Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

26 December 2016

Membaca dan Mengikat Makna

Hasil pengukuran PISA (Programme for International Student Assessment) menempatkan Indonesia pada peringkat ke-69 dari 76 negara dalam hal pembelajaran Matematika dan IPA. Salah konsep pembelajaran adalah salah satu biang anjloknya peringkat Indonesia dalam pengukuran kemampuan siswa tersebut. Selain miskonsepsi dua mata pelajaran tersebut, dalam keterangannya juga disebutkan pada pembelajaran Bahasa Indonesia, dimana kesalahan konsepnya terletak saat anak didik kesulitan dalam menyimpulkan wacana bacaan dengan kata-kata sendiri (Jawa Pos, 22/10).

Permasalahan dalam menyimpulkan bahan bacaan dan menuliskannya kembali menggunakan kata-kata sendiri, setidaknya menurut Hernowo Hasjim dalam kesempatan Seminar dan Lokakarya Menulis Kreatif, Ahad (18/9) di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Timur salah satu sebabnya adalah minimnya partisipasi siswa untuk membaca yang bermakna. Mengikat makna adalah konsep membaca yang bertujuan memberi dampak dari apa yang kita baca.

Konsep mengikat makna yang dicetuskan pria yang sehari-harinya bekerja di Mizan itu dapat diartikan dengan memadukan kemampuan membaca dan menulis secara bersama. Membaca dan menulis adalah dua aktivitas yang terkait dan saling berkelindan. Keduanya dapat bermakna memasukkan (membaca) dan mengeluarkan/mengalirkan (menulis). Penekanan terutama pada anak-anak dalam membaca, dengan tidak hanya menggunakan brain memory saja. Membaca dan menulis harus berada pada fase muscle memory. Ketika seseorang membaca teks yang ‘bergizi,’ maka dia akan menjadi produser teks berikutnya.

Ketika menulis cerita maka dominasinya adalah otak kanan. Sebaliknya ketika menulis sebuah karya ilmiah atau penelitian, maka kecenderungan menggunakan otak kiri lebih besar. Menulis menurut Hernowo adalah mengalirkan dan membebaskan pikiran pada lembar kertas atau layar laptop dan sejenisnya.

Dalam kesempatan yang diikuti ratusan pendidik yang tergabung dalam ikatan guru Indonesia (IGI) tersebut, beliau memberikan pemahaman, dalam aktivitas menulis yang dipentingkan adalah prosesnya. Di dalam proses tersebut, ada dua fase yang dilalui: merasakan mengetik (bila menggunakan laptop) dan merasakan emosi. Jadi, ketika kita menuliskan sesuatu, maka yang membedakan tulisan kita dengan tulisan orang lain terletak pada gagasannya.

Hernowo kemudian memberikan contoh, bagaimana aktivitas membaca artikel yang bermakna. Menurutnya, salah satu cara untuk mengikat makna adalah dengan menandai bacaan, menambahi catatan, atau memberikan pengingat dari bahan bacaan yang kita baca.

Dalam seminar dan lokakarya tersebut, setidaknya diberikan tiga jenis tahapan dalam latihan menulis. Tahap pertama adalah latihan menulis untuk membuang. Penekanan pada latihan pertama adalah mengalirkan tulisan selancar-lancarnya. Tidak boleh ada hambatan, walau itu salah ejaan. Jadi ketika salah ketik, maka biarkan saja, harus ada garis yang jelas antara menulis dan mengedit. Pesan dalam latihan pertama: menulis tidak boleh dalam keadaan tegang. Pada tahap pertama para peserta diberi kebebasan menuliskan apapun dalam waktu lima menit.

Tahap kedua adalah menulis dengan mengikat makna. Menuliskan poin demi poin yang menarik dari sebuah artikel. Peserta yang sudah diberi selembar artikel dari koran kemudian diminta untuk menandai atau membuat catatan. Selanjutnya poin dan catatan tersebut dituliskan dengan kata-kata sendiri pada lembar kertas atau laptop.

Ketiga, menulis dengan topik yang disukai. Pada tahap ini, topik lebih detail daripada tema. Topik bisa bermacam-macam, dari kuliner, kesehatan, parenting, dan lain-lain. Poin penting dari kualitas pikiran yang akan kita tulis dapat dilihat dari topik (materi) dan gagasan (unik). Dalam tahap yang ketiga ini, eksplorasi pikiran kita pada saat mencari sisi unik dan detail pada topik yang hendak kita tulis, mutlak untuk dilakukan.

Tidak ada kesempuranaan tanpa latihan. Pesepakbola seperti C. Ronaldo juga harus tiap hari latihan untuk menjadi pemain yang berkelas. Begitupun dengan menulis. Mengalokasikan sepuluh menit untuk membaca dan lima menit menulis tiap harinya dapat meningkatkan kemampuan fisik dan non-fisik kita saat menulis.

Muara dari hasil pengukuran PISA menyentak kesadaran kita bersama. Ada amanah super berat untuk menggalakkan anak-anak, para peserta didik kita, yang notabene merupakan generasi emas bangsa agar melek literasi.  Setidaknya, goal literasi yang tiap hari dilakukan bukan hanya sebatas rutinitas harian tanpa arah. Harus ada trisula tujuan dalam literasi: pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran.



Ditulis untuk artikel Pena Guru Musasi Magazine edisi 3/Desember 2016

4 October 2016

PTS (penilaian tengah semester) Kisi-kisi Penjas kelas 9 Semester Ganjil

Assalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh..

