25 September 2014

Pedjoeang, Berdjoeang, dan Tetaplah dalam Perdjoeangan!

Hari ini ketika aku mengetik kalimat diatas laptop bermerk Asus yang masih cicilan. Aku ingin menulis, bersebab dengan menulis, virus kegalauan akan menyingkir dan hilang, begitu katanya..
Galau? Koq bisa? “Bisa saja, namanya juga manusia,” biasa yang diucap mereka yang mengajukan pembelaannya. Jika dirunut, kegalauan yang pertama adalah karena faktor “I”

Berjuang dalam dunia akademik perkuliahan dalam sembilan (baca: SEMBILAN semester) bukan merupakan catatan baik bagiku, mesipun ada yang berseloroh, “lakon India menang keri” (pemenang dalam film India pasti menang terakhir). Tapi masih ingatkah, tidakkah cukup dua tahun telat kuliah menjadi cambuknya? Satu tahun menunggu sekolah berasrama menjadi penyentil telinga? Jadi seharusnya, diri ini bukan berleha-leha masanya, namun bergegas-cepat, ber-“fastabiqul khairats”,  berlomba-lomba menuju kebaikan. Kebaikan apapun itu, ya lulus kuliah, ya menjadi pendidik profesional, ya menjadi imam yang baik bagi keluarga, yang terakhir itu diingat dengan baik juga.

Mengingat kata berlomba-lomba, aku kemudian tersadar ada kata-kata yang selalu diucapkan Principal SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, Pak Aunur Rofiq, tiap briefing pagi, lima belas menit sebelum para guru masuk kelas mengamalkan ilmu:

“Hari ini bukanlah masa orang pintar mengalahkan yang bodoh. Bukan pula yang kuat mengalahkan yang lemah. Tapi hari ini adalah masa, siapa yang bergerak cepat,  dia akan mengalahkan yang lambat!”

Principal Smamda, SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo, Pak  Hidayatulloh, pun pernah menyampaikan hal serupa. Bila tak salah, ketika ada pelatihan Baitul Arqam (pengkaderan) untuk para guru baru di lingkungan cabang Muhammadiyah Sidoarjo yang dilangsungkan di padepokan Umsida, Trawas-Mojokerto beberapa waktu silam:

“Di Korea Selatan, para siswa sudah ditanamkan falsafah ber”fastabiqul khairats”, yakni berlomba-lomba menjadi yang terdepan. Falasafah yang ditanamkan sejak mereka masih kecil yang berbunyi: saat yang lain masih tidur, aku sudah bangun. Saat yang lain bangun, aku sudah berjalan. Saat yang lain berjalan aku sudah berlari. Saat yang lain berlari, aku sudah terbang."

Dalam petuahnya, beliau menjabarkan juga, bila suatu kebaikan tidak cukup dilakukan sekali. Berulang-ulang pun menjadi biasa dan lumrah bila banyak orang yang melakukannya. Namun, ada satu kebaikan dengan level tertinggi dan itu tidak cukup dilakukan sekali: yakni suatu kebaikan yang dilakukan pertama kali ketika belum ada orang yang melakukannya dan kita istiqamah mengulangnya. Subhanallah!

Pak  Imam Robandi, petinggi Dikdasmen Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur, dan juga Dikdasmen PP Muhammadiyah, serta lulusan doktor engineering Jepang dan menjadi guru besar ITS berkata dalam bukunya:

“Jadilah kijang cerdas, yang berlari kencang sebelum harimau terbangun”

Dari ketiganya ternukil pesan, bila kebaikan harus dilakukan dengan cepat dan bersegera. Kebaikan apa saja? Ya kebaikan apapun, jangan menundanya, karena belum tentu esok hari kita menjumpai matahari masih bersinar di ufuk timur. Kita pun belum tentu bisa menghela nafas dan menghirup udara pagi dari balik jendela kamar (dengan catatan kamarnya berjendela).

Spirit ideas dari para tokoh wajib hukumnya menjadi inspirasi. Salah satu inspirasi datangnya dari Ustadzah Fine Ifike Favourita yang mengatakan: “kehidupan sebelum menikah bukanlah apa-apa dibandingkan sesudah menikah dan punya anak. Karena disana (setelah menikah dan punya anak)  kita akan merasakan bagaimana ujian hidup yang sesungguhnya.

Tulisan Pak Romi Satria Wahono, salah seorang penulis favorit, dalam bukunya pernah mengutip ayat Al Quran: bila Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila manusia tersebut tidak mau mengubahnya. Kalimat yang termaktub dalam buku terbitan tahun 2009 yang berjudul “Dapat Apa Sih dari Universitas”, itu secara tidak sengaja aku temukan di JP Bookstore, toko buku milik Jawa Pos Grup yang dulu masih bermarkas di lobi lantai satu Graha Pena. 

Dan seringkali Pak Romi mengistilahkan dirinya adalah sebagai pejuang ilmu yang berjuang laksana para pahlawan yang bertempur dengan darah, jiwa, dan airmatanya untuk merebut kemerdekaan. Karena beliau masih sadar bila dirinya merupakan bagian dari bangsa yang bernama Indonesia, bukan bangsa Thailand atau Malaysia, yang mendapat kemerdekaan bukan dengan jalan perjuangan, tapi dengan belas kasihan. Maka di setiap akhir tulisan beliau menulis sebuah kalimat “sakti” yang menjadi semangat para pedjoeang lain yang membacanya: “TETAP DALAM PERDJOEANGAN!”

Hidup adalah perjungan. Bila diibaratkan dengan zaman pra kemerdekaan, maka perjuangan melawan penjajah dengan segenap tenaga, pikiran, dan harta adalah jihad yang utama. Dalam konteks kekinian, bagaimana mewarnai kemerdekaan ini dengan semangat djoeang yang terpatri di sanubari, dan meyakinkan pada diri, bila tak mudah untuk meraih kemenangan. Kemenangan sejati hanya dapat diraih dengan kesungguhan, kerja keras, semangat tinggi, pantang menyerah, dan mengembalikan hasil akhirnya pada ketentuan Allah Azza wa Jalla.

**

Hidup adalah perjuangan,
Dari sebuah nilai yang dulu tak pernah lekang, dalam tiap deru nafas anak-anak SMA yang berlatih dua kali sehari, sepuluh kali sepekan..

Hidup adalah perjuangan,
Semangat pertama kali yang dilihat mereka, anak-anak SMA penghuni asrama, yang menaikkan asa menggantungkan cita-cita, setinggi langit katanya..

Hidup adalah perjuangan,
Yang terpatri dari seorang mahasiswa olahraga, berkelana menyambung hidup pendidikan dan idealismenya dengan menjadi karyawan perusahaan swasta..

Hidup akan tetap dalam perjuangan,
Cermin dari seorang calon guru: amanah dan cita-cita mendidiknya..

Hidup bukanlah hidup, ketika langkah dan nafas perjuangan meredup,
Dari seorang manusia biasa yang berupaya menyempurnakan separuh agamanya, yang hingga kini Allah masih merahasiakannya..

Lidah Wetan-SMP Musasi, ghurubus syams, ketika matahari di ufuk barat terbenam..
Dua puluh empat September berapsodi, saat jilidan proposal rampung tertandatangani..


0 komentar: