristiwa yang mengesankan yang pernah dialaminya.

Syahdan, pada saat orde baru berkuasa, dengan Pak Harto sebagai pemimpin tunggalnya. Apa-apa yang menjadi titah Presiden harus diikuti oleh para menteri dan bawahannya. Tak terkecuali ketika Pak Harto menginginkan terjadinya dualisme kepemimpinan pada saat pemilihan ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Aceh 1995. Pak Amien Rais sebagai calon ketua terkuat, digoyang posisinya. Namun, tak dinyana, para muktamirin menyerahkan mayoritas dukungan pada doktor ilmu politik itu. Kandas misi Pak Harto. Dan akhirnya Presiden ke-2 RI itu membuat statement jika dia adalah kader Muhammadiyah yang ditanam untuk bangsa dan negara. Sejak saat itu hubungan eksekutif dengan Persyarikatan menjadi hangat. Bahkan banyak pejabat yang mengaku menjadi warga Muhammadiyah, meski hanya sekedar pernah menjadi siswa di sekolah Muhammadiyah atau pernah lahir di rumah sakit Muhammadiyah.

Namun situasi menjadi berubah, kata Pak Nur, ketika Pak Amien menyuarakan isu suksesi. Hubungan pemerintah dengan Muhammadiyah menjadi dingin. Termasuk pada tataran dibawahnya, antara Kodam, Gubernur dengan PWM atau Kodim-Bupati dengan PDM. Kondisi hubungan semakin renggang, ketika Pak Amien yang terkenal vokal dan kritis pada kebijakan Pak Harto yang  tidak pro rakyat.

"Sampai kemudian Pak Amien silaturahim dengan PWM Jatim," lanjut Pak Nur. Saat itu ketuanya adalah Ustadz Abdurrahim Nur, Allahuyarham. "Duduk menemui Pak Amien ada Pak Rahim, Pak Fasich, Pak Mu'ammal, dan saya sendiri," kenang Kakek lima cucu tersebut.
Kemudian terjadilah dialog, yang pada intinya, Pak Rahim menyampaikan kondisi hubungan PWM dengan instansi pemerintahan yang kurang harmonis. Pak Rahim kemudian bertanya pada Pak Amien, "Adakah manusia yang lebih kejam dari Fir'aun?"
"Tidak ada"
Kemudian Pak Rahim membacakan ayat ke 36 pada QS. Thaha yang menekankan perlunya Qaulan Layyina pada pemimpin. Seperti Musa yang diperintah Allah untuk berkata yang lemah lembut pada Fir'aun.
Karena sama-sama "berilmu". Pak Amien pun menyampaikan pendapatnya, jika menghadapi pemimpin ada tahapan-jenjangnya. "Jika Firaun itu tidak bisa diingatkan dengan perkataan yang lemah lembut, maka tongkat Nabi Musa yang berbicara. Nah, pada Pak Harto ini sudah masuk pada tahapan tongkat yang berbicara. Karena sebelumnya sudah disampaikan dengan wacana suksesi."
Pak Nur menjadi inspirasi para guru dan karyawan SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo. Memberi wejangan tanpa nasehat, mengajak nalar untuk berpikir dalam derap cerita dan kisah yang dibawakannya.

Merangkai kata dari kamar Hotel sampai kampung halaman
21-26 Desember 2015
^^,v

24 October 2015

Umbul-umbul dan Eleganisme

Siang itu aku berangkat ke kota pahlawan, bukan untuk ikut kirab hari santri yang masih kontroversi, tapi aku pergi ke pusat elektronika yang ada di kota buaya, menunaikan amanah dari mamakku.

"Le, tolong antar adikmu beli laptop. Kasihan dia, tugas-tugasnya banyak."

Kata-kata lembut itu mengalir pelan dan dalam.Terngiang betapa perjuangan Bapak dan Ibu yang bekerja keras untuk dapat mengumpulkan rupiah demi rupiah agar dapat membelikan adik laptop baru.

Pikiranku yang masih membayangkan nasihat ibu, tertimpuk pada barisan bendera partai yang berjajar di tepi jembatan ketika aku melintasi layang jenggolo. Ada yang mengusik mata, ketika bendera partai itu bersanding dengan bendera ormas yang menjadi jalan jihadku. Nasib tidak lebih baik karena disamping kalah ukuran, juga tertinggal dalam pandangan marketing. Tiang bendera partai lebih tinggi, kibarannya lebih elegan.

Sering kami melihat pemandangan seperti itu. Bendera ormas yang dipasang asal-asalan, asal nempel. Dilihat dari segi estetika sangat kurang. Belum lagi yang dengan asal dipaku di pohon. Termehek-meheknya kita disitu. Untungnya masyarakat kota udang tidak sereaktif warga urban.

Kadang kita juga iri dengan beberapa ormas yang notabene sempalan, namun sangat menjual. Banner dipasang begitu elegan di tepian jalan, tanpa mengusik kerindangan tanaman. Dari sisi marketing terutama branding sudah didapatkan.

Nah, kita yang konon menjadi organisasi modern masih sangat konvensional dalam sisi publikasi. Kita tidak dapat menyalahkan sebagian kemudian membenarkan yang lainnya, karena organisasi ini adalah milik umat. Kita jaga bersama. Namun, keberlimpahan sumber daya yang unggul belum ditangkap para stakeholder 'kasta tertinggi' sebagai sebuah potensi. Padahal bila mau membuka mata, ada banyak bibit-bibit potensial yang apabila dipoles dengan sedikit motivasi dan dorongan menjadi sebuah keunggulan.

Saya jadi terngiang tulisan Munif Chatib pada bukunya "Sekolah Manusia", pada halaman prakata dia menyampaikan pandangannya yang kurang lebih isinya adalah tentang non-muslim yang mengambil banyal faedah dari Islam. Ibarat sumur. Islam adalah mata air yang tak kering. Non-muslim sering menimba dan mengambil air itu dengan pompa. Sedangkan kita, umat muslim mengambil air itu bukan dengan pompa, tapi dengan sebuah timba, bocor pula. Na'udzubillah.
Kata praktisi pendidikan asal kota udang itu, kita kalah dalam metodologi. Sehingga dalam segi yang lebih luas, mereka (non-muslim) sudah berlari kencang, sementara kita terseok-seok, terpincang-pincang, bahkan sesekali kaki kita tersandung, kemudian kita mengaduh.

Gedang, 14 Rabiul Awwal 1437 H

30 September 2015

Kisi-Kisi UTS Penjas Musasi 2015-2016

Assalamu'alaikum..para generasi emas Musasi. Silakan bagi yang mau mengunduh Kisi-kisi Ulangan Tengah Semester Ganjil 2015-2016.

Kalian bisa membukanya disini

Salam sehat, aktif, dan beribadah selalu. Matur tengkyu :)

23 August 2015

Nyanyi 17-an

Entahlah sejak kapan saya suka bernyanyi. Sejak jaman TK ketika diajari Ibu Guru menyanyikan lagu anak-anak. Ataukah meloncat saat jaman SMP yang gemar nge-band. Tapi yang jelas, saya suka dengan orang menyanyi. Baik sendiri (solo) maupun berkelompok (band).

Ketika jaman anak-anak dulu ada nama Joshua dan Cikita Meidy. Ada juga Dea Ananda yang menyanyikan lagu Nabi dan Rasul. Dari nyanyian itu saya jadi hafal nama-nama Nabi yang berjumlah 25 tersebut. Kemudian ada grup band Dewa dan Sheila on 7. Lagu-lagu mereka suka saya tirukan ketika berkostum putih-biru (SMP). Sampai-sampai saya hunting kaset dan CD-nya di lapak-lapan kali lima di seputar pertokoan Porong.

Afiliasi saya berubah ketika SMA. Berada di asrama rasa-rasanya tiada hari tanpa mendengarkan lagu. Karena belum familiar dengan hape MP3, radio menjadi barang yang penting saat itu. Stasiun radio yang sering kami incar tuningnya adalah M-Radio. Ketika sampai pada channel tersebut, kita tak perlu gonta-ganti saluran untuk mendapatkan lagu yang kita inginkan. Karena dari M-Radio saja sudah cukup, dia (M-Radio) tak pernah berhenti memutar lagu-lagu yang sedang hits pada saat itu. Maka selera saya pun berganti pada grup Band Ungu. Salah satu alasannya adalah karena Ungu dapat mengerti dan mewakili perasaan hati saya pada saat itu, hehe..

Menginjak dunia kerja dan kemudian jadi mahasiswa, saya mengenal Maher Zain. Lagu-lagunya kemudian saya unduh dan saya mainkan pada laptop Pentium 3. Tentu mengunguhnya bukan pada laptop yang berharga 100 ribu itu. Tapi pada warnet, yang kemudian saya simpan pada laptop yang bermerk IBM itu. Selera saya itu sampai sekarang bertahan. Sedikit selingan dengan Sami Yusuf dan beberapa nama penyanyi yang bergenre religi.

**

Tujuh belasan kemarin. Sekolah kami, SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo mengadakan beragam lomba. Mulai dari lomba untuk siswa seperti story telling, catur, menyanyi solo, desain batik, melukis, sampai pada cipta puisi. Tak ketinggalan juga ada lomba yang khusus untuk para Guru. Nama keren lombanya adalah Singing Contest. Lagu yang dinyanyikan juga seputar lagu-lagu nasional seperti Tanah Airku , Satu Nusa Satu Bangsa, dan Indonesia Tanah Air Beta. Lomba dinyanyikan secara berkelompok berdasarkan rumpun mata pelajaran.

