Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

20 August 2018

Tugas Penjas Kelas 7

Selamat Datang Para Siswa SMP Musasi kelas 7. Untuk mengetahui wawasan pembelajaran dari materi sepak bola, jawablah pertanyaan yang ada di link berikut:
https://goo.gl/forms/RqtMG4Kper3ojFDC2

13 June 2018

Kayuhan Pedal Sepeda Pak AR Fakhruddin

“Bertanyalah pada mereka, orang-orang besar di zamannya. Kebesarannya hingga kini dapat kita rasa, perjuangannya dapat kita baca dalam lembar-lembar cerita yang penuh makna..”

Orang besar selalu berbuat sesuatu yang besar. Seperti pesan dan nasehat yang selalu digaungkan Allahuyarham Ustadz Abdurrahim Nur: “Beramal-lah luar biasa dan terbaik, maka Allah akan memberikan sesuatu yang luar biasa pula.” Seperti yang dilakukan Ketua PP Muhammadiyah terlama (32 tahun, dari 1968-1990), KH. Abdur Rozaq Fachruddin, atau yang dikenal dengan panggilan Pak AR.

Dalam buku biografinya, yang ditulis Sukriyanto AR (salah satu anaknya yang kini menjadi anggota PP Muhammadiyah), Pak AR dibentangkan kembali kisahnya. Mulai dari masa kecil, remaja, hingga dewasa. Termasuk saat sebelum menjadi ketua, saat dibenum (ditugaskan) berdakwah di pelosok. Berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain dengan kayuhan demi kayuhan pedal sepedanya
Bersepeda merupakan merupakan moda transportasi andalan pada zaman old. Dengan sepeda, Pak AR mengisi pengajian di berbagai cabang dan ranting.  Tidak jarang juga melalui jalur sungai. Kadang-kadang memakai perahu klotok dan kadang-kadang hanya memakai jukung, sejenis sampan yang bisa dimuati sampai sekitar delapan orang.

Pengalamannya yang menarik adalah saat bersepeda menempuh jarak 1310 km. Saat itu, Pak AR memimpin rombongan yang jumlahnya lebih dari 12 orang dari kepanduan HW. Mereka menjadi utusan dan penggembira  Kongres Tahunan Muhammadiyah ke-28 (1939) di Sumatera Timur (Medan).

Selama 8 jam tiap hari. Berhari-hari mereka menempuh perjalanan tersebut. Jika bertemu bus, maka sepeda dinaikkan ke atas bus. Pada waktu itu belum ada bus yang langsung dari Palembang ke Medan. Bus hanya ada dari satu kota ke kota lain. Bila tidak ada bus mereka mengayuh sepeda lagi, karena niatan semula menghadiri kongres di Medan tersebut dengan mengayuh sepeda.
Mereka membawa segala perlengkapan yang diperlukan seperti perlengkapan kepanduan HW, obat-obatan, alat perbaikan sepeda, tambal ban dan pompa yang menjadi alat penting selama menempuh perjalanan ribuan kilometer tersebut. Pak AR bersama rombongan melewati kawasan hutan dan sungai  yang pada waktu itu sebagian besar belum ada jembatannya. Ketika menyeberangi sungai, sepeda dinaikkan ke perahu, sampan atau rakit.

Perjalanan dari Palembang ke Medan melewati jalan yang masih banyak yang belum diaspal (masih jalan tanah). Perjalanan hanya ditempuh pada siang hari. Pada malam hari mereka berhenti. Di tempat pemberhentian, mereka beristirahat, membuat kemah. Kadang di pinggir jalan, kadang di tepi atau di tengah hutan yang dilewati, kadang pula di desa, atau di pinggir kota.

Ketika di tengah hutan, mereka membangun kemah dengan menempatkan sepeda mereka yang disusun melingkar mengitari kemah, berfungsi pagar sekaligus untuk pengaman. Di tempat berkemah itu, mereka yang merupakan Pandu HW pada malam hari membuat api unggun. Selain itu, mereka juga memasak, saling pijat, shalat berjamaah, kultum, dan membaca Al Quran dengan saling menyimak.

Mereka melakukannya dengan penuh semangat. Tidak merasa berat selama perjalanan. Jarak tempuh yang jauh melewati hutan, lereng-lereng pegunungan, lembah dan sungai menjadi petualangan yang mengasyikkan. Tantangan terasa menjadi sangat menyenangkan. Karena mereka bisa melihat keindahan alam dan merasakan kesegaran hutan dan pedesaan.

