Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

26 June 2015

Ramadhan Terakhir

Aku melihatmu di sana, di balkon lantai tiga
Engkau berdiri gagah, memandang surya yang kelam
Angin semilir, menerpa tubuhmu yang kurus dan tua. Laksana pohon palem di taman kota
Pandanganmu yang tajam, tak ada yang kau cemaskan
Tidak debu-debu kristal yang menggumpal
Tidak pula sampah-sampah yang berserakan.
Aku melihatmu dipeluk anak-anak dan perempuan
Untuk merekalah kau tambatkan harapan
Untuk merekalah kau sematkan tujuan
Dan kepada merekalah engkau pulang, berbagi tawa dan senyuman
Bulan demi bulan..dari Ramadhan ke Ramadhan
Aku tidak tahu, di mana berakhirnya jalan
Begitu pula denganmu
Bagimu, tak ada lagi Ramadhan. Dan ini, adalah Ramadhan terakhirmu..
Sekuntum kamboja, jatuh berduka….
[ untuk I ]

*Goresan puisi karya Pak Edy Prawoto. Mengenang Pak Ilyas, Pak Bon yang dipanggil ke Rahmatullah pada Kamis, 25 Juni 2015 pukul 11.00 WIB.

sumber:https://boaskapitannabu.files.wordpress.com/

24 June 2015

Filosofi Pak Bon

Jaman putih biru, jika ada sosok yang menjadi penjaga sekolah maka kita memanggilnya dengan sebutan Pak Bon. Saya mengenal kosakata tersebut memang pas jaman puber. Maklum, ketika berseragam putih merah alias saat duduk di bangku sekolah dasar, kosakata Pak Bon belum terdengar. Penjaga sekolah pada saat itu kami panggil dengan nama sebutannya yang dibumbui dengan kata “cak”. Entah siapa nama sebenarnya dari Pak Bon kami saat SD dulu. Kami lebih akrab menyapanya dengan panggilan Cak Gandu.

Kembali ke jaman putih biru, dimana banyak haru biru yang mewarnai pada zaman itu. Saya mengenal beberapa nama Pak Bon, mengenalnya juga bukan dari perkenalan formal, tapi dari ikutan teman-teman. Saya lebih mengenal nama mereka (Pak Bon), karena salah satunya sama persis dengan nama Bapak saya. Pas jaman SMP dulu, kenakalan remaja dengan memanggil nama Bapak dan menjadi ejekan memang lagi gencar-gencarnya (entah sekarang). Meskipun begitu, tetap saja nama Bapak saya terungkap dan diketahui teman-teman. Entah siapa yang membocorkannya, padahal dulu belum ada fesbuk, twitter atau instagtram. Kalaupun ada, tentu saya tidak memajang nama Bapak saya disana, hehe..

Begitu pula saat kita hijrah ke SMA. Di SMANOR, saya mengenal nama mbah Baran. Beliau termasuk dekat dengan kami, para siswa multitalenta. Multitalenta? Iya, karena ketika pagi, kami sama dengan yang lainnya. Berangkat sekolah, memakai seragam layaknya siswa-siswa sekolah lain. Pelajaran pun setali tiga uang. Guru-gurunya saja mungkin yang agak tidak mainstream. Kami bersyukur bertemu dengan guru-guru luar biasa. Baik dari keilmuan maupun tingkah dan sikapnya. Bisa dikatakan, kami mendapatkan keteladanan salah satunya dari contoh sikap dari guru-guru kami tersebut.

Karena kami semua berada di asrama, dan hanya diperkenankan pulang seminggu sekali, tidak lebih. Maka ikatan persaudaraan lebih erat terangkai. Meksipun pada saat itu ada strata junior-senior, yang terkadang melindas keadilan, namun itu semua bermuara pada pembelajaran sikap kami pada sikap menghormati orang yang lebih tua. Suatu budaya ketimuran yang wajib kita junjung tinggi. Pak Baran, yang usianya kala itu sudah menua, menjadi jujugan kami untuk sebagai moodbooster,istilah peningkat mood, karena dari tutur beliau keluarlah nasehat-nasehat bijak. Kadang pula muncul kata motivasi yang tak terduga. Dan hal tersebut setidaknya memberikan sumbangsih pada kami untuk lebih semangat berlatih dan meraih prestasi.