Para peserta yang merupakan Guru-guru dari latar belakang yang beragam, tampil heboh dan menggetarkan panggung kecil yang berada di kantin. Para penonton yang terdiri dari Guru dan sebagian murid itu bersorak-sorai. Para penonton meyakini, ternyata mereka (para guru) juga banyak yang bakat nyanyi.

Saya dan teman-teman Guru Penjas dapat nomor urut sebelas. Bersepakat juga membawakan lagu nasional Tanah Airku. Untungnya berada pada urutan akhir adalah bisa menilai kelebihan dan kekurangan para peserta yang sudah tampil sebelumnya. Dari situ kemudian ada kesimpulan: harus ada diferensiasi. Jika kita tampil dengan hanya berbekal nyanyi lagu tanpa ada sesuatu nilai lebih, maka kita hanya menjadi peserta yang biasa-biasa saja. Kami (guru penjas) akhirnya bersepakat untuk mengusung puisi menjelang penutupan lagu tersebut. Kami mencari kertas. Kami pinjam bolpoin, dan kurang dari lima menit akhirnya jadi puisi. Tak banyak, hanya beberapa bait. Menyesuaikan dengan durasi lagu.  

***

Menjelang salat dhuhur, diumumkan para pemenangnya. Di grup WA Guru Penjas, ada kata-kata semangat dan antusias. Saya belum percaya jika kami menang. Tapi kenyataannya seperti itu. Guru Penjas pun bisa seni, seni bernyanyi dan berpuisi..


Juwet, 230815


3 August 2015

Putih, Hitam, dan Abu-abu

Coretan ini tidak bermaksud untuk ujub pada diri. Hanya sebuah muhasabah yang niatnya tidak lain untuk pengingat pribadi agar istiqamah dalam niat dan ikhlas beramal hanya karena Allah Ta'ala semata. Sekedar introspeksi juga, karena berlalunya waktu kadang mengaburkan hakikat tujuan sebenarnya.

Beberapa bulan yang lalu sekolah mengadakan lomba blog antar guru dan karyawan. Lomba yang mempunyai tujuan mulia, yakni menggerakkan dan membumikan budaya literasi. Kita tahu, kondisi terkini budaya literasi kita (tak hanya sekolah) masih kembang kempis.

Kemarin Rabu (29/7), pemenangnya sudah diumumkan. Dibagi menjadi tiga kategori: tampilan, media pembelajaran, dan isi (konten). Lomba yang digagas teacher blogger Edy Prawoto ini diikuti sebagian besar guru di SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo. Kurang lebih dua sampai tiga bulan penilaian dilakukan. 

Alhamdulillah blog “Roelsebloe in Blog” (RiB) menggaet nominasi konten. Sebuah capaian yang sebenarnya bisa dikatakan masih jauh dari wujud ideal. Entah, dari kacamata mana Pak Edy menilai blog ini menjadi terbaik kontennya.  Bila dibandingkan dengan blog yang dikelola beliau: Laci Guru, ibarat menara Eiffel dan BTS, hehe..

Blog ini sebenarnya muali dirintis sejak 2010 silam. Ketika pertama kali menginjak bangku perkuliahan. Sebagai "balas dendam" karena 'terprovokasi' tulisan pada bukunya Pak Romi Satria Wahono (RSW). Dalam buku kecil dengan sampul warna putih itu, para pembaca--termasuk saya-- di-brainstorming agar dalam hidup tidak melepas kata Perdjoeangan. Sebuah kata yang dulunya digemakan para pahlawan perebut kemerdekaan. Sehingga, ketika makna perdjoeangan itu dihadirkan dalam hidup, maka keluh kesah dan galauism terlempar ke luar arena kehidupan. Hehe..

Saya secara pribadi uluk salam dan hormat pada guru-guru kehidupan yang bertebaran memberi inspirasi, motivasi, dan membulatkan tekad perdjoeangan. Doa-doa moga selalu terpanjatkan pada Allah agar segala kebaikan dibalasNya dengan berlipat ganda, Aamiin. 

Belum berhenti. Dua kata itu setidaknya memberikan tantangan pada para pemenang. Budaya literasi sebagai ujung tombak lahirnya generasi pemimpin bangsa yang mumpuni seolah menjadi suatu hal mutlak. Harus ada program yang berkelanjutan-berjenjang yang harus dipikirkan bersama.

Setidaknya ada tim kreatif untuk melaksanakan misi dan tujuan mulia agar sekolah bisa berdaya dengan literasi. Blog ini hanya sedikit partikel dari keseluruhan partikel sukses anak-anak didik. Dibutuhkan kumpulan-kumpulan yang lebih banyak dan saling terhimpun serta menguatkan satu dengan yang lain. 

Akan ada penyesalan ketika amanah yang sudah teremban bergerak timpang dan saling tumpang tindih. Ada sebuah tantangan yang harus didaki. Gunung mayantara, yang jika tidak disinari warna putih akan menjadi hitam pekat. atau ketika cyber mountain tak disinari dengan cahaya terang mencerahkan, maka disana akan bias dengan keabu-abuan. Menjadi tempat nyaman melahirkan generasi dengan sikap ragu yang dominan.

Meski berat, kita harus kuat menghadapi tantangan dunia pendidikan di era postmodern kali ini. Berpikir kreatif sebagai laku ikhtiar harus ditempuh. Diimbangi dengan gerak dinamis dan jalinan tim yang solid. 

Ditulis bersambung,
Jasem-Porong, 16-17 Syawal 1436 H/ 1-2 Agustus 2015

http://www.ciscolive.com/

14 July 2015

Remaja dan Pendangkalan Akidah (2)

Melanjutkan tulisan dari status sebelumya tentang pendangkalan akidah yang dialami remaja. Awalnya, saya memang hanya memposting di Instagram foto dan caption prosesi ikrar syahadat seorang Ibu dan anaknya yang kembali memeluk Islam. Namun, setelah melihat fenomena beberapa artis murtad dan ragam pendangkalan akidah yang tersebar secara masif baik dari surat kabar, tivi, hingga musik. Maka saya kira perlu untuk mengetengahkan persoalan ini.

Pertama kali, kemarin ketika melihat beranda. Saya menemukan postingan dua anak remaja dengan pakaian putih-putih dengan tanda salib warna biru di dadanya. Dari keterangan foto yang diunggah tersebut, dua anak remaja dengan baju dan rambutnya yang masih basah ini ternyata baru selesai dibaptis.

Rasa tergelitik saya bertambah, setelah tulisan keterangan dalam foto tersebut ada nama-nama “stakeholder”  yang di-tag disana. Dari beberapa nama yang di-tag, ada nama yang begitu Islami. Saya bertambah yakin jika pemilik salah satu nama adalah orang yang ada dalam foto tersebut, yang dulunya Islam dan baru kena baptis.

Sedikit saya telusuri status dan beberapa fotonya. Dan memang benar, bulan Juni lalu dia masih mengucap basmalah ketika mau mengikuti Ujian Nasional, dan kemudian mengucap hamdalah usai dinyatakan lulus. Salah satu fotonya juga ada yang mengenakan pakaian sekolah dan memakai jilbab.
Saya kemudian bertabayyun (meng-kroscek) padanya. Dalam kotak pesan, saya layangkan beberapa “klarifikasi”. Beberapa diantaranya: sejak kapan dia berpindah keyakinan? Dia menjawab baru kemarin (12/7) dia murtad.

Sudah tahu apa belum konsekuensi jika seseorang berpindah keyakinan? Dia hanya menjawab jika ini sudah keyakinannya.

Sudahkah keputusannya berpindah keyakinan itu diketahui kedua orangtua? Dugaan saya tak meleset. Keputusannya diambil sendiri (dengan pengaruh teman-temannya). Dia bilang nanti juga suatu saat akan bilang pada kedua orangtuanya.

Nama yang diberikan kedua orangtuanya yang berartikan sebaik-baik wanita, ternyata belum dipahaminya. Baginya, mungkin, nama hanya sebatas nama. Ia tak menyadari, jika ada doa yang terselip dari kedua orangtua padanya.

Well, kita tidak memungkiri memang, ternyata fenomena pendangkalan akidah tidak hanya terjadi di pedalaman-pedalaman daerah yang minim aksesibiltas. Kita sudah mendapatkan fakta beberapa saat yang lalu, di kota besar seperti Jakarta ada penyusupan kristenisasi dalam acara Car Free Day. Kita pun melihat kenyataan akan proyek pemurtadan di Surabaya. Dua contoh itu terjadi di kota yang biasa disebut metropolitan. Bagaimana dengan daerah-daerah lain?

Di Jawa Timur sendiri, Malang Selatan disebut-sebut menjadi sasaran proyek Kristenisasi Internasional. Konon disana sudah berdiri tegak gereja terbesar se-Asean. Belum lagi kabupaten dan kota yang ada di sekitarnya.

Fenomena artis murtad, sedikit banyak memberikan “role-model” yang kurang baik bagi remaja-remaja yang lemah akidah dan labil emosi. Menjadi sasaran empuk bagi pasukan salib untuk bergerilya memangsa calon baru. Lemahnya ekonomi, menjadi target para misionaris untuk menawarkan dagangan agama dengan jargon; kau tukarkan agamamu, kuberikan beras sekardus untukmu.