Ada yang berbeda dan tak biasa ketika penilaian tengah semester (PTS) semester ganjil kali ini (3-21 Oktober 2016). Bagi para siswa Musasi kelas 8 dan 9 menggunakan CBT (Computer Based Test) adalah hal yang biasa. Tapi bagi kelas 7 yang baru menjadi siswa baru sekolah yang beralamat di jalan KH. Samanhudi tersebut, menggunakan CBT adalah sesuatu yang baru.


Klik disini untuk mengunduh kisi-kisi PTS Penjas kelas 9 semester ganjil. 
Tetap semangat!
Logo SMP Musasi terbaru. Sengaja agar kekinian, hehe..






29 August 2016

Olahragawan atau Pustakawan?

Dua profesi itu pernah dan sedang saya jalani. Pernah bergelut di atas matras Judo kurang lebih tiga tahun ketika menjadi siswa-atlet SMA Negeri Olahraga (Smanor) Jawa Timur. Kini, Allah pulalah yang memperjalankan diri ini hingga sampai menjadi staf perpustakaan, semoga saya boleh menyebut diri pustakawan, hehe..

Di Smanor--sekolah yang menasbihkan dirinya sebagai sekolah pencetak atlet--berkutat dengan keringat adalah hal yang lumrah. Bagaimana tidak, ketika pagi dan sore diharuskan memeras keringat sebelum menuju pertandingan dan bersaing memetik gelar/juara. Menu latihan dua hari sekali itu tidak lain menjadi fardhu 'ain, selain menambah jatah latihan sendiri pada siang hari atawa malamnya.

Saya sendiri memilih olahraga Judo karena melihat peluang. Disamping ajakan dari saudara tetangga yang sebelumnya sudah menjadi atlet di sekolah yang berada di kawasan Pondok Jati Utara itu. Sebelum mencemplungkan diri di olahraga bantingan asli Jepang itu, saya pernah mencoba "peruntungan" tes atletik nomor lari sprint dan akhirnya gagal, hiks. Itulah yang kemudian membuat saya banting stir menjajal beladiri yang mengutamakan teknik bantingan, kuncian dan randori (permainan bawah).

Imam Moehasib, seorang takmir Mushala Nurul Huda pernah berpesan, jika kekuatan manusia hanya ada tiga; berikhtiar, berdoa, dan bertawakal pada ketetapan Allah Ta'ala. Kata ikhtiar dan doa itulah yang menjadikan mindset di pikiran saya mengatakan, tidak ada yang tidak bisa selama kita berusaha dengan kemampuan maksimal kita. Tiada pernah berhasil jika kita tidak pernah mencobanya. Begitulah, pola pikir yang saya resapi dari beberapa kajian dengan bekal siraman ruhani yang memperkokoh jiwa untuk selalu bersikap optimis terhadap apa-apa saja ketentuan dari Allah Ta'ala.

Keyakinan itu pulalah yang mengantarkan diri ini sampai gerbang Graha Pena yang kemudian Allah bukakan takdir berikutnya untuk menuntut ilmu hingga ke Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Meski harus pula menjalani dua peran--mahasiswa dan pekerja--tak pernah menjadikan diri ini menyerah dengan keadaan dan mengeluh dengan kondisi kekinian.

Allah pulalah jua yang meridhai ketika diri ini menyelesaikan skripsi dan berwisuda di Graha Pena, tempat pertama kali menerima gaji sebagai karyawan profesional. Kata Mas Syahrul, tidak ada yang pernah terjadi secara kebetulan. Dalam Al Quran, bahkan daun yang jatuh sudah tertulis dan menjadi catatan. Begitupun dengan semua yang pernah kita lalui dan akan kita perjuangkan.

Kini, ketika takdir Allah menghantarkan pada sebuah fase baru, dimana amanah yang teremban semakin besar dan berat. Kita perlu merenungkan kembali kekuatan yang Allah berikan pada manusia. Berikhtiar dengan maksimal, berdoa dengan sungguh-sungguh dan berkeyakinan. Bekal tawakal, jika Allah tak pernah menganiaya hamba-hambaNya.

SK (surat keputusan) yang diterima tahun ketiga di sekolah ini: menjadi pendidik mata pelajaran Penjas, menerima amanah menjadi takmir masjid sekolah, serta, ketika diri ini mendapat kepercayaan dan tanggung jawab untuk menjadi staf perpustakaan. Belajar dan terus belajar. Akan banyak tantangan yang dihadapi, Menguatkan diri untuk terus menerus dalam jalan keridhoanNya.

Satu anugerah menjadi perpustakaan terbaik se-kabupaten tingkat kabupaten telah teraih. Ya, Perpustakaan SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, dinyatakan terbaik kedua dalam lomba perpustakaan tingkat kabupaten yang diadakan Perpusda Sidoarjo. Semoga September nanti, ketika penyerahan piala oleh Bupati Sidoarjo dapat menjadi kado termanis dan pemicu untuk terus berprestasi. Semoga!


Bulusidokare, 290816


Mengakhiri tulisan ketika adzan Isya berkumandang







16 August 2016

Memerdekakan Bambu

Bambu. Apa yang anda bayangkan ketika menyebut nama rumput ajaib tersebut? Mungkin dari kita ada yang langsung membayangkan sebuah alat yang digunakan arek-arek Suroboyo ketika melakukan perlawanan terhadap sekutu? Atau ada pula pikiran kita melanglangbuana pada zaman ketika batu bata keberadaannya masih sangatlah terbatas? Jika masih belum ngeh atau masih mengernyitkan dahi ketika ditanya tentang bambu, sepertinya kita masih memperbudak bambu. Lho?!?

