Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

23 June 2014

Tuntutlah Ilmu Sampai ke Jalan Bengawan

Pukul 13.30 dari rumah singgah (kos) Abah Kajat Lidah Wetan, motor keluaran tahun 2001 pabrikan negeri sakura ku keluarkan, nyetater dan berangkat dengan iringan bacaan basmalah.

Diniati dalam hati untuk ber-thalibul ilmi alias menunut ilmu, berangkatlah aku bersama misi dan visi yang menjulang tinggi.

Jalan Bengawan tujuanku, dekat Darmokali dari Joyoboyo lurus ke utara hingga ke Jalan Darmo, putar balik di Taman Bungkul kemudian lurus ke timur dan belok kiri sedikit, disitulah Jalan Bengawan, markas Bina Qolam, tempat dimana pelatihan yang berbingkai Madrasah Kreativitas Muslim diselenggarakan.

Sampailah jua akhirnya, meski sebelumnya sempet muter-muter bukan karena kesasar, tapi karena mencari tempat pengisian logistik yang ‘aman’, hehe..

Pukul tiga kurang seperempat tepat, roda duaku akhirnya masuk ke ke pelataran rumah no. 2A tempat dimana acara dihelat. Nampaknya masih sangat sepi dan belum banyak peserta yang datang. Dan ternyata benar, hanya aku seorang yang datang lebih awal, di dalam hanya ada tiga panitia acara dan dua orang pengurus yayasan penyelenggara acara.

Selanjutnya menuju musala agar salat Asar-nya tak ketinggalan dan tak menjadi tanggungan. Dan ketika melihat tempat wudlu yang baru dipermak dan musala-nya yang menempati sebuah ruangan, dapat disimpulkan rumah tersebut baru dibeli dan direnovasi.

Hampir pukul setengah empat ketika acara akan segera dibuka, mulailah satu persatu peserta berdatangan. Cholis Akbar sebagai pemateri dalam acara yang bertajuk Pengenalan Dasar-dasar Jurnalistik itu.
Redaktur majalah Hidayatullah yang sekaligus menjadi pengelola web Hidayatullah.com itu menyampaikan materi slide demi slide via powerpoint.

Dalam slide pembukanya, beliau memperlihatkan peta kepemilikan media di Indonesia yang 90 persen dimiliki oleh media non-Islam. Sisanya yang hanya kurang dari 10% dimiliki umat Islam, itupun tidak begitu laku di masyarakat. Selain memperlihatkan fakta-fakta tentang perkembangan media, mulai dari kepentingan, tujuan dan kekuatan dari media itu sendiri, yang sedikit banyak diantaranya adalah untuk menciptakan opini publik (public opinion), melahirkan efek dramatis, efek kognitif (tahu), afektif (sadar), dan konatif (berbuat). Pria yang sudah 15 tahun bergelut menjadi wartawan itu juga menyampaikan kekuatan dari media yang lainnya berupa melahirkan ideologi dan nilai, politik imagery dan framing (pembingkaian), serta melahirkan yang namanya worldview dan agama baru.

Selain menyampaikan beragam materi tentang media, beliau juga banyak menceritakan asam garam dalam penulisan berita. Haru birunya terhadap pemberitaan tentang Islam dan juga bermacam pengalaman saat liputan.


Kaya materi namun belum sampai pada tahap pemecahan masalah, kesimpulan yang didapat dalam pelatihan hari pertama kali ini. Dan memang, masih ada episode kedua dalam pengenalan dasar Jurnalistik yang akan berlangsung lusa. 

Esok, akan ada materi menggali inspirasi dari kehidupan sehari-hari yang akan disampaikan penulis yang juga menjadi dosen di STIKOSA AWS Zainal Arifin Emka. 

“Sok ketemu maneh,” jare wong Lamongan..

Ada Apa Dengan Wisuda?

Apa yang  menjadi kekhawatiran ketika kuliah sudah kelar?

Apa yang paling menjadi ganjalan dalam meniti karir lanjutan?

Apa yang menjadi tantangan tatkala keinginan 'menyegerakan' sudah datang?


Dari pertanyaan apa-apa diatas, jawabannya cuma satu; WISUDA!

Mengapa harus wisuda? Karena dengan wisuda artinya ada legal formal berupa ijazah yang menyatakan diri kita telah lulus tempaan kawah candradimuka.

Mengapa harus wisuda? Dengan wisuda, ada de jure factor berupa gelar sarjana yang kita sandang selama empat tahun kita mengenyam bangku kuliah.

Mengapa harus wisuda? Dengan wisuda-lah, kita bisa melamar kerja dengan ijazah yang bukan lagi SMA.
Dengan wisuda-lah harapan-harapan itu muncul bak sang surya menerangi dunia.

Lantas, apa yang membuat kita sampai saat ini belum di wisuda?

Jika mengingat pepatah, alas iku omboh, atau jika dibahasa-Indonesiakan menjadi hutan itu luas. Maka yang lebih luas dari alas/ hutan cuman satu, yaitu: alasan!

Jika pun boleh beralasan, maka yang pertama kali saya salahkan ada pada diri saya. Kenapa?

Karena jauh-jauh hari kurang persiapan dan belum merencanakan dengan matang.
Apa yang kurang dipersiapkan?

Judul proposal, dosen pembimbing, dan menganggap remeh waktu, menundanya, dan kurang disiplin serta malas.

Meski kemudian kita dapat menyalahkan kurangnya waktu, karena harus membaginya dengan kerja, mengajar, organisasi, tapi bisakah itu yang kita jadikan alibi??