Kita meyakini jika “Innaddiina indallahil Islam” Agama yang benar disisi Allah adalah Islam. Tapi apakah kita yakin saudara-saudara kita yang lain akan tetap berpegang teguh dengan kalimat tersebut, sementara anak-anak mereka menangis kelaparan dan membutuhkan asupan makanan, dan kita berfoya-foya sendirian atau berjamaah, memajang foto buka bersama, seolah abai terhadap mereka?
Ada yang harus dipikirkan bersama. Ramadan kali ini, ada yang menohok di hati.
Wallahua’lam bisshawwab.

"Islam memandang keimanan sebagai hal terpenting dan mendasar dalam kehidupan. Iman akan dibawa mati. Iman lebih dari soal suku, bangsa, bahkan hubungan darah. Iman bukan “baju”, yang bisa ditukar dan dilepas kapan saja si empunya suka."
-Dr. Adian Husaini-

gambar:mimbarhadits.files.wordpress.com






Remaja dan Pendangkalan Akidah (1)

Saya menuliskan status ini, dari kegundahan hati. Dibuat dua seri. Dengan harapan, setidaknya membuka pikiran para generasi muda, khususnya para remaja.

Kamis lalu (9/7), sekolah kami, SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, kedatangan tamu. Seorang Ibu dan anaknya, serta beberapa kerabat yang mengantarnya. Anaknya yang baru lulus SD mau didaftarkan ke sekolah kami. Sepintas tidak ada yang aneh, pendaftaran siswa baru memang berakhir hari itu, dan esoknya tes wawancara calon siswa. Hanya kami sedikit terkejut ketika sudah mendaftar, salah seorang kerabat Ibu tersebut berucap,” maaf, mohon bimbingannya. Ini mau masuk Islam”.
Masuk Islam? Siapa yang masuk Islam?

Kerabat tersebut kemudian bercerita. Ibu yang diantarnya itu dulunya Islam. Dia punya tiga anak. Setelah berpisah dari suaminya, keadaan ekonominya limbung. Pekerjaannya berjualan sosis di depan rumah tak bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Pada saat itulah, datang misionaris Kristen menawarkan bantuan (tentunya tidak gratisan).

Setiap bulannya Ibu tersebut dapat jatah uang 400 ribu plus beras 20 kilo. Dengan catatan, tiap akhir pekan harus hadir ke gereja. Di sekitar rumahnya di kawasan Surabaya, ternyata juga banyak warga yang mengalami nasib serupa. Ekonomi lemah, akidah tergadai murah. Terhitung sejak tahun 2013, Ibu tersebut resmi murtad. Yang disayangkan, Ibu tersebut juga mengajak salah satu anaknya (yang sekarang mendaftar di SMP Musasi dan memeluk Islam kembali).

Kasus tersebut terkuak, setelah Ibu-ibu Aisyiyah Sidoarjo mendapat laporan adanya praktik kristenisasi di sebuah kawasan di Surabaya. Salah satu yang diselamatkan akidahnya adalah Ibu dan anaknya tersebut.

Saat ikrar syahadat di Masjid Musasi, tampak kedua mata Ibu tersebut sembab. Ada yang mengendap di sudut kedua matanya. Kepala Sekolah dan Waka Ismuba yang mendampingi prosesi itu berpesan, agar agama Islam ini menjadi agama terakhir dan dipertahankan sampai mati, tidak gonta-ganti. Akidah anaknya juga diperhatikan, sebab anak adalah fitrah. Dia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi bergantung dari kedua orangtuanya.

Pandangan kepala sekolah kemudian beralih pada sang anak yang duduk di sebelah Ibunya,  
“masih hafal Al Fatihah?”

Anak tersebut mengangguk, lantas membunyikan ayat pertama sampai terakhir dari surat pembuka Alquran tersebut.

“Al-Ikhlas?”

Bibirnya ternyata masih begitu fasih menyebut bacaan surat Alquran nomor 112 itu, yang kemudian dilanjut dengan Al-Falaq dan An-Nas.

Kami tak bisa menyembunyikan keharuan. Ada tantangan besar dalam penguatan ekonomi umat. Ada juga PR besar yang harus dipikirkan bersama: penyelamatan akidah.

27 Ramadan 1436 H


 
Ikrar Syahadat Kembali di Masjdi At-Taqwa Musasi

26 June 2015

Ramadhan Terakhir

Aku melihatmu di sana, di balkon lantai tiga
Engkau berdiri gagah, memandang surya yang kelam
Angin semilir, menerpa tubuhmu yang kurus dan tua. Laksana pohon palem di taman kota
Pandanganmu yang tajam, tak ada yang kau cemaskan
Tidak debu-debu kristal yang menggumpal
Tidak pula sampah-sampah yang berserakan.
Aku melihatmu dipeluk anak-anak dan perempuan
Untuk merekalah kau tambatkan harapan
Untuk merekalah kau sematkan tujuan
Dan kepada merekalah engkau pulang, berbagi tawa dan senyuman
Bulan demi bulan..dari Ramadhan ke Ramadhan
Aku tidak tahu, di mana berakhirnya jalan
Begitu pula denganmu
Bagimu, tak ada lagi Ramadhan. Dan ini, adalah Ramadhan terakhirmu..
Sekuntum kamboja, jatuh berduka….
[ untuk I ]

*Goresan puisi karya Pak Edy Prawoto. Mengenang Pak Ilyas, Pak Bon yang dipanggil ke Rahmatullah pada Kamis, 25 Juni 2015 pukul 11.00 WIB.

sumber:https://boaskapitannabu.files.wordpress.com/

24 June 2015

Filosofi Pak Bon

Jaman putih biru, jika ada sosok yang menjadi penjaga sekolah maka kita memanggilnya dengan sebutan Pak Bon. Saya mengenal kosakata tersebut memang pas jaman puber. Maklum, ketika berseragam putih merah alias saat duduk di bangku sekolah dasar, kosakata Pak Bon belum terdengar. Penjaga sekolah pada saat itu kami panggil dengan nama sebutannya yang dibumbui dengan kata “cak”. Entah siapa nama sebenarnya dari Pak Bon kami saat SD dulu. Kami lebih akrab menyapanya dengan panggilan Cak Gandu.

Kembali ke jaman putih biru, dimana banyak haru biru yang mewarnai pada zaman itu. Saya mengenal beberapa nama Pak Bon, mengenalnya juga bukan dari perkenalan formal, tapi dari ikutan teman-teman. Saya lebih mengenal nama mereka (Pak Bon), karena salah satunya sama persis dengan nama Bapak saya. Pas jaman SMP dulu, kenakalan remaja dengan memanggil nama Bapak dan menjadi ejekan memang lagi gencar-gencarnya (entah sekarang). Meskipun begitu, tetap saja nama Bapak saya terungkap dan diketahui teman-teman. Entah siapa yang membocorkannya, padahal dulu belum ada fesbuk, twitter atau instagtram. Kalaupun ada, tentu saya tidak memajang nama Bapak saya disana, hehe..

Begitu pula saat kita hijrah ke SMA. Di SMANOR, saya mengenal nama mbah Baran. Beliau termasuk dekat dengan kami, para siswa multitalenta. Multitalenta? Iya, karena ketika pagi, kami sama dengan yang lainnya. Berangkat sekolah, memakai seragam layaknya siswa-siswa sekolah lain. Pelajaran pun setali tiga uang. Guru-gurunya saja mungkin yang agak tidak mainstream. Kami bersyukur bertemu dengan guru-guru luar biasa. Baik dari keilmuan maupun tingkah dan sikapnya. Bisa dikatakan, kami mendapatkan keteladanan salah satunya dari contoh sikap dari guru-guru kami tersebut.

Karena kami semua berada di asrama, dan hanya diperkenankan pulang seminggu sekali, tidak lebih. Maka ikatan persaudaraan lebih erat terangkai. Meksipun pada saat itu ada strata junior-senior, yang terkadang melindas keadilan, namun itu semua bermuara pada pembelajaran sikap kami pada sikap menghormati orang yang lebih tua. Suatu budaya ketimuran yang wajib kita junjung tinggi. Pak Baran, yang usianya kala itu sudah menua, menjadi jujugan kami untuk sebagai moodbooster,istilah peningkat mood, karena dari tutur beliau keluarlah nasehat-nasehat bijak. Kadang pula muncul kata motivasi yang tak terduga. Dan hal tersebut setidaknya memberikan sumbangsih pada kami untuk lebih semangat berlatih dan meraih prestasi.

Lepas SMA dan bekerja di Graha Pena, lagi-lagi saya bertemu dengan Pak Bon. JIka di SMP dan SMA hanya mengenal satu, dua, hingga tiga Pak Bon. Maka di Graha Pena, Pak Bon ada lima jumlahnya. Karena di Graha Pena ada bagian taman yang menjadi divisi tersendiri. Dan, pandangan saya terhadap Pak Bon tetaplah sama. Mereka yang sudah melewati banyak ujian hidup dan usianya sudah beranjak senja, itu yang saya sebut dengan Pak Bon. Bukan mereka yang memang ditugaskan mengurus taman, atau hanya sekedar menjalankan tugas, apalagi yang usianya sepantaran. Bisa dibilang, saya melihat filosofi yang ada dalam diri seorang Pak Bon. Ada hal menarik yang patut digali dari mereka. Salah satu yang sering saya minta pendapat dan bercerita lika-liku hidupnya adalah Suswoko. Teman-teman Graha Pena memanggilnya Pak Woko. Dari beliaulah saya banyak mengambil pesan-pesan moral dari perjalanan hidup yang sudah dilaluinya. Kegigihan dalam bertahan hidup menjadikan motor semangat buat saya yang saat itu juga nyambi bekerja dan kuliah.