Surga bambu salah satunya adalah Indonesia. Banyak jenis bambu yang tumbuh subur di tanah gemah ripah loh jinawi itu. Dari beragam jenis bambu yang trubus, masing-masing mempunyai fungsi dan manfaat yang berbeda. Sayangnya, dalam gemebyar tanamanan bambu di nusantara,mayoritas masyarakat masih enggan untuk memanfaatkan bambu secara maksimal.  
Bayangkan, sejak zaman penjajahan hingga sebelum reformasi digulirkan, bambu hanya menjadi komoditi yang belum bernilai ekonomis. Paling banter dalam catatan sejarah, ketika bambu—yang sudah diruncingkan—menjadi senjata andalan melawan tentara sekutu, dan kini dibuatkan monumen untuk mengenangnya. Sekedar itu? Iya! Atau kalo tidak, pernah menjadi kebutuhan pokok masyarakat sebelum mengenal kemodernan dengan memasangnya pada dinding maupun langit-langit rumah. Nasib bambu masih merana, hingga kini.

Membaca berita Jawa Pos kian membuat hati ini miris. Ketika bambu-bambu kita dimanfaatkan Malaysia untuk membangun masjid bambu yang konon nilainya mencapai milyaran. Ya, di tanah jiran, bambu menjadi digdaya. Mereka menggunakan ilmu pengetahuan dalam memanfaatkan komoditi yang ramah lingkungan untuk pembangunan. Para pakar bambu di datangkan dari Jogjakarta. Banyaknya bambu jangan dibilang, panjang bambu 12 meter dikirim hingga tiga kontainer! Lagi-lagi kita tertinggal. Angka milyaran itu saya kira sebanding dengan ketahanan bambu yang katanya bisa awet hingga 70 tahun. Super!

Kita harusnya tidak kalah. Kita pun tak semestinya tertinggal. Potensi sumber daya bambu kita melimpah. Pakar kebambuan dari berbagai daerah pun tak pernah kehabisan stok. Hanya, ketika kita bicara tentang mentalitas, kita akui jika memang menjadi kelemahan kita. Mentalitas kita masih belum menghargai para pakar yang banyak mendedikasikan hidupnya untuk meneliti bambu. Kita—untuk tidak menyalahkan pemerintah—seringkali abai dengan nasib mereka. Maka ketika banyak negara memanfaatkan kebrilianan pikiran mereka, kita hanya bisa menonton, sambil menghisap jari kelingking.

Mentalitas kita pun masih sering terjajah dengan lebih memandang hijau rumput hasil karya negara lain. Komoditi dalam negeri acapkali menjadi terpinggirkan hanya gegara terlampau seringnya kita silau dengan pelbagai produk bermerk yang berlabel impor. Pikiran kita masih tersugesti, jika produk impor yang mahal pastilah bermutu baik dan awet. Produk sendiri dan buatan dalam negeri nanti dulu.

Itulah fakta. Kita hidup di negara dengan mentalitas terjajah. Para peneliti bambu sedih ketika mendengar stigma masyarakat kita. Mereka—masyarakat kita—menganggap bambu hanya diperutukan hanya untuk orang miskin.

Jangan nterpana jika tiba saatnya kita disentakkan dengan akselerasi negeri-negeri jiran yang dengan leluasa mengekploitasi kekayaan alam kita, disaat yang sama kita masih menutup mata dan telinga.
Maafkan para pahlawan, kami masih mengisi kemerdekaan dengan cara-cara yang kurang substantif. Kami hanya mampu beli bambu untuk memasang bendera, umbul-umbul, dan kerlap-kerlip lampu jalanan. Kami belum mampu melangkah mengangkat bambu seperti dulu. Jika dulu dalam keterbatasan, bambu mampu merebut kemerdekaan. Kini, bambu hanya komplementer. Dibutuhkan dan digunakan dalam momen-momen tertentu..

Salam bamboe,
Bulusidokare, 160816


Resolusi Kemerdekaan RI: Menulis atau Mati!

Menjelang kemerdekaan, perlu kita mereformasi diri. “Merevolusi mental,”kata Pak Jokowi. Agar kemerdekaan lebih bermakna dan menjadi tonggak perubahan, baik bagi diri sendiri maupun untuk khalayak. Bukan itu saja, namun juga membredel niat pada khittahNya: beribadah.  

Beribadah dengan tujuan vertikal, dan tentu efek horizontal tidak lain agar bermanfaat untuk umat. Utamanya memberikan inspirasi dan berbagi pengalaman.  Lantas, mengapa harus dengan tagline menulis atau mati? Nggak ada yang lebih serem, hehe..

Adalah Much. Khoiri dengan karyanya Pagi Pegawai Petang Pengarang (P4). Berserak diantara buku baru yang barusan diborong tim Perpustakaan Musasi saat pengadaan buku baru. Tulisan dosen Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Unesa itu renyah untuk dikunyah, eh dibaca. Buku yang baru terlahap setengahnya itu memberi efek kejut. Melecut diri agar terus-menerus menulis. Tiada hari tanpa menulis, menulis setiap hari. Ibarat makanan, jika tidak makan ya mati. Begitulah.

Slogan tersebut juga mengadopsi semangat dari dosen bahasa Inggris itu agar ghirrah dalam menulis tetap menyala dan membara dalam dada. Menurut Pak Khoiri, tak ada teknik khusus dalam menulis. Hanya butuh tekad dan keistiqomahan. Selain itu juga harus membulatkan niat dan harus mau keluar dari zona nyaman, keterbatasan waktu adalah salah satunya. Khusus poin terakhir, keterbatasan waktu seringkali menjadi kambing hitam. Sering digaungkan ketika ditanya ihwal ketidakberdayaan dalam menulis produktif, atau dalam istilah lain istiqomah dalam jalalan menulis.