Lepas SMA dan bekerja di Graha Pena, lagi-lagi saya bertemu dengan Pak Bon. JIka di SMP dan SMA hanya mengenal satu, dua, hingga tiga Pak Bon. Maka di Graha Pena, Pak Bon ada lima jumlahnya. Karena di Graha Pena ada bagian taman yang menjadi divisi tersendiri. Dan, pandangan saya terhadap Pak Bon tetaplah sama. Mereka yang sudah melewati banyak ujian hidup dan usianya sudah beranjak senja, itu yang saya sebut dengan Pak Bon. Bukan mereka yang memang ditugaskan mengurus taman, atau hanya sekedar menjalankan tugas, apalagi yang usianya sepantaran. Bisa dibilang, saya melihat filosofi yang ada dalam diri seorang Pak Bon. Ada hal menarik yang patut digali dari mereka. Salah satu yang sering saya minta pendapat dan bercerita lika-liku hidupnya adalah Suswoko. Teman-teman Graha Pena memanggilnya Pak Woko. Dari beliaulah saya banyak mengambil pesan-pesan moral dari perjalanan hidup yang sudah dilaluinya. Kegigihan dalam bertahan hidup menjadikan motor semangat buat saya yang saat itu juga nyambi bekerja dan kuliah.

Ketika menjadi mahasiswa dua kaki, antara ngampus dan ngantor, maka saat itu ada dua bagian yang mengisi aktivitas keseharian. Yang pertama atau bisa disebut dengan aktivitas utama adalah kuliah itu sendiri, saya menerapkan skala prioritas pada saat itu. Disaat yang sama , saya ingin menjaga sikap profesionalitas dalam bekerja. Jadi, meskipun ketika pagi saya di kampus, sore hari ketika sudah pulang dari kampus, saya langsung meluncur ke Graha Pena, bukan nyangkruk bersama teman-teman di warung kopi dekat kampus. Meskipun banyak yang bilang kurang membumi, setidaknya sudah ada bukti, jika pekerja dan mahasiswa lebih bisa lulus dulu daripada mereka yang ongkang-ongkang kaki di warug kopi, hehe..(just kid).

Hingga akhirnya, ketika saya terdampar di tempat saya mencurahkan segala potensi yang saya miliki: SMP Muhamamadiyah 1 Sidoarjo, saya pun kembali bertemu dengan mereka, barisan para Pak Bon. Tiga lantai yang menjulang di sekolah milik Persyarikatan Muhammadiyah itu, seluruhnya hanya diisi tiga Pak Bon. Jumlah yang tidak sebanding dengan luas bangunan itu sendiri.

Supardi, atau biasa dipanggil Pak Su, berada di lantai satu. Toni Kurniawan, atau Mas Boy, bercokol di lantai dua. Dan Pak Yas, nama panggilan dari Ilyas, Pak Bon paling senior diantara mereka. Ketiganya memliki kelebihan. Pak Su, orangnya rajin, selalu menjadi yang pertama menginjakkan kaki di sekolah. Pernah suatu hari, saya menyelesaikan penilaian hingga lembur sampai pagi. Dan saat itu jam dinding masih bergerak di angka tiga, tapi Pak Su sudah tiba, dan menggandeng sapu dan pel, dipagi yang dingin, dia sudah bergelut dengan peluh.

Di lantai dua dengan ukuran lahan lebih luas dari lantai satu dan dua, disanalah tempat Mas Boy, bergerak melakukan laku “ibadah” dengan menyapu lantai, mengepel, membersihkan kaca, dan lain-lainnya. Mas Boy, termasuk yang paling muda diantara para Pak Bon di Musasi. Meski demikian, dia tidak ingin tertinggal. Aktivitasnya bekerja juga disambi kuliah di jurusan yang sama dengan saya: olahraga. Tapi tempat ngampusnya di Malang, di IKIP Budi Utomo. Dia mengambil kelas ekstensi, kuliah Sabtu-Ahad. Pagi hari dia bersih-bersih, sore hari dia merangkap pelatih si kulit bundar di Sekolah Sepak Bola (SSB) di kota delta.