Ketika menjadi mahasiswa dua kaki, antara ngampus dan ngantor, maka saat itu ada dua bagian yang mengisi aktivitas keseharian. Yang pertama atau bisa disebut dengan aktivitas utama adalah kuliah itu sendiri, saya menerapkan skala prioritas pada saat itu. Disaat yang sama , saya ingin menjaga sikap profesionalitas dalam bekerja. Jadi, meskipun ketika pagi saya di kampus, sore hari ketika sudah pulang dari kampus, saya langsung meluncur ke Graha Pena, bukan nyangkruk bersama teman-teman di warung kopi dekat kampus. Meskipun banyak yang bilang kurang membumi, setidaknya sudah ada bukti, jika pekerja dan mahasiswa lebih bisa lulus dulu daripada mereka yang ongkang-ongkang kaki di warug kopi, hehe..(just kid).

Hingga akhirnya, ketika saya terdampar di tempat saya mencurahkan segala potensi yang saya miliki: SMP Muhamamadiyah 1 Sidoarjo, saya pun kembali bertemu dengan mereka, barisan para Pak Bon. Tiga lantai yang menjulang di sekolah milik Persyarikatan Muhammadiyah itu, seluruhnya hanya diisi tiga Pak Bon. Jumlah yang tidak sebanding dengan luas bangunan itu sendiri.

Supardi, atau biasa dipanggil Pak Su, berada di lantai satu. Toni Kurniawan, atau Mas Boy, bercokol di lantai dua. Dan Pak Yas, nama panggilan dari Ilyas, Pak Bon paling senior diantara mereka. Ketiganya memliki kelebihan. Pak Su, orangnya rajin, selalu menjadi yang pertama menginjakkan kaki di sekolah. Pernah suatu hari, saya menyelesaikan penilaian hingga lembur sampai pagi. Dan saat itu jam dinding masih bergerak di angka tiga, tapi Pak Su sudah tiba, dan menggandeng sapu dan pel, dipagi yang dingin, dia sudah bergelut dengan peluh.

Di lantai dua dengan ukuran lahan lebih luas dari lantai satu dan dua, disanalah tempat Mas Boy, bergerak melakukan laku “ibadah” dengan menyapu lantai, mengepel, membersihkan kaca, dan lain-lainnya. Mas Boy, termasuk yang paling muda diantara para Pak Bon di Musasi. Meski demikian, dia tidak ingin tertinggal. Aktivitasnya bekerja juga disambi kuliah di jurusan yang sama dengan saya: olahraga. Tapi tempat ngampusnya di Malang, di IKIP Budi Utomo. Dia mengambil kelas ekstensi, kuliah Sabtu-Ahad. Pagi hari dia bersih-bersih, sore hari dia merangkap pelatih si kulit bundar di Sekolah Sepak Bola (SSB) di kota delta.

Dan yang terakhir adalah Pak Yas. Beliau merupakan Pak Bon paling senior. Bertengger di lantai tiga dengan beban pekerjaan yang bisa dikatakan tidak ringan dengan usia yang tidak lagi muda. Dia mempunyai Istri yang juga menjadi penjaga kantin Musasi. Tiga anaknya berada di AUM. Anak pertama mengikuti jejaknya di SD Muhammadiyah 2 Sidoarjo. Anak keduanya, menjadi penjaga keamanan di Musasi. Sementara yang terakhir baru kelas tiga SMP, sekolahnya juga di jalan KH. Samanhudi no. 81.

Beritakemarin agak mengagetkan kami. Pak Yas, tukang kebun sekolah yang tahun kemarin diangkat menjadi karyawan tetap sekolah, mengalami kecelakaan saat mengendarai motornya. “Keadaannya kritis, dan sampai sekarang belum sadar,” bunyi kalimat yang tertera pada pesan masuk itu kemarin. Kronologisnya, sore menjelang berbuka, Pak Yas berniat membeli bekal takjil untuk keluarga. Dengan kecepatan tinggi, saat mau mendahului mobil di depannya, dari arah berlawanan muncul Yamaha v-ixion, tabrakan pun tak dapat terelekkkan. Hingga tulisan ini diketik, beliau belum sadar. 
Ada pendarahan di otak, yang menyebabkannya koma. Saat menjenguknya bersama para guru dan karyawan Musasi tadi pagi, beliau masih dipasang selang oksigen. Keluarga dan kerabat banyak yang menungguinya. Kami berdoa semoga Pak Yas lekas siuman. Dan dapat berkarya kembali di SMP Musasi. Aamiin.

Sekelumit tulisan tentang Pak Bon,
Gedang 240515
Menunggu Beduk Maghrib. 

foto http://www.jawapos.com/ abdulsyukur (tukang becak dan penambal jalan)



14 June 2015

Bertekuk Lutut di Kaki Tata Bahasa

Banyak murid memiliki potensi menulis, tapi masih belum diberdayakan. Guna menghidupkan semangat menulis, yang pertama dan utama harus diajarkan tak lain pengalaman dan praktik menulis. Bukan menjejalkan teori menulis. Pembelajaran menulis merupakan penghargaan terhadap pikiran bebas. Bahasa dimanfaatkan buat mengungkapkan pikiran bebas itu. Guru berperan sebagai fasilitator atau pelatih, bukan wasit otoriter.

Supaya bisa menulis, gagasan harus dicari dan digali. Ide inilah yang mesti dituangkan dalam bentuk tulisan. Misalnya, ide perihal booming batu akik di seluruh penjuru negeri. Setelah ide ditemukan, tahap berikutnya menentukan “angle” atau sudut pandang yang akan digunakan sebagai panduan menulis. Angle merupakan sisi tulisan yang hendak dipilih.

Angle dipilih yang paling menarik, penting dan relevan. Agar tajam, angle dirumuskan dalam kalimat tanya. Misalnya: mengapa tiba-tiba masyarakat gandrung batu mulia? Angle bisa digali dengan 5W+1H: what, who, when, where, why, dan how.

Variasi angle bergantung rasa ingin tahu kreativitas penulis. Setelah angle ditetapkan, giliran mencari bahan tulisan. Caranya: riset pustaka, wawancara sumber, dan reportase suasana. Tulisan yang bagus berangkat dari penggalian bahan yang bagus. Good input, good output.

Sesudah bahan tersedia, outline atau kerangka tulisan bisa mulai digarap. Rencanakan alinea demi alinea yang akan ditulis. Satu alinea satu pokok pikiran. Jangan berjejalan banyak pokok pikiran dalam satu alinea. Setiap alinea terdiri atas satu kalimat utama (main sentence) yang diikuti dengan beberapa kalimat pendukung (support sentence).

Outline tulisan terdiri atas lead, bridging, badan tulisan, dan penutup. Lead itu pembuka tulisan yang menarik, simple, tidak direcoki data, dan angka. Lead bertugas memikat pembaca.

Bridging itu jembatan menuju badan tulisan. Biasanya berisi penjabaran lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dalam lead. Bridging juga  memasukkan konteks persoalan, yakni penjelasan kenapa topik tulisan yang diangkat penting untuk dibaca.

Badan tulisan adalah tempat penulis menjabarkan argumen, data, hasil, riset, dan observasi yang telah dikumpulkan. Penutup bisa berupa kesimpulan, renungan, saran, solusi, gugatan, atau sekadar pertanyaan yang menggantung.

Sikap dan pendapat subjektif penulis harus muncul bila tulisan berbentuk esai. Bukan sekadar rangkaian kutipan teori dan pendapat ahli. Ramuan esai: observasi yang jeli dibingkai pemahaman teori yang memadai.

Guru tidak akan bisa membuat muridnya gemar menulis bila dia tidak menghidupi semangat menulis.
 

Disadur dari J. Sumardianta, Jawa Pos (Ahad, 7 Juni 2015) 

2 June 2015

Surga Neraka ada di Fesbuk

Suatu hari seorang murid kelas 8 bertanya: “Pak, kenapa postingan fesbuk Bapak isinya koq selalu tentang agama?” Dia kemudian melanjutkan dengan memberikan perbandingan jika postingan salah satu guru lain lebih banyak bercerita tentang asmara dan cinta. Awalnya saya kaget mendengar pertanyaan dari murid yang memang keingintahuannya cukup tinggi itu. “Nanti setelah jam istirahat kedua (ba’da salat dhuhur), insya Allah saya jawab ya..”pesan saya padanya.

Pertanyaan yang singkat namun membuat saya kaget dan heran. Kaget karena saya tidak menyangka jika akan ditanya pertanyaan seperti itu. Heran. Emang ada yang salah dengan potongan rambut saya? Apa karena pendidikan jasmani sehingga postingannya hanya berkisar dunia jasmani, sehingga tidak boleh membahas agama? Wah, jangan-jangan ini karena Mustafa Kemal Attaturk yang memisahkan ilmu dunia dan ruhiyah? Pembahasannya bisa berjilid-jilid ini nanti.