Menulislah dan terus menulis, pesan beliau acap kali dalam buku bergizi tersebut. Dengan selalu menulis, maka teknik menulis akan terbentuk dengan sendirinya. Barangkali kita juga harus melek fakta, jika bakat menulis hanya menyumbang 5%, sisanya yang lain disebar dengan keberuntungan 5% dan kerja keras 90%. Atas dasar tersebut, kita harus meyakini jika tidak ada yang tidak mungkin dengan kepiawaian menulis. Menulis atau menjadi penulis atau pengarang bukan hanya milik sastrawan atau jurnalis. Banyak dari mereka—yang kata Pak Khoiri lintas profesi—bergelut dengan dunia tulisan.

Fakta tersebut nampaknya semakin membuat siapa saja yakin, jika menulis tidak memandang kasta, suku, atau darimana dan berasal dari siapa kita dilahirkan. Keturunan darah biru atau darah putih nampaknya hanya menjadi penghias, bukan modal. Karena menulis tidak membutuhkan itu.

Saya termasuk salah seorang yang menjadi lintas profesi, dari mahasiswa-pekerja menjadi seorang pendidik-guru. Lika-liku perjalanan yang akhirnya menjadi pendidik di sekolah menengah pertama—dan itu belumlah final, menurut saya, hehe—membuat saya berpikir untuk sedikit membagi kisahnya.
Pengalaman selama menjadi mahasiswa-pekerja. Suka dukanya menjadi anak kost atau bagaimana rasanya ketika diterpa hujan maupun diterjang panas kala perjalanan dari kos-kosan menuju Graha Pena,tak lain merupakan inspirasi menulis yang memang Allah limpahkan ayat-ayat iqra’nya. Tinggal bagaimana kita menjaring dan mengejawantahkan dan menuangkannya dalam lekuk-lekuk tulisan yang indah dan bermakna.

Pertanyaannya sekarang, bisakah diri ini istiqomah menjalankan itu semua. Bisa, insya Allah bisa! Dengan memenej kembali waktu, dari membuka mata sampai menutup mata kembali, pasti ada yang ‘tersangkut’ dalam ‘jaring’ memori dan ‘tertuang’ dalam ‘kaleng’ keyboard.

Jika seperti itu, selayaknya kita memekikkan kata merdeka dengan antusias, ketika nanti ada karya kita yang terbit. Dibaca khalayak, dan menjadi prasasti untuk anak cucu. Bismillah.(*)


Perpus Musasi, 150816
Terjerembab Inspirasi_


9 July 2016

Balada Sandal Gunung

Sandal Gunung? Sejak kapan jadi trensetter? Ternyata membeli sandal gunung ada syarat dan ketentuan yang berlaku, seperti apa?

Khususnya saya, mengenal sandal gunung ketika menginjakkan kaki di "rimba" Graha Pena. Delapan tahun lalu, ketika dinyatakan diterima menjadi garda terdepan keamanan gedung 21 lantai itu. Mas Gondho, menjadi sosok teman kerja yang bisa dibilang stylist (baca: gaul).  Cara berpakaiannya yang kasual meskipun menjadi staf keamanan, seolah menyiratkan pesan: tunjukkan otakmu dalam bekerja. Penampilannya yang khas adalah kaos oblong, celana 3/4, tas selempang dan sandal gunung.

Sandal gunungnya itu, yang usut punya usut ternyata ber-merk Eig*r.

Sandal yang pabrikannya di Bandung itu dalam pandangan saya yang dulu masih berlum berkarya adalah 'sosok' yang amat mahal. Susah dijangkau. Namun, ketika sudah punya rekening dan tiap bulan mendapatkan angka di saldonya, pandangan tersebut lama kelamaan berubah.

Akhirnya sejarah pun tercipta. Sandal gunung pertama akhirnya terbeli. Sandal yang cukup nyaman itu akhirnya saya pakai berangkat dan pulang kerja. Satu set dengan sarung sandalnya yang berupa jaring-jaring yang berbentuk seperti tas cangklong. Pembelian yang pertama itu ternyata tak berlangsung lama.

Hanya beberapa bulan. Rekor baru memiliki sandal yang biasanya bertahan sampai satu tahun dengan raihan berkurangnya sol dan usangnya warna sandal, kini berganti dengan raibnya sandal.

Sandal Eig*r ternyata diminati banyak kalangan. Termasuk para pencuri yang menyambi menjadi jamaah masjid. Kehilangan sandal pertama, tempatnya di masjid An-Nur-Sidoarjo. Sedikit menyesal dengan gumaman dalam hati: koq teganya. Apalagi dengan wajah melas, menaiki motor tanpa alas kaki, hiks..

Pengalaman kehilangan barang membuat saya menjadi ekstra waspada. Apalagi dalam lingkungan kerja yang dulu dituntut untuk selalu siap dalam setiap keadaan. Kehilangan tidak lantas membuat saya kapok untuk bersentuhan lagi dengan sandal gunung. Saya beranikan untuk membeli sandal Eig*r lagi. Tetap mengingat pepatah: pengalaman adalah guru yang terbaik.