Dan yang terakhir adalah Pak Yas. Beliau merupakan Pak Bon paling senior. Bertengger di lantai tiga dengan beban pekerjaan yang bisa dikatakan tidak ringan dengan usia yang tidak lagi muda. Dia mempunyai Istri yang juga menjadi penjaga kantin Musasi. Tiga anaknya berada di AUM. Anak pertama mengikuti jejaknya di SD Muhammadiyah 2 Sidoarjo. Anak keduanya, menjadi penjaga keamanan di Musasi. Sementara yang terakhir baru kelas tiga SMP, sekolahnya juga di jalan KH. Samanhudi no. 81.

Beritakemarin agak mengagetkan kami. Pak Yas, tukang kebun sekolah yang tahun kemarin diangkat menjadi karyawan tetap sekolah, mengalami kecelakaan saat mengendarai motornya. “Keadaannya kritis, dan sampai sekarang belum sadar,” bunyi kalimat yang tertera pada pesan masuk itu kemarin. Kronologisnya, sore menjelang berbuka, Pak Yas berniat membeli bekal takjil untuk keluarga. Dengan kecepatan tinggi, saat mau mendahului mobil di depannya, dari arah berlawanan muncul Yamaha v-ixion, tabrakan pun tak dapat terelekkkan. Hingga tulisan ini diketik, beliau belum sadar. 
Ada pendarahan di otak, yang menyebabkannya koma. Saat menjenguknya bersama para guru dan karyawan Musasi tadi pagi, beliau masih dipasang selang oksigen. Keluarga dan kerabat banyak yang menungguinya. Kami berdoa semoga Pak Yas lekas siuman. Dan dapat berkarya kembali di SMP Musasi. Aamiin.

Sekelumit tulisan tentang Pak Bon,
Gedang 240515
Menunggu Beduk Maghrib. 

foto http://www.jawapos.com/ abdulsyukur (tukang becak dan penambal jalan)



14 June 2015

Bertekuk Lutut di Kaki Tata Bahasa

Banyak murid memiliki potensi menulis, tapi masih belum diberdayakan. Guna menghidupkan semangat menulis, yang pertama dan utama harus diajarkan tak lain pengalaman dan praktik menulis. Bukan menjejalkan teori menulis. Pembelajaran menulis merupakan penghargaan terhadap pikiran bebas. Bahasa dimanfaatkan buat mengungkapkan pikiran bebas itu. Guru berperan sebagai fasilitator atau pelatih, bukan wasit otoriter.

Supaya bisa menulis, gagasan harus dicari dan digali. Ide inilah yang mesti dituangkan dalam bentuk tulisan. Misalnya, ide perihal booming batu akik di seluruh penjuru negeri. Setelah ide ditemukan, tahap berikutnya menentukan “angle” atau sudut pandang yang akan digunakan sebagai panduan menulis. Angle merupakan sisi tulisan yang hendak dipilih.

Angle dipilih yang paling menarik, penting dan relevan. Agar tajam, angle dirumuskan dalam kalimat tanya. Misalnya: mengapa tiba-tiba masyarakat gandrung batu mulia? Angle bisa digali dengan 5W+1H: what, who, when, where, why, dan how.

Variasi angle bergantung rasa ingin tahu kreativitas penulis. Setelah angle ditetapkan, giliran mencari bahan tulisan. Caranya: riset pustaka, wawancara sumber, dan reportase suasana. Tulisan yang bagus berangkat dari penggalian bahan yang bagus. Good input, good output.

Sesudah bahan tersedia, outline atau kerangka tulisan bisa mulai digarap. Rencanakan alinea demi alinea yang akan ditulis. Satu alinea satu pokok pikiran. Jangan berjejalan banyak pokok pikiran dalam satu alinea. Setiap alinea terdiri atas satu kalimat utama (main sentence) yang diikuti dengan beberapa kalimat pendukung (support sentence).

Outline tulisan terdiri atas lead, bridging, badan tulisan, dan penutup. Lead itu pembuka tulisan yang menarik, simple, tidak direcoki data, dan angka. Lead bertugas memikat pembaca.

Bridging itu jembatan menuju badan tulisan. Biasanya berisi penjabaran lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dalam lead. Bridging juga  memasukkan konteks persoalan, yakni penjelasan kenapa topik tulisan yang diangkat penting untuk dibaca.