Yang jelas, ada prinsip dasar yang saya pegang. Dimanapun kita berpijak, sebarkan kebaikan. Karena suatu kebaikan yang disebarkan, dan orang lain terinspirasi sehingga mengerjakan kebaikan itu, maka disanalah ladang pahala bagi kita. Begitupun sebaliknya.

Jadi, simple saja. Ketika kita bergelut dalam bidang apapun dalam ranah apapun. Kebaikan itu bisa ditularkan. Saya mengenal Mas Yanuardi Syukur, dan saya beruntung dapat membaca cerita inspirasinya dalam bukunya “Facebook Sebelah Surga Sebelah Neraka (FS3N)”. Dari buku yang saya baca pada saat awal fesbuk booming pada tahun 2009, menjadikan saya punya pijakan: fesbuk adalah ladang amal.

Sehingga mulai dari tahun 2009 hingga kini, postingan alhamdulillah ada nafas dakwah. Meskipun diri ini tidak mengikrarkan sebagai pendakwah. Hal itu seolah menjadikan pegangan, jika ada pesan dari nabi kita tercinta “Sampaikanah Walau Hanya Satu Ayat”.

Perjalanan panjang dari sebagai karyawan, mahasiswa, dan kini pengajar memberi banyak warna pengalaman dalam rangkaian perjuangan. Buku FS3N, yang kebetulan (sebenarnya telah Allah gariskan) dibeli misanan dari obralan buku di Ramayana rupanya meneguhkan sikap hidup agar terus beramal dalam kebaikan. Berlomba-lomba dalam Kebaikan, Fastabiqul Khairat!

Peristiwa beberapa hari lalu membuat saya merenung. Ternyata apa yang kita tulis akan dibaca oleh banyak orang, termasuk murid kita. Jadi sungguh berbahaya ketika sebuah tulisan, lebih-lebih yang ditulis pendidik, tidak memberikan ruh kebaikan dan menggerakkan, namun hanya tempelan hiasan. Masihkah ada waktu bagi kita mengisi hati mereka dengan nafas agama?

INSIPIRASI: Karya Yanuardi Syukur

Resensi bukunya ditunggu ya..^^
























sumber: http://4.bp.blogspot.com/

29 May 2015

Kisi-kisi UKK Penjasorkes Kelas 8 SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo

Tanpa terasa hari ini tatap muka terakhir pembelajaran Penjas kelas 8. Rabu lusa (3/6) sudah dimulai UKK. Bagi yang belum dapat kisi-kisi UKK Penjasorkes kelas 8 Semester II 2014-2015 bisa mengunduhnya disini.

Salam jumpa generasi emas Musasi. Tahun ajaran baru sudah menantimu. Tetap semangat menggapai cita-citamu, tetaplah ikhlas hanya berharap pada Rabbmu. Aamiin :)







*gambar: @roelsebloe

26 May 2015

Malu dan Mentalitas Bangsa Kulit Gosong


Ahad pagi saya mengantar adik kembali ke kampus. Berangkat dari Porong dengan motor merah perjuangan. Seperti biasa, raya Porong jadi langganan motor kami. Jalan yang di sebelah timurnya membentang tanggul lumpur itu berbeda kontras dengan pemandangan di sisi baratnya. Hamparan bangunan yang rata dibongkar lebih banyak mendominasi. Selebihnya hanya alang-alang dan tumbuhan liar yang merajai.

Pemandangan saya tertimpuk pada motor yang diparkir di tepi jalan. Tak jauh dari motor tersebut seorang laki-laki berdiri. Membelakangi jalan raya, tanpa malu-malu kemudian menuntaskan hajatnya. Ya, pengendara motor tersebut dengan rasa percaya dirinya (maaf) kencing di tepi jalan. Jika itu dilakukan saat malam, saya menjadi lumrah, tapi ini dilakukan pagi hari, saat matahari sudah bersinarl terang, dan pemandangan menjadi gamblang. Astaghfirulah, saya berdoa, semoga adik perempuan saya tidak melihat pemandangan yang di banyak negara masuk daftar pelanggaran berat.  

Saya tidak bisa membayangkan mengapa dengan populasi yang mayoritas muslim, negara kita ini menanggalkan rasa malunya. Mereka salat dan menjalankan puasa, tapi kemudian buang apa-apa sembarang saja. Jika untuk membuang barang najis saja seperti air seni sendiri, mereka tidak punya rasa malu. Apalagi untuk membuang sampah dan mengotori lingkungan.

Membandingkan dengan Singapura yang terkenal bersih saya jadi ngiri. Mendengar negeri singa itu menerapkan denda besar bagi mereka yang membuang sampah sembarangan, saya jadi sakit hati. Dan sakitnya itu di…(halah). “Ada yang salah dengan negeri ini?” pikir saya. Salah karena dijajah Belanda, bukan Inggris. Salah karena dijajah terlalu lama hingga 3,5 abad lamanya. Hingga mentalitas terjajahnya sampai beberapa turunan.

Guru SMA saya yang kini menjadi kepala sekolah pernah memberikan nasehat. Karena terlalu lamanya terjajah, bangsa kita terbentuk mentalitas terjajah. Bangsa terjajah yang mempunyai mentalitas terjajah, yang salah satu diantaranya adalah mentalitas anti malu. Bangsa kulit gosong—begitu beliau menyebutnya—tak lain adalah sebutan untuk bangsa dengan mentalitas inlander. Mentalitas inlander akut salah satunya adalah tak berani menegakkan kepala. Malu tidak pada tempatnya, dan merasa bisa padahal aslinya tidak bisa apa-apa.

Dua mentalitas terakhir rupanya kembali menyeruak dalam trending topic terkini. Malu dan rumangsa bisa menjadi cerminan jika bangsa kita masih belum lepas dari mental tertindas. Kisruh PSSI dan Kemenpora yang berlarut-larut seolah merupakan gambaran nyata jika bangsa yang lepas dari penjajahan berkat rahmat Allah semata ini masih berkutat dengan masalahnya sendiri. 

Kemenpora sebagai otoritas tertinggi pemegang kebijakan olahraga bertindak overprocedur. Di bawah kendali Imam Nahrawi yang tak lain merupakan politisi, Kemenpora masuk dalam lubang jarum. Alih-alih lepas dan mengurai masalah yang membelit PSSI, campur tangan pemerintah melalui Kemenpora membuat masalah semakin semrawut. Pembekuan PSSI tanpa disertai blue print kompetisi pengganti menjadikan sepak bola nasional diambang sanksi.

29 Mei 2015 adalah batas akhir yang diberikan FIFA agar pemerintah (Kemenpora) tidak memberikan intervensi dalam urusan si kulit bundar. Lepas dari batas waktu yang ditentukan, kiamat kecil bagi persepakbolaan nasional. Kabar gugatan PSSI terhadap SK Kemenpora yang dikabulkan PTUN setidaknya membawa angin segar. Sepak bola tetaplah sepak bola, biarkan bola tetap bundar dan menggelinding di lapangan. Jangan pernah membawanya keluar menuju panggung politik yang liar.

Porong, 260515

*gambar: http://www.girlslife.com/



Dilema Sepak Bola di Negara Berpenduduk 220 Juta Jiwa

Opini Jurnalistik Olahraga | 13 Desember 2012


Sabtu (1/12) seharusnya menjadi hari yang indah khususnya bagi Timnas dan seluruh rakyat Indonesia. Betapa tidak, unggul sementara di grup B dan memuncaki klasemen pada perhelatan Piala AFF 2012. Indonesia yang pada pertandingan terakhirnya hanya membutuhkan hasil seri melawan tuan rumah Malaysia, harus gigit jari dan menelan pil pahit kekalahan dua gol tanpa balas. Kekalahan Timnas Garuda atas Timnas Harimau Malaya-julukan Timnas Malaysia, seperti mengulang kembali kekalahan yang dialami pada perhelatan Piala AFF 2010 lalu. Ketika itu, Timnas Merah Putih yang masih dibesut Alfred Riedl harus bertekuk lutut saat bersua Laskar Negeri Jiran di babak final. Kalah 3-0 pada laga away di kandang Malaysia, Indonesia hanya mampu membalasnya dengan skor 2-1 di Jakarta. Indonesia pun kalah agregat 4-2 dan mengubur dalam-dalam impian menjadi juara.

Awan kelabu prestasi sepak bola Indonesia, sepertinya tak mau beranjak dan tetap menaungi dunia persepakbolaan nusantara. Karut marutnya sistem kompetisi, kurang tegasnya peran pemerintah, hingga dualisme kepemimpinan di tubuh PSSI, seolah menjadi salah satu sebab gagalnya Timnas Indonesia menggapai puncak prestasi. Jangankan berbicara di level Piala Dunia, untuk tingkat ASEAN saja, Timnas kita belum menunjukkan taringnya. Faktor terakhir, dualisme kepemimpinan seolah menjadi momok seretnya prestasi Timnas dalam dua tahun terakhir.