Saya tetap konsis dengan model sandal jepit, Warna hitam legam. Untuk nomor sandal masih setia dengan 43. Tidak ada lagi sandal yang ditaruh di pelataran. Harus diletakkan entah itu dalam lemari sandal atau loker. Tapi tetap saja, mata pencuri bisa tembus pandang. Lho?

Masih teringat jelas, ketika subuh berangkat ke masjid Al Millah-Pondok Jati untuk ikut shalat berjamaah dan pengajian salah satu ustadz disana. Sandal sudah dirasa aman karena sudah masuk loker. Meskipun lokernya tidak terkunci, tapi khusnudzan lebih banyak dari prasangka buruk. "Apalagi ini di masjid," begitu kata saya dalam hati, meski sebelumnya juga pernah kehilangan.

Tanpa dinyana, ketika hendak pulang dan mengambil sandal. Barang yang dimaksud sudah tidak ada di tempat. Kehilangan yang kedua, mengulang kembali sejarah. Hiks..

Ketika saya membeli (lagi) sandal di konter Eig*r lantai dua pusat perbelanjaan di kota udang. Salah seorang penjaga konternya bertanya,

"sandalnya hilang, ya mas?"

"Lho, koq tahu?"

"Iya, mas, soalnya kebanyakan yang beli kembali kesini karena sandalnya hilang."

Weleh..weleh..

Saya tidak mau berandai-andai, mau hilang (lagi) atau tidak saya pasrahkan pada Allah. "Semoga nggak hilang lagi, mas," ucap saya pada penjaga konter di pembayaran.

Takdir Allah yang menghendaki. Tepat di bulan ramadan lalu, lagi-lagi ketika kaki melangkah ke sebuah tempat yang bisa dikatakan nol dosa: masjid. Namun, kali ini bukan karena kehilangan, tapi tertukar.

Sandal saya yang berukuran nomor 43 tertukar dengan nomor 40. Bayangkan, bagaimana kaki gajah harus beradaptasi dengan kaki jerapah? hehe..Saya beberapa hari kembali ke masjid tersebut dan menempatkan alas kaki yang sebenarnya bukan hak saya itu, tapi hasilnya lagi-lagi, nihil.

Inilah asam garam memiliki sandal gunung merk Eig*r. Saya tak pernah menyangka bila harus menelan pil pahit kehilangan dan tertukar yang semuanya itu berada ketika di masjid, Saya jadi merenung, apa karena ini balasan dari Allah, karena dulu saya sempat jadi re-seller sandal kw??

Bulusidokare, 4 Syawal 1437H

foto pinterest





30 June 2016

Motto Hidup

Hidup itu harus ber-motto. Apa motto hidupmu?

Sebenarnya bukan karena ingin menjadi motivator dalam tulisan ini. Tapi, pada saat mengisi kajian Darul Arqam di SMP Muhammadiyah 4 Porong, ada salah satu peserta yang nyeletuk, "Pak, motto hidupnya apa?" Itu ditanyakannya ketika saya baru saja menyampaikan profil diri.

Segera saja saya jawab sekenanya, "Fastabiqul khairat!"

Hehe..

Fastabiqul khairat adalah berlomba dalam kebaikan. Slogan yang kerap dijadikan tagline di gerakan ortom-ortom Muhammadiyah terutama di Pemuda Muhammadiyah dan di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Terkait slogan itu saya jadi teringat nasehat dari Dr. Hidayatullah ketika dulu masih menjadi kepala SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo (SMAMDA). Menurut Pak Dayat, berfastabiqul khairat berarti berlomba melakukan kebaikan yang terbaik.

Analoginya, kita berlomba dalam melakukan kebaikan yang terbaik, terus-menerus, dan menjadi yang pertama dalam melakukan kebaikan. Berfastabiqul khairat berarti kebaikan harus sama-sama ditampilkan. Sepak bola yang baik dan indah adalah ketika kedua tim sama-sama menampilkan permainan yang terbaik.

Kebaikan harus dilakukan terus menerus. Prinsip kontinuitas harus menjadi landasan agar semangat dalam berbuat kebaikan tidak patah di tengah jalan. Mutungan. Jika kebaikan sudah menjadi habit bagi dirinya, maka ketika seseorang itu tidak melakukan kebaikan sedikit saja dalam sehari maka terasa ada yang kurang dalam hidupnya.

Ketiga, ketika berfastabiqul khairat adalah melakukan kebaikan yang pertama. Jika sudah melakukan kebaikan yang terbaik, terus-menerus, maka kebaikan yang menjadi pamungkas dan mempunyai maqam tertinggi adalah kebaikan yang dilakukan pertama kali.

Ketika yang lain masih belum menyentuh kebaikan di suatu daerah, maka kita diwajibkan untuk mempeloporinya. Ketika di dalam suatu lingkungan masih belum ada pencerahan, maka kita dituntut untuk mengawalinya. Maka tak salah, ortom-ortom yang ada di Muhammadiyah menjadikan fastabiqul khairat menjadi slogan dalam pergerakannya. Menjadi pelanjut, pelangsung, dan penyempurna dalam gerakan yang didirikan KH. Ahmad Dahlan tersebut.

Menariknya, lanjut Pak Dayat, ketika slogan fastabiqul khairat itu ternyata menjadi tagline dan tertanam di alam bawah sadar para siswa yang ada di Korea Selatan. Menurut rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) itu, semangat fastabiqul khairat sudah menjalar layaknya spirit membangun yang ada di negeri ginseng itu. Mereka berlomba menjadi yang pertama. Lihatlah slogan para pelajar dari negeri Gangnam Style itu:

"Ketika yang lain masih tidur, aku sudah bangun.   Ketika yang lain sudah bangun, aku sudah berjalan.   Ketika yang lain sudah berjalan, aku sudah berlari.   Dan ketika yang lain sudah berlari, aku sudah terbang."