Fauzil Adhim saja menganggap manajemen waktu bukan yang utama, tapi manajemen kalbu.  

Kita pernah mendapatkan waktu luang tapi kita sia-siakan.
Kita sering memperoleh kelapangan, tapi tak pernah kita optimalkan.
Kita pun tak sekali dua kali diberi kesempatan, tapi tak pernah atawa lupa kita ambil dan manfaatkan.
Kita buang semuanya itu dengan kemudharatan, tak membawa nilai tambah bagi kita. Hasilnya?

Untuk sementara setan-lah yang menertawakan kita, karena dia berhasil memperdayai dan memperalat hawa nafsu kita.

Untuk sementara..ya untuk sementara..
Karena mulai saat ini kita bertekad untuk segera mengakhiri euforianya..


Surabaya, 23 Juni 2014/ Sya’ban 1435 H,

Dari yang sedang menyusun tekad dan membulatkan niatnya














6 June 2014

Saat Guru Fakir Ilmu

Hari keempat Ujian Kenaikan Kelas (UKK) SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, artinya juga sudah dua kali juga menjadi pengawas ruang kelas yang menjadi tempat ujian. Disaat yang sama, saya menemukan beberapa fakta, yang menuntut saya untuk selalu tamak ilmu, bukan tamak harta, tahta, apalagi wanita. Di satu sisi saya juga menangkap sebuah pelajaran berharga, betapa profesi seorang Guru dituntut untuk serba bisa dalam segala hal..

Hari pertama, Selasa (3/6) ketika mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika dan Ke-Muhammadiyahan (KMD), saya tidak terlampau sulit untuk melayani pertanyaan dari para murid, baik kelas tujuh ataupun kelas delapan. Meskipun dulu ketika masih di bangku SMP tidak pernah menjadi juara kelas, dan kurang begitu antusias dengan pelajaran hitung-menghitung (entah, motivasi belajar saya ketika SMP begitu buruk :(), namun setelah meihat dengan seksama soal yang ditanyakan, bagaimana cara atau rumus untuk mengerjakannya, saya akhirnya berucap lirih namun pasti: b i s a!

Pun demikian dengan pelajaran KMD. Bekal belajar selama mengaji di TPA (Taman Pendidikan Alquran) Nurul Huda, serta mengkaji di majelis-majelis ilmu yang ada di kota domisili, setidaknya memberikan bekal untuk paham, khususnya dalam sejarah perjalanan Persyarikatan. Hanya sedikit yang menjadi hambatan, salah satunya adalah ketika para siswa selesai mengerjakan soal dan mengembalikan lembar jawaban, secara teknis saya masih kurang begitu lancar, baik dalam menyusun kembali lembar jawaban maupun soal yang telah dikembalikan. Ketelitian juga menjadi catatan, karena saya kadang melewatkan tanda tangan berita acara, penyusunan lembar jawaban dari yang terkecil hingga terbesar, dan lain sebagainya. Maklum, masih calon Cik Gu..

Namun, menginjak hari kedua, saya kembali kepada topik awal,  bila Guru harus selalu meng-udate ilmu. Saat menjadi pengawas hari kedua, dengan matapelajaran yang diujikannya adalah IPA. Ketika salah seorang siswa beranjak kedepan menghampiri saya dan bertanya salah satu soal yang tidak ada pilihan jawabannya, dan kemudian siswa tersebut menjelaskan alur pemikiran untuk menyelesaikan soal tersebut dengan memaparkan step by step rumusnya, saya akhirnya membatin, betapa fakir ilmu diri ini, betapa sombong akan kemampuan yang dimiliki. Karena saya hanya bisa manggut-manggut mendengar penjelasan yang diberikan siswa, dan menyampaikan kata pamungkas: dihitung lagi dengan teliti, nanti pasti ketemu jawabannya ya..

Bel tanda berakhirnya ujian belum berbunyi, masih banyak juga ternyata para siswa yang bertanya, entah itu pertanyaannya seperti, apa pengertian dari resonansi; lampu pijar itu yang seperti apa, hingga pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat saya terkekeh bin ketawa..haha. Lebih dari itu, tekad saya untuk belajar IPA juga semakin membulat.

Ternyata, ujian jam pertama seolah menjadi testcase bagi saya, di paroh kedua ujian yang mengetengahkan matapelajaran khas sekolah Islam, ya dialah Bahasa Arab! Bekal bahasa Arab dasar selama di TPA, ternyata masih kurang mumpuni untuk menjawab soal-soal Bahasa Arab yang ada di SMP. Saya kemudian bertanya pada diri saya, kemana saja saya selama ini, hingga tak sempat untuk belajar bahasa yang ada dalam kitab petunjuk dan penerang, Alquran-al-kariim tersebut. Untungnya, salah seorang pengajar Bahasa Arab, Ustadz Ardian, yang lulusan Mesir dan bergelar Lc., masuk kelas yang saya jaga dan menawarkan kesempatan untuk bertanya bagi para siswa.

Hah, tekad saya pun semakin membulat tiga ratus enam puluh derajat, saya harus belajar..belajar..dan belajar! “Dan mengajarkannya adalah satu bentuk mengaplikasikan ilmu tersebut menjadi seratus persen, dan hanya empat puluh persen saja, bila kita hanya belajar teorinya,” nasehat Pak Puji, Guru Bahasa Indonesia di Smanor.


*Porong, 6614
Ketika Kumandang Salat Wustho Memanggil dan Menggema