KPSI (Komisi Penyelamat Sepak Bola Indonesia) mendeklarasikan diri sebagai tandingan PSSI sebagai upaya perlawanan atas ketidakadilan yang dilakukan Induk Organisasi Sepak Bola Indonesia itu terhadap kubu yang sebelumnya mendukung Nurdin Halid. Djohar Arifin Hussein sebagai pemegang otoritas tertinggi Induk organisasi itu pun meradang. Dampaknya pun bisa diprediksi. PSSI tak mengakui adanya liga bentukan lain, selain IPL (Liga dalam naungan PSSI). ISL (Indonesian Super League) yang menjadi liga tandingan IPL (Indonesian Premier league) di blacklist. Ultimatum pun diberikan, yang intinya, tidak mengakui pemain, pelatih, wasit, dan perangkat pertandingan lainnya yang terlibat di liga tandingan PSSI tersebut.

Ketika Joint-Comittee (JC) yang diprakarsai FIFA ingin menyatukan dua kubu yang berseteru pun akhirnya tak mampu. Kesepakatan yang sudah diteken pun akhirnya buyar, dan kedua kubu kembali memegang teguh kemauannya.  Para pemain yang merumput bersama klub ISL, dilarang bergabung Timnas. Atas keputusan itu, tak ada lagi nama-nama layaknya Firman Utina, Ahmad Bustomi, Patrich Wanggai, atau Christian Gonzales. Yang ada malah nama-nama pemain IPL yang bisa dikatakan minim skill dan belum teruji jam terbangnya. Pemain-pemain naturalisasi, seperti Raphael Maitimo, Toni Cussel, maupun Johny van Baukering pun belum menunjukkan skill terbaiknya.

Sulitkah Mencari Sebelas Pemain?

Jumlah penduduk terbesar kelima sedunia belum menjadi jaminan bagi Indonesia untuk menunjukkan prestasi terbaiknya. Dengan melimpahnya Sumber Daya Manusia yang ada di negara kita tercinta, tak sulit sebenarnya mencari sebelas pemain hebat untuk dibentuk menjadi Timnas yang kuat. Kita mestinya malu dengan Malaysia yang tak mempunyai pemain Naturalisasi tapi mampu menunjukkan prestasi. Bahkan bisa mengalahkan Timnas kita yang diperkuat sejumlah pemain impor yang masih diragukan nasionalismenya. Dua kali kekalahan beruntun dari Tim Harimau Malaya, seharusnya menjadi cambuk dan cermin bagi pemegang tertinggi otoritas persepakbolaan nasional. Jangan sampai dualisme kepemimpinan menjadi masalah yang berlarut-larut yang tak berkesudahan, yang berpengaruh tak hanya pada terhambatnya prestasi Timnas, namun juga pada iklim persepakbolaan nasional. Kita tak ingin karut marutnya persepakbolaan nasional malah menjadikan Indonesia menuai sanksi FIFA.

Jauhkan Sepak Bola dari Kepentingan Politis!

Pertarungan dua partai politik diduga juga berpengaruh dalam karut-marutnya persepakbolaan nasional yang tak kunjung usai. Dua partai yang berlatar belakang berbeda dan mempunyai kepentingan yang tak sama, menjadi salah satu faktor mandegnya prestasi dan iklim persepakbolaan Indonesia. Kita semestinya berkaca pada Thailand yang dalam beberapa tahun yang lalu juga diwarnai kisruh politik yang sempat membuat perekonomian negeri Gajah Putih tersebut ambruk. Namun, yang  perlu digarisbawahi, meskipun perekonomian dan stabilitas keamanann terganggu, namun iklim persepakbolaan negara yang bermata uang Baht itu tetap berjalan kondusif, urusan politik tidak sampai mencampuri.

Bila kita menengok kembali kekisruhan yang terjadi dalam tubuh PSSI, perlunya ketegasan pemimpin dari Menteri sebagai pembantu Presiden, agar dapat membuat regulasi dalam kepemimpinan yang berintegritas. Menteri Pemuda dan Olahraga sebagai pemegang komando kepemimpinan diatas ketua umum PSSI, seharusnya memberikan efek jera terhadap para provokator yang menghambat laju prestasi persepakbolaan nasional.

Diatas itu semua, upaya menyatukan kembali kepemimpinan dalam tubuh organisasi sepak bola terbesar di Indonesia ini wajib diwujudkan bersama agar negeri dengan rakyat yang mayoritas penyuka si kulit bundar ini dapat berbangga diri dengan tim nasionalnya. Dan, tentunya iklim kompetisi yang kondusif akan menarik pihak sponsor, yang berkorelasi positif terhadap kemampuan finansial klub yang bernaung dibawah organisasi PSSI itu sendiri.


Daftar Pustaka:
Harian Jawa Pos, terbitan Minggu, 2 Desember 2012
gambar: http://previews.123rf.com/



15 May 2015

Sidoarjo Ber-Musywil

Tiga hari dua malam kota Sidoarjo dibuat benar-benar padat. Pada tanggal 8-10 Mei 2015 kota Delta menjadi tuan rumah Musywil XV Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur. Dalam Musywil yang mengusung tema “Progresivitas Dakwah Pemuda Muhammadiyah untuk Membangun Islam Berkemajuan” itu akhirnya memilih Pradana Boy ZTF sebagai ketua.

Menjadi jujugan ribuan musyawirin, kabupaten dengan 18 kecamatan itu berupaya dengan sekuat daya dan upaya di tengah keterbatasan dana untuk menyukseskan gawe lima tahunan itu. Terbukti sejak Jumat, komplek Perguruan Muhammadiyah yang juga menjadi Pusat Dakwah Muhammadiyah Sidoarjo tumplek blek didatangi para peserta Musywil dari segenap penjuru kota/kabupaten di Jawa Timur.

Sejak Jumat, Kokam (Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah), sudah mulai menyerbu Sidoarjo Square (lokasi Musywil). Kedatangan Kokam tak lain turut serta dalam apel akbar di Alun-alun Sidoarjo. Selain apel Kokam, pada Sabtu (9/5) rangkaian acara Musywil diawali dengan Pawai dan Tabligh Akbar. Pawai yang diikuti ratusan peserta itu didominasi segenap siswa-siswi sekolah Muhammadiyah se-Sidoarjo.

Usai pawai, gelaran acara dilanjutkan dengan aksi Kokam dan pertunjukan seni beladiri Tapak Suci yang diperagakan ratusan murid SMP-SMA Muhammadiyah se-Sidoarjo. Dalam acara kolosal tersebut turut disaksikan Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr. Abdul Mu’ti yang diusung dalam acara Tabligh Akbar. Selain Pak Mu’ti, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjutak juga hadir dengan rombongan. Tuan rumah yang  terdiri panitia lokal Pemuda Daerah Sidoarjo dan Panitia dari Pemuda Wilayah datang dengan komposisi penuh. Ketua PWM Prof. Thohir Luth, Ketua PWPM Khoirul Abduh, dan ketua PDPM Jasmuri.
 .
Acara Musywil sendiri dilaksanakan pada sore hingga malam hari di Auditorium Smamda. Konon ketika berlangsungnya acara, ruang yang berkapasitas ribuan tempat duduk itu sampai tak muat menampung para Musyawirin yang hadir. Sampai-sampai pada sesi pemungutan suara, karena keterbatasan ruang, dibuatlah sistem kloter. Dimana para Musyawirin diminta untuk melangkah keluar ruangan, dan akan dipanggil satu persatu daerah sesuai nomor urutan yang sudah diundi sebelumnya.

Pemungutan dan penghitungan suara berlangsung hingga Ahad dini hari. Dari enam kandidat yang maju dalam Musywil kali ini, Pradana Boy ZTF., mengungguli suara para kandidat lainnya. Dengan hasil tersebut, Maka mas Boy, panggilannya, memimpin Pemuda Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur dalam lima tahun kedepan. Tugas dan bisa dikatakan tidak ringan.

Namun, keunggulan jejaring dan intelektualitas dosen UMM tersebut menjadi modal yang sangat diperlukan ketika menatap masa depan Pemuda Muhammadiyah. Dengan modal keilmuan, Pemuda Muhammadiyah masa depan diharapkan dapat mengemban amanah sebagai pelangsung, pelopor, dan penyempurna gerakan. Dengan kapasitas keilmuan yang mumpuni Pemuda Muhammadiyah mempunyai integritas tinggi dan tak mudah terkooptasi kepentingan. Jika impian itu bisa direalisasikan, besar harapan Pemuda Muhammadiyah tumbuh menjadi sosok organisasi otonom Muhammadiyah yang mandiri dan disegani. Dia akan menjadi kiblat serta mempunyai kemampuan memimpin dalam gerakan pencerahan. Dan tentu kita sangat berharap, dalam komando kepemimpinan yang baru ini ghirrah dakwah tetap ditumbuhkembangkan. Khittah agar dapat melahirkan kader ulama yang intelek dan intelek yang ulama tetap tersemai. Dengan jalan tersebut, insya Allah, Muhammadiyah akan lepas dari awan hitam krisis kader ulama dan kader intelektual. Semoga!

Porong, 150515

Meluruskan niat, Membersihkan hati, Menyucikan diri


7 May 2015

Assalamu’alaikum, Pak Rektor!

Hujan deras sore itu. Rahmat Allah turun dan mengguyur permukaan bumi. Sepanjang jalan Sidoarjo hingga Surabaya pun tak luput dari rintik air langit. Kami berangkat dari Porong. Gedung Balai Pemuda Surabaya siap menyambut tekad kami. Thalibul Ilmi.