Mereka rupanya sudah menerapkan terlebih dahulu yang ada dalam Al Quran, Ketika kita sebagai umat muslim terbesar, yang seperti dikutip Dr. Zakir Naik dalam ceramahnya kita menjadi bangsa mulim terbesar dengan populasi 200 juta jiwa, namun harus kita sadari kita masih dalam tataran wacana. Kita masih bangga dengan keadaan muslim yang kita punya sejak lahir.

Dr. Saad Ibrahim, ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur pernah mengatakan jika Lee Kuan Yew, perdana menteri Singapura pertama yang menjadi ikon pembangunan negeri jiran itu juga menerapkan semangat yang ada dalam Al Quran untuk membenahi wajah Negeri Singa. Singapura yang pada awalnya adalah negara yang juga terseok-seok. Banyak kemiskinan dan negaranya masih belum tertata dengan baik. Namun, Lee Kuan Yew tidak berputus asa. Dia memimpikan negerinya menjadi negeri yang seperti digambarkan dalam Al Quran. Dalam visinya lebih lanjut, dia gambarkan negeri itu dalam bentuk prangko dan dibagikan ke seluruh negeri untuk memotivasi seluruh penduduk negerinya agar tidak menyerah dengan keadaan. Dan kita bisa lihat hasilnya sekarang.

Apa mungkin orang-orang Korea dan Singapura itu terilhami Al Quran? Atau jangan-jangan kita yang hanya terlena dengan sekedar membaca kitab suci kita sendiri? Sudah sampaikah kita pada tataran men-tadabbur/mengkaji kemudian mengimplementasikan pesan-pesan kauniyah dan kauliyah yang ada dalam firmanNya? Hanya kita yang bisa merabanya. Wallahu a'lam.

Jasem, 25 Ramadan 1437 H

gambar: https://lehmansbaseball.files.wordpress.com

25 June 2016

Catatan Lomba Perpustakaan 2016

Ramadhan tahun ini menjadi kado termanis untuk SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo (Musasi). Betapa tidak, perjuangan beberapa bulan untuk persiapan mengikuti lomba perpustakaan tingkat kabupaten berakhir happy ending.

Setelah lolos dalam proses verifikasi data dan survei tempat, Perpus Musasi akhirnya masuk lima besar. Dalam sesi presentasi yang bertempat di lantai dua Aula Perpustakaan Daerah (Perpusda) Kabupaten Sidoarjo (21/6), tim perpus Musasi mendapatkan nomor urutan keempat.

Tim perpus Musasi yang terdiri dari ketua Navy Armanda J, S.Pd., Pelayanan Teknis Kholifa Nurdiana, Pelayanan Pengguna Darul Setiawan, S.Pd., Waka Sarpras Edy Prawoto, S.Ag., dan Anggota Sarpras Cahyo Heriadi, ST., itu banyak belajar dari penampilan sekolah yang terlebih dahulu melakukan presentasi. Dari lima kontestan yang masuk lima besar hanya dua sekolah swasta dan sisanya diisi sekolah negeri.

SMPN 1 Jabon dan SMPN 2 Krembung yang terlebih dahulu tampil menjadi bahan evaluasi singkat tim perpus Musasi sebelum dapat giliran presentasi. Termasuk juga penampilan SMPN 6 Sidoarjo yang membuat para peserta lain menjadi terpukau. Sedikit informasi, presentasi tim SMPN 6 Sidoarjo menjadikan banyak catatan dan pembelajaran untuk tim Perpus Musasi.

Tibalah giliran tim Perpus Musasi tampil. Koordinator presentasi tim Perpus Musasi Darul Setiawan, S.Pd yang menggantikan ketua perpustakaan yang berhalangan hadir, didaulat untuk memaparkan profil dan program Perpus Musasi. Tak ketinggalan yang tampil di depan ada Edy Prawoto, S.Ag., Kholifah Nurdiana, dan Dra. Eny Sulistyowati. Nama terakhir adalah Waka Kesiswaan Musasi yang turut hadir beserta Ka. Lab Musasi Ratna Puspitasari, M.Pfis., dan Kepala Sekolah Drs. Aunur Rofiq, M.Si., yang turut menjadi penyemangat tim.

Masing-masing tim diberi waktu 30 menit yang terdiri atas 15 menit presentasi dan sisanya tanya jawab dari dewan juri. Alokasi tersebut dimanfaatkan baik untuk menyampaikan visi-misi, koleksi, anggaran, perangkat lunak dan beberapa program-kegiatan yang telah atau akan dilaksanakan tim perpus Musasi.

Usai presentasi, giliran pertanyaan diajukan tiga dewan juri. Dewan juri pertama menanyakan tentang anggaran perpus Musasi dalam Rencana Anggaran Belanja Sekolah (RABS). Pertanyaan yang kemudian dijawab Edy Prawoto, S.Ag., jika anggaran Perpus Musasi dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang cukup signifikan seperti yang ditayangkan dalam slide presentasi.

Dalam tiga tahun terakhir, anggaran Perpustakaan mengalami kenaikan dari angka 3,6% ke 7,1%. Jawaban dari Pak Edy tersebut nampaknya sudah sesuai dengan peraturan yang mengharuskan anggaran perpustakaan di sebuah sekolah minimal 5% dari total keseluruhan pembelanjaan.