Badan tulisan adalah tempat penulis menjabarkan argumen, data, hasil, riset, dan observasi yang telah dikumpulkan. Penutup bisa berupa kesimpulan, renungan, saran, solusi, gugatan, atau sekadar pertanyaan yang menggantung.

Sikap dan pendapat subjektif penulis harus muncul bila tulisan berbentuk esai. Bukan sekadar rangkaian kutipan teori dan pendapat ahli. Ramuan esai: observasi yang jeli dibingkai pemahaman teori yang memadai.

Guru tidak akan bisa membuat muridnya gemar menulis bila dia tidak menghidupi semangat menulis.
 

Disadur dari J. Sumardianta, Jawa Pos (Ahad, 7 Juni 2015) 

2 June 2015

Surga Neraka ada di Fesbuk

Suatu hari seorang murid kelas 8 bertanya: “Pak, kenapa postingan fesbuk Bapak isinya koq selalu tentang agama?” Dia kemudian melanjutkan dengan memberikan perbandingan jika postingan salah satu guru lain lebih banyak bercerita tentang asmara dan cinta. Awalnya saya kaget mendengar pertanyaan dari murid yang memang keingintahuannya cukup tinggi itu. “Nanti setelah jam istirahat kedua (ba’da salat dhuhur), insya Allah saya jawab ya..”pesan saya padanya.

Pertanyaan yang singkat namun membuat saya kaget dan heran. Kaget karena saya tidak menyangka jika akan ditanya pertanyaan seperti itu. Heran. Emang ada yang salah dengan potongan rambut saya? Apa karena pendidikan jasmani sehingga postingannya hanya berkisar dunia jasmani, sehingga tidak boleh membahas agama? Wah, jangan-jangan ini karena Mustafa Kemal Attaturk yang memisahkan ilmu dunia dan ruhiyah? Pembahasannya bisa berjilid-jilid ini nanti.

Yang jelas, ada prinsip dasar yang saya pegang. Dimanapun kita berpijak, sebarkan kebaikan. Karena suatu kebaikan yang disebarkan, dan orang lain terinspirasi sehingga mengerjakan kebaikan itu, maka disanalah ladang pahala bagi kita. Begitupun sebaliknya.

Jadi, simple saja. Ketika kita bergelut dalam bidang apapun dalam ranah apapun. Kebaikan itu bisa ditularkan. Saya mengenal Mas Yanuardi Syukur, dan saya beruntung dapat membaca cerita inspirasinya dalam bukunya “Facebook Sebelah Surga Sebelah Neraka (FS3N)”. Dari buku yang saya baca pada saat awal fesbuk booming pada tahun 2009, menjadikan saya punya pijakan: fesbuk adalah ladang amal.

Sehingga mulai dari tahun 2009 hingga kini, postingan alhamdulillah ada nafas dakwah. Meskipun diri ini tidak mengikrarkan sebagai pendakwah. Hal itu seolah menjadikan pegangan, jika ada pesan dari nabi kita tercinta “Sampaikanah Walau Hanya Satu Ayat”.

Perjalanan panjang dari sebagai karyawan, mahasiswa, dan kini pengajar memberi banyak warna pengalaman dalam rangkaian perjuangan. Buku FS3N, yang kebetulan (sebenarnya telah Allah gariskan) dibeli misanan dari obralan buku di Ramayana rupanya meneguhkan sikap hidup agar terus beramal dalam kebaikan. Berlomba-lomba dalam Kebaikan, Fastabiqul Khairat!

Peristiwa beberapa hari lalu membuat saya merenung. Ternyata apa yang kita tulis akan dibaca oleh banyak orang, termasuk murid kita. Jadi sungguh berbahaya ketika sebuah tulisan, lebih-lebih yang ditulis pendidik, tidak memberikan ruh kebaikan dan menggerakkan, namun hanya tempelan hiasan. Masihkah ada waktu bagi kita mengisi hati mereka dengan nafas agama?

INSIPIRASI: Karya Yanuardi Syukur

Resensi bukunya ditunggu ya..^^
























sumber: http://4.bp.blogspot.com/