Sabtu (2/5) menjadi rangkaian acara Surabaya Islamic Book Fair (SIBF) 2015 di gedung bersejarah itu. Lumrahnya acara SIBF dua-tiga tahun belakangan diadakan di Jatim Expo (JX) atau di DBL Arena. “Mungkin sedang penuh penyewa,”jawab Juhri, kawan seboncengan, seolah mengerti tanda tanya yang melayang di atas kepala. Selain hunting buku-buku berharga miring, undangan Bina Qolam yang tersebar di sosmed membuat langkah roda motor kami terus tergerak.

SMILE: Prof, Muchlas Samani*
Profesor Muchlas Samani, nama yang tak asing lagi bagi kami, khususnya warga Unesa. Rektor periode 2010-2014 itu revolusioner. Gagasan dan kiprahnya akan kami ceritakan di sesi lain. Yang jelas, kedatangan mantan staf ahli Menteri Ppendidikan Bambang Sudibyo itu memantik keingintahuan kami. Diskusi yang bertemakan “Berawal dari Membaca Kini Saatnya Menulis” menghangat. Semangat para peserta mengalahkan guyuran hujan.

Diskusi dimulai ba’da salat Isya’. Mas Oki Aryono, pemegang amanah Bina Qolam yang merasa dirinya hanya pemandu sorak, menjadi moderatornya. Prof. Muchlas malam itu memakai jaket coklat. Beliau berkata dua hari belakangan bisanya hanya tiduran, radang tenggorokannya kambuh. Alhamdulillah, malam itu beliau sudah sehat.

Dalam paparannya, Prof.  Muchlas mengawali akan betapa penting peran dunia tulis-menulis dalam sejarah peradaban manusia. “Jika tidak ada tulisan, mungkin manusia akan tetap seperti ini,” tutur beliau sembari memperlihatkan slide bergambar manusia purba. “Karena tidak ada transfer ilmu pengetahuan yang terjadi,” jelas lulusan teknik mesin IKIP Surabaya tersebut.

Transfer pengetahuan itu rupanya sudah diingatkan oleh Allah dalam ayat “balighu anni walau ayah”, jadi dalam arti yang lebih luas, menyampaikan ayat-ayat Allah tidak terbatas pada ayat-ayat kauliyah (tersurat), namun juga kauniyah (tersirat). Media yang digunakan pun bermacam-macam salah satunya dengan tulisan. “Ada inspirasi apapun, tulislah!” ajak guru besar Unesa itu.

Menulis itu, tambah Prof. Muchlas, ibarat orang belajar bersepeda. Membutuhkan skill atau keterampilan. Semakin sering diasah semakin baik. Mengasah skill menulis tak harus dari buku atau jurnal ilmiah. Dari fenomena yang terjadi di sekitar kita pun bisa menjadi bahan tulisan. “Contohnya seperti sekarang ini, mengapa dua hari terjadi hujan terus menerus. Orang-orang yang tidak belajar mengasah akan menganggap fenomena tersebut adalah hal biasa,” jelas pemilik akun blog muchlassamani.blogspot itu menambahkan.  


Peran membaca buku atau bacaan juga tak kalah penting. Fungsinya tak lain untuk memperkaya tulisan. Dengan membaca, wawasan seorang penulis akan bertambah. Dia (penulis) dapat membuka wacana dari bahan bacaan yang tentu menjadi paradigma bagi setiap pembaca.

Dengan didasari perintah menyampaikan walau hanya satu ayat, maka keikhlasan dalam menularkan tulisan itu perlu menjadi pegangan. “Dengan ikhlas dan berlandas niat menyampaikan ilmu yang bermanfaat, insya Allah akan menjadi pahala yang mengalir sampai nanti kita meninggal” ujarnya.

RESENSI?: Sabar :)
Acara diskusi kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab peserta. Beberapa peserta yang bertanya mendapat hadiah buku karya Prof. Muchlas. Kami sendiri Alhamdulillah diberi kesempatan Allah untuk menikmati buku terbaru Prof. Muchlas. Judulnya pun membuat siapa saja penasaran dengan isinya. Di cover depan buku bertebal 266 halaman itu bertuliskan “Mohon Maaf..Masih Compang-Camping, Kumpulan Catatan sebagai Rektor Universitas Negeri Surabaya 2010-2015”. Resensi menyusul ya, hehe..




Salam Literasi,
Porong 070515

FOTO: Para Peserta Diskusi dan Prof. Muchlas Samani
























 *gambar sumber; http://antarajatim.com/

4 May 2015

Pak Guru: Potret Kehidupan “Oemar Bakrie” di Pedalaman Lamongan

“Kau tahu, Musa, apa tanda perbuatan kita akan mengantarkan ke surga?”

“Jika ada setan menghalangi, itulah tanda perbuatan kita benar. Ingatkah kamu kisah Ibrahim ketika ia menerima perintah menyembelih Ismail? Berhari-hari Ibrahim berpikir apakah ini perintah Allah atau sekadar bunga tidur. Ia bawa Ismail ke bukit dengan hati ragu-ragu. Tapi di jalan, iblis menghalang-halangi, maka yakinlah Ibrahim bahwa perbuatan itu benar-benar perintah Allah!” (Cuplikan Novel Pak Guru, hal. 307)

Mendengar kata Guru, pandangan sebagian dari kita akan terlempar pada sosok yang cerdas, penuh kharisma, berwibawa, dan lekat dengan keteladanan bagi muridnya. Namun, tunggu dulu, kita pun perlu menyodorkan sebuah logika: sosok guru juga manusia. Jika sudah demikian, maka tak perlu heran jika banyak kekurangan dan kealphaan dari seorang Umar Bakrie, karena sekali lagi, dia pun manusia. Tapi sejenak kita merenung, selain kembali pada FITRAH sebagai manusia, sosok guru juga harus meluruskan KHITTAH (garis besar perjuangan).

Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa guru mempunyai 4 kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional serta kompetensi sosial. Nah, melihat kenyataan diatas, guru tak selayaknya menjadi manusia yang sama dengan manusia kebanyakan. Lho? Dalam hal kompetensi kepribadian, jika dianalogikan mahasiswa yang baru lulus kuliah dan mendapatkan nilai IPK, maka seorang guru harus mempunyai kepribadian yang ber-IPK diatas 3,00 atau yang lebih radikal dia harus cumlaude dalam kompetensi kepribadian.

Dalam novel Pak Guru, setidaknya kita dapati gambaran dan dinamika kehidupan guru. Lika-likunya menjadi berharga, ketika banyak nilai-nilai kearifan yang terkandung dalam novel bertebal 328 halaman ini.

Novel yang berlatar pedalaman Lamongan pada tahun 70-an itu menggambarkan sosok Musa, guru yang baru saja diangkat menjadi kepala sekolah di SDN Sidomulyo. Sebagai guru baru yang belum kenyang pengalaman, dia merasa berat ketika Pak Danutirto, kepala sekolah sebelumnya, menunjuk Musa untuk menerima tongkat jabatan sebagai kepala sekolah yang baru. Musa yang dianggap Pak Danutirto sebagai sosok yang berdisiplin tinggi dan penuh tanggungjawab dalam mengemban tugas dianggap paling cocok untuk menggantikan Pak Danutirto yang harus pensiun.

Padahal, jika melihat peta senioritas, masih ada sosok Pak Sarkowi, guru yang umur dan pengalamannya lebih tinggi dari Musa. Namun, Pak Danutirto mempunyai pandangan lain, maka dia tetap memilih Musa untuk menggantikannya. Karuan saja, keputusan sang kepala sekolah menjadikan iri hati Pak Sarkowi. Sebagai guru paling senior di sekolah yang sekelilingnya daerah pertambakan itu, dia merasa dilecehkan. Sejak Musa diangkat sebagai kepala sekolah baru, api kecemburuan Pak Sarkowi makin membesar. Dia mengannggap Musa anak kemarin sore yang tak pantas menjadi kepala sekolah.

Dalam tiap rapat guru yang dipimpin Musa, Pak Sarkowi selalu mencari alasan untuk enggan menghadiri. Dalam tiap kesempatan bertemu para guru yang lain, Pak Sarkowi selalu menghembuskan api permusuhan pada Musa, sang kepala sekolah. Puncaknya, ketika Musa menolak pengajuan KPN (Koperasi Pegawai Negara) yang diajukannya Pak Sarkowi. Bukan tanpa alasan Musa menolak permintaan tersebut. Menurut Musa, gaji guru yang tak seberapa, lalu banyak potongan, maka guru dikhawatirkan banyak mencari obyekan di luar. Para murid pun yang menjadi korban. Namun, karena sudah diliputi rasa kebencian, kebaikan yang disampaikan Musa tak berarti apa-apa dihadapan Pak Sarkowi.

Lain fragmen, Musa juga berhadapan dengan Bu Eni, guru pindahan dari SDN Alun-alun, sekolah yang berada di kawasan kota. Keinginan awalnya menjadi pegawai kantoran tak kesampaian karena Bapaknya menginginkan dirinya untuk jadi guru. Akibatnya pun bisa ditebak, dia banyak melamun ketika berada di kelas. Raganya berada di depan murid-muridnya, tapi pikirannya melanglangbuana kemana-mana. Penampilannya pun tak seperti kebanyakan guru pada umumnya. Jika digambarkan, sosoknya seperti etalase berjalan. Kegemarannya membaca majalah mode ibukota menuntutnya untuk selalu ikut tren. Gaya hidup dan cara berpakaian pun lebih banyak berkiblat pada majalah mode tersebut.