Pertanyaan selanjutnya yang dilayangkan juri kedua mengenai program perangkat lunak yang dijalankan Perpus Musasi. Darul Setiawan, S.Pd., sebagai koordinator menyatakan jika program "Si Pinter" merupakan program sirkulasi dan pengolahan perpustakaan. Guru Penjasorkes tersebut juga menyatakan jika program yang digunakan Perpus Musasi tidak lain merupakan perangkat lunak yang terintegrasi dengan PT. Daya Matahari Utama (DMU). PT DMU adalah amal usaha Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur .

Juri ketiga lebih banyak menanyakan salah satu program yang akan dijalankan Perpus Musasi yakni Klub Suka Baca dan Cinta Buku (KSBCB). "Apa keluaran yang diinginkan dari program KSBCB tersebut?" tanya juri ketiga Bu Mus pada tim Perpus Musasi.

Pertanyaan juri ketiga sejatinya ingin memotivasi tim perpus Musasi agar menjadikan output program yang akan dijalankan tersebut dengan membentuk Duta Perpustakaan. Sebagai ajang promosi, duta perpustakaan yang terbentuk tersebut nantinya sebagai penyampai pesan dan mengajak siswa yang lain untuk beramai-ramai datang ke Perpustakaan.

Ada yang menarik ketika juri ketiga bertanya pada Kepala Sekolah Musasi Drs. Aunur Rofiq., tentang bagaimana dukungan kepala sekolah terhadap program pengembangan Perpustakaan. Pak Rofiq yang didaulat untuk maju ke depan memberikan penjelasan jika dukungan sekolah terhadap anggaran dan program pengembangan adalah mutlak untuk perpustakaan sekolah. Menurutnya, perpustakaan merupakan jantung dari proses pembelajaran yang ada di sekolah

Usai seluruh peserta memaparkan hasil presentasinya, dilanjutkan penutupan oleh kepala Perpustakaan Daerah (Perpusda) Kabupaten Sidoarjo, Drs. Sutjipto, MM. Pesan Pak Cip kepada seluruh finalis agar menyamakan visi dan misi program Perpustakaan dengan garis-garis yang sudah ditetapkan dalam buku Bimtek Perpustakaan. Pemberian dua eksemplar buku Bimtek Perpustakaan kepada masing-masing sekolah mengakhiri jalannya fase presentasi.

Tiga hari setelah presentasi, atau kemarin Jumat (24/6) pemenang lomba akhirnya diumumkan. Melalui rilis di website resminya (http://perpus-arsip.sidoarjokab.go.id/), Perpustakaan SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo dinyatakan juara dua (lihat gambar). Penyerahan piagam penghargaan dan piala akan diberikan langsung Bapak Bupati Sidoarjo Saiful Illah pada September mendatang. (roelsebloe).


22 June 2016

Menggores Pena untuk Kisah Ibu

Ketika jauh dari Ibu, tetiba teringat sosok dan perjuangannya. Simak kisah Ibuku yang terangkum dalam sebuah biografi.

https://drive.google.com/file/d/0B6tVvL_cAftRTHRKbnhEMVVQcjA/view?usp=sharing

Ilustrasi Gambar dari Buku Parenting Guide

27 January 2016

Merevolusi Mental Struktural

Pagi tadi ketika berniat berangkat ke SMAN 1 Sidoarjo. Ketika sampai di perempatan alun-alun terlihat sebuah spanduk bertengger di dedahanan pohon. Tulisan yang tertera di spanduk itu yang membuat tertarik. Kurang lebih bunyinya: “Mari Sukseskan Pelaksanaan Revolusi Mental!” Tidak ada yang salah sebenarnya dari kalimat tersebut. Tidak pula ada yang aneh,meski virus narsis masih menggelayut dalam mindset para pemegang kebijakan di kabupaten tercinta kita ini. Buktinya, foto mereka selalu saja menyertai dalam setiap ucapan, promosi wisata, ataupun dalam bentuk info dan pengumuman lainnya. Tidakkah cukup, foto mereka tersebar begitu merata dari pendopo delta wibawa hingga pelosok desa-desa?

Menarik ketika mengaitkan mental dan mentalitas. Dimana setiap kebijakan yang ditelorkan tidak lain adalah sebuah ajakan untuk merevolusi mental. Entah, yang dinamakan revolusi mental itu juga masih absurd. Se-absurd  tujuan dan makna dari revolusi mental itu sendiri. Rakyat nampaknya hanya diberikan jargon dan pepesan kosong belaka.

Buktinya, ketika kebijakan yang digedok oleh para pemangku kebijakan di kabupaten kita tercinta ini bertabrakan dengan gaung yang mereka sampaikan sendiri. Revolusi mental tidak akan pernah bisa berjalan, ketika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan malah mendukung untuk mereduksi mental. Mengokohkan mentalitas terjajah, memupuk dan menyemainya di bumi jenggala.

Kita tidak habis pikir, ketika suatu kebijakan yang banyak ditolak oleh khalayak malah dipertahankan. Parkir berlangganan adalah yang pertama. Bagaimana para pemilik kendaraan,mau tidak mau, harus rela merogoh koceknya untuk mengikuti parkir berlangganan. Jika tidak mau, konsekuensinya kadang berliku. Ada mekanisme birokrasi yang tidak mudah untuk ditembus. Bisa dibayangkan, ketika pemilik kendaraan harus ‘bermain perasaan’ dengan juru parkir. Bersikap tega-tegaan hanya karena uang dua ribu perak. Pertanyaannya kemudian, untuk apa kita membayar parkir berlangganan itu? Melihat para jukir itu menunggu agar segera diberi ceperan, sungguh membuat hati ini miris. Bukankah mereka sudah dibayar oleh Pemkab?  Saya tidak tega untuk menyebut perilaku seperti itu karena saking lamanya kita terjajah Belanda. Penyemainyatak tak lain adalah mereka sendiri sebagai pembuat kebijakan dan penelor undang-undang.