Ketika para guru pada saat itu paling mentok memakai sepeda pancal, Bu Eni nekat ingin memiliki motor. Setelah pengajuan KPN-nya tak disetujui kepala sekolah, dia memutar otak. Di dekatinya kepala sekolahnya dulu di SDN Alun-alun yang juga adik dari bapaknya itu untuk bisa pinjam KPN. Akhirnya dia menjadi guru pertama di sekolah itu yang memakai motor. Selain bekerja sampingan sebagai pedagang kosmetik pada para ibu-ibu, lama-lama ia juga menjadi joki dalam meloloskan murid-murid SD ke SMP negeri. Bu Eni dikenal mempunyai banyak channel pada orang dalam SMP. Tentu, untuk urusan tersebut tidak gratis, alias pasang tarif. Sebagai kepala sekolah, Musa tak ingin praktik ketidakjujuran tersebut tumbuh subur. Baginya, menuntut ilmu harus diperoleh dengan jalan kebaikan, bukan dengan sogokan.

Mulailah dia menjalani “jihad” memberantas kemungkaran yang terjadi di depannya dengan tangan (kekuasaan sebagai kepala sekolah). Bukan dengan jalan kekerasan, namun dengan cara yang moderat dan elegan, yakni mendatangkan sosok Ustadz. Cara tersebut rupanya ampuh ketika Ustadz tersebut memberikan nasehat pada para walimurid kelas 6 agar tak menggunakan cara-cara haram dalam memuluskan jalan anaknya untuk menuntut ilmu. Walimurid akhirnya lebih banyak menggunakan jalan legal. Musa lega, praktik kotor “bawah meja” tak terulang.

Novel besutan Awang Surya ini merupakan novel persembahan untuk “Musa” Mudjib Sholeh yang tak lain adalah guru, kepala sekolah dan bapaknya. Satu pesan kuat dalam novel ini, jika kita menempuh jalan kebenaran, akan selalu mendapat perlawanan dan hambatan dari setan. Musa tak ingin para guru menjadi sosok konsumtif, sehingga gajinya tak menjadi berkah bagi keluarganya. Dia juga tak ingin cara-cara kotor dilalui, hanya karena keyakinan yang kurang pada keberhasilan. Musa selalu ingat pada nasehat Haji Husin, kakaknya yang juga anggota Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan, ketika sakit dia menyempatkan untuk menguatkan hati Musa.

“Kalau sekarang ini kamu mengajak anak buahmu hidup bener, tapi mereka menolak, itu tanda perbuatanmu benar. Jangan ragu…, hadapi! Insya Allah pertolongan Allah akan datang tepat pada waktunya.”
Judul : Pak Guru
Penulis: Awang Surya 
Penerbit: Ersa-Jakarta (2014)


PENULIS: Awang Surya

28 April 2015

Dari Remang-remang Menuju Cerah Berseri-seri

Perawakannya biasa, tanpa jubah, tak berjenggot panjang pula. Tapi, kiprahnya tak kalah dengan para “pasukan jubah putih”. Jika mereka (para pasukan jubah putih) berkoar atas nama Tuhan, membawa “pentungan”, mengobrak-abrik lahan kemaksiatan. Apa yang dilakukan M. Arif’an (41) berbeda 180’. Dalam berdakwah dia tak sekadar “bersenjata golok”.

Baginya dakwah adalah jalan kebenaran yang harus ditempuh dengan cara yang terbaik. “Dakwah itu mengajak dan merangkul, bukan menakut-nakuti lantas membuat lari,” tambah pria yang menjadi ketua PCM Krembangan itu.

Ketika hadir dalam Pelatihan Ideopolitor di Graha Umsida, Sabtu-Ahad (25-26/4), pria yang menamatkan gelar sarjananya di Unmuh Surabaya itu menggambarkan lika-likunya dalam dakwah lokalisasi. “Saya tinggal di lingkungan prostitusi, jadi saya tahu betapa kelamnya para wanita yang menggantungkan hidupnya pada “lembah hitam” tersebut,”tukasnya.

Tekad dan keinginannya yang kuat, tak lantas menjadikan jalan dakwahnya lurus tak berpenghalang. Pernah suatu hari dia diprotes ibu-ibu Aisyiyah karena para bapak diajak bertabligh di wisma-wisma. Namun, beragam penolakan yang datang dari Ibu-ibu ‘Aisyiyah maupun dari warga Muhammadiyah sendiri tak menyurutkan tekadnya untuk tetap melanjutkan gagasan besarnya tersebut. “Karena dakwah sesungguhnya tak berhenti pada masjid, musala, atau tempat-tempat “nyaman” lainnya,”imbuh Bapak dua anak itu menambahkan.

Tekadnya semakin membulat ketika dirinya terpilih menjadi ketua pada Musycam PCM Krembangan. Sebagai pimpinan persyarikatan pada taraf cabang, dia tak segan mengganti para pimpinan ranting yang jarang berjamaah di masjid dan musala. “Ketika kita dipilih menjadi pimpinan, apalagi dalam organisasi besar seperti Muhammadiyah, maka pada saat itu kita menjadi teladan bagi masyarakat,”ungkapnya. Dia menambahkan sebagai pimpinan persyarikatan dalam apapun kapasitasnya, setidaknya punya kriteria 4-er, pinter, bener, kober, dan . “Pimpinan Muhammadiyah ibaratnya bekerja pada perusahaan Allah. Jangan pernah jadikan sampingan, harus sungguh-sungguh mengelolanya,”lanjutnya dengan nada serius.

Perjuangannya setidaknya membuahkan hasil, ketika banyak perusahaan yang menyalurkan dana CSR-nya pada PCM Krembangan. Beberapa perusahaan itu bahkan tak segan memberikan berapapun dana yang diminta untuk bisa memberdayakan para pekerja PSK agar mandiri dan mentas dari “lembah hitam”.

Namun, bukannya tanpa halangan perjuangan yang dirintisnya. Banyak ancaman dan teror datang, terutama dari para preman yang tidak ingin “lahan basahnya” berpindah atau menghilang. “Saya pernah dikalungi (lehernya dilingkari) pedang oleh salah seorang preman. Beberapa saudara juga lari menjauh dari saya karena merasa tidak aman,”kenangnya. Namun, pada akhirnya, ketika seseorang menolong agama Allah, maka Allah akan menolongnya. Dukungan yang diterimanya pun semakin banyak, hal itu terlihat ketika PDM dan Aisyiyah lambat laun menyambut gagasannya. Walikota Tri Rismaharini pun turut membantu ketika lokalisasi yang berada di Dupak Bangunsari dan Kremil itu dicanangkan untuk ditutup.

Para peserta tampak tak beranjak sedikitpun dari tempat duduk, antusiasme berlanjut ketika pada sesi tanya jawab, para peserta ingin tahu bagaimana kiat perjuangannya Rif’an dalam mengembangkan cabang dan ranting lebih lanjut. Pada akhir sesi, narasumber bahkan “ditahan” oleh para peserta karena rasa ingin tahunya yang masih tinggi.  

Pelatihan ideopolitor diselenggarakan Majelis Pendidikan Kader (MPK) PDM Sidoarjo, yang bekerja sama dengan Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR), turut juga mengundang perwakilan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) se-Kabupaten Sidoarjo. Selain memberikan penguatan akan pentingnya ideologi Muhammadiyah dalam gerakan dan organisasi, panitia yang didominasi para Pemuda Muhammadiyah Daerah Sidoarjo itu juga menghadirkan ketua fraksi PAN Kabupaten, yang memberikan wacana perpolitikan di kota delta.

Sehari sebelumnya acara tersebut dibuka ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo Ustadz Dzul Himam, Lc. Pada kesempatan yang sama ketua MPK dan kepala SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo Drs. Aunur Rofiq hadir saat sesi penguatan cabang dan ranting. Setelahnya rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Drs. Hidayatulloh, M.Si., memberikan percik inspirasi ideologi Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan yang melintas zaman. Dalam ceramahnya, Pak Dayat mengingatkan bila setiap perubahan yang dilakukan Muhammadiyah berkat para tokohnyayang berani mendobrak kemapanan. Contoh misalnya KH. Ahmad Dahlan, dengan keberaniannya mengubah arah kiblat masjid Agung Kauman yang sejak lama salah. Juga ada Pak AR Fachruddin, dengan kemampuan komunikasinya yang baik pada Presiden saat itu, menjadikan Muhammadiyah lebih besar dan berkembang. Selain itu ada Pak Amien Rais, sang lokomotif reformasi, menggulingkan rezim yang sudah 32 tahun berdiri. Kini, ada Pak Din Syamsuddin yang menabuh genderang jihad konstitusi.

Jangan pernah berhenti Mujahid-mujahid Muhammadiyah, jadikan negeri ini tercerahkan oleh langkah dakwahmu..

Trawas-Jasem, 280415
Dalam Dekapan CintaNya


SEMANGAT: Sebagian Peserta dan Panitia Mengabadikan Momen*
foto: fesbuk Abi Nurbian