Jika pemimpin yang tidak bisa mengayomi rakyat, jangan salahkan pemimpinnya, tapi salahkan rakyatnya. Lho koq bisa? Logikanya, ketika pemimpin yang dipilih itu tidak sesuai dengan keinginan, berarti proses seleksi yang dilakukan sangat rendah. Bisa jadi, rakyat kita tidak mampu untuk memilih pemimpin. Tengok saja, ketika rakyat menolak untuk pengeboran Lapindo, petinggi kita yang baru terpilih malah memberikan izinnya. Mana yang dinamakan suara pemimpin suara rakyat? Bukankah itu bertentangan dengan rakyat. Jadi, mungkin kita kurang cerdas dalam memilih. Bisa jadi pula kita termasuk amnesia dalam memilih pemimpin. Entahlah sampai kapan revolusi mental tetap mengendap di sanubari impian.

Jasem, 270116



20 January 2016

Resolusi Sepenuh Hati

Entah, sejak kapan manusia membuat resolusi. Saya sendiri baru beberapa tahun ini tertarik meninta resolusi. Isinya, tentang beberapa item harapan yang ingin dicapai dalam rentang waktu satu tahun kedepan. Resolusi bisa diterjemahkan salah satu cara kita untuk mendesain mimpi. Melarikkan kuas cita-cita dalam harapan. Mengusahakannya dalam usaha dan doa. Betapa ‘gurihnya kue’ resolusi, atau barangkali kita menyamakan rasanya dengan resoles?..eh J

Barangkali resolusi bisa dibuat dengan matang-terencana ataupun bersifat insidental or dadakan. Saya biasanya memadukan keduanya. Saya buat konsep resolusi dari mimpi-mimpi yang bergelayut di udara fantasi kepala kedalam ejawantah kertas putih, yakni catatan. Hehe..

Nah, dalam buku catatan itu biasanya masih reng-rengan (garis besar dan kasar), sehingga perlu tafsiran agar dapat menjadi gambaran yang SMART. Apa itu SMART? Panganan apa lagi itu, ups..

Saya tidak dapat menyembunyikan rasa syukur, ketika ilmu SMART itu saya dapat ketika bersilaturahim dalam acara Musycab Pemuda Muhammadiyah Tanggulangin di Rumah Makan CSDW Kalipecabean-Candi. Pak Nashir, yang menjadi Ketua PCM Tanggulangin yang juga guru itu membagi hikmah ketika didapuk memberikan sambutan. Di sela-sela ‘tausyiyahnya’, Bapak yang juga menjadi sekretaris Majelis Dikdasmen PDM Sidoarjo itu menyampaikan tentang SMART. Yang tidak lain merupakan akronim dari Specific (jelas), Measurable (terukur), Achievable (dapat dicapai), Realistic (sesuai kondisi), dan Time Bound (batas waktu).

Artinya, apapun resolusi yang akan kita buat setidak-tidaknya harus jelas, terukur, dapat tercapai, realistis dengan keadaaan kita, dan tenggat waktunya jelas. Contohnya, kita buat resolusi menikah untuk tahun 2016 ini..*cieee.

Nah, Jika hanya menikah yang kita tulis dalam catatan resolusi tanpa ada item SMART di dalamnya, maka akan menjadi abu-abu dan geje, ga jelas! Maka agar menjadikannya sesuatu yang terang benderang seperti warung nasi Padang (lho!), maka resolusi menikah harus menyertakan aspek spesific, jelas, dengan siapa kita akan menikah.

Pertama, patinya dengan wanita. Wanita yang bagaimana, tentu wanita yang muslimah, yang baik agamanya. Kedua, terukur. Tahun 2016 kita akan menikah. Berusaha berikhtiar dan memperbaiki diri, kalo bisa sebelum ramadhan tiba sudah ada bidadari yang menemani kita baik ketika santap sahur maupun saat berbuka tiba.

Apakah relevan, insya Allah. Dengan terus memperbaiki diri, dan berkomunitas pada majelis-majelis quran, dan sering mendekatkan diri pada Allah, maka Dia kan perkenankan untuk kita jodoh yang baik.

Berbatas waktu, sebelum ramadhan tiba adalah tenggat waktunya. Itu mungkin kurang lebih yang dinamakan dengan resolusi SMART. Tentu, segala ikhtiar kita tidak akan tercapai tanpa pertolongan dan andil besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, kekuatan manusia hanya ‘terbatas’ pada berencana, mengupayakan dengan segenap tenaga dan upaya, serta doa yang tiada pernah putusnya. Sehingga, ketika rencana dan resolusi itu belum menampakkan hasilnya, kita tetap berprasangka  baik kepada Allah. Karena Allah lebih mengetahui apa-apa yang ghaib. Wallahu a’lam bisshawab.


Well, apapun itu, resolusi membuat mimpi dan cita-cita kita semakin terarah. Membuat kita semakin terpacu untuk berikhiar dengan segala potensi dan karunia yang telah diberikan Allah Azza wa Jalla. Dan menjadikan kita menjadi hamba-hamba Allah yang bersikap optimis, bersungguh-sungguh, serta berjuang dalam ghirah Islam yang membumbung tinggi.