Siapa sangka, dari kayuhan pedal sepedanya, kelak sosok itu akan menjadi ketua PP Muhammadiyah. Dari tetes peluh pengalaman saat menempuh perjalanan dakwah itulah karakternya terasah. Ya, segala sesuatu akan menemui masanya. Sedih, susah, dan senang akan menjadi kenangan pada waktu yang ditentukan. Beramal-lah yang terbaik pada masa muda, bersiaplah menuai kebaikan setelahnya! 

(* artikel diterbitkan di majalah SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo edisi 5)

Film Perjalanan Hidup Pak AR Fakhruddin (foto: google)

Mohamed Salah dan Orang-orang Buangan


“Nak, Mohamed Salah mengajarkan kepada kita, bahwa manusia terlupakan itu menyimpan ledakan impian, dan manusia terpinggirkan itu mengerikan.”

Status fesbuk dari Romi Satria Wahono, mantan peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), itu ditulis usai pertandingan leg pertama semifinal Liga Champions, yang mempertemukan Liverpool versus AS Roma. Konteksnya sungguh pas, karena Mohamed Salah, salah satu bintang dalam lapangan tersebut merupakan eks pemain AS Roma sebelum membela The Reds, Liverpool.
Siapa sangka, pemain yang mengenakan nomor punggung sebelas itu, menjadi pemain yang berpindah-pindah klub. Karirnya tidak langsung cemerlang, tetapi melewati beberapa proses. Pada 2013, Chelsea menjadi klub pertama yang dibelanya di Premier League. 

Sayang, Salah hanya bertahan selama dua musim dan jarang bermain. Setelah itu, dia dipinjamkan ke Fiorentina dan AS Roma. Di Roma, naluri mencetak golnya meningkat drastis. Pemain timnas Mesir itu bahkan membukukan 34 gol dalam 83 laga, atau dua musimnya bersama klub ibukota Italia tersebut. Apakah Chelsea, yang merupakan bekas klubnya tertarik? Ternyata tidak. The Blues—julukan Chelsea—malah melelang pemain berumur 25 tahun itu dengan harga miring.

Setelah dua musim di AS Roma, Salah bergabung dengan Liverpool. Sikapnya yang tak merayakan selebrasi saat mencetak gol ke gawang mantan klubnya itu pada semifinal lalu, membuat pemain yang kerap merayakan golnya dengan sujud syukur tersebut banjir pujian. Salah hanya mengangkat tangan saat tendangannya meluncur ke dalam gawang dan tidak dapat dijangkau Alisson Becker, kiper Roma.

**

Fenomena Mohamed Salah mengingatkan kembali pada kita, jika ingin menjadi manusia yang sukses tidak bisa instan, butuh proses. Untuk menghasilkan sebuah pisau yang tajam, besi yang menjadi bahan bakunya harus dipanaskan sebelum dipukul berulang-ulang. Dipanaskan lagi dan dipukul berkali-kali lagi. Mohamed Salah sebelum menjadi bintang seperti sekarang, dia pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi pemain buangan, menjadi manusia yang terlupakan.

Namun dia mempunyai impian untuk menjadi pemain andalan. Bakat yang dimilikinya dibarengi dengan latihan yang ekstra keras dan doa. Ya, sebagai muslim, dia tidak pernah melupakan siapa penciptanya. Saat mencetak gol dia bersujud syukur, rasa ungkapan terima kasih telah diberikan kemudahan oleh Allah. Dia tidak hanya berprinsip “man jadda wa jada”, tapi dia tambahkan dalam prinsipnya itu “man jadda, insya Allah wa jada”.

Baginya, tanpa campur tangan Rabb-nya, mustahil Salah bisa terus mencetak gol. Usaha, ikhtiar dilakukan dengan mengerahkan segala potensinya, doa dipanjatkan pada Dzat yang menguasai alam raya, selanjutnya sikap tawakkal dengan hasil ikhtiar dia serahkan pada-Nya. Itulah ciri manusia beriman.

Maka, jika hari ini ada yang masih bersedih hati dengan ucapan teman yang menyakitkan. Tersinggung dengan kelakuan kasar seorang kawan, maka bukalah kembali lembaran cerita orang-orang sukses. Baca dan hayati lembar demi lembar proses ‘naik kelas’ mereka. Ya, bukankah Allah memberi ujian bagi hambaNya sebelum ditinggikan derajatNya. Maka, laa tahzan, jangan bersedih. Innallaha ma’ana, sesungguhnya Allah bersama kita. 

(* artikel dimuat di majalah SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, Musasi Magazine edisi 6)

foto: google


12 March 2018

Anak Dokter tak Boleh Sakit

Jumat pagi itu, suasana lapangan olahraga --atau yang biasa disebut para siswa SMP Musasi dengan Sport Center--masih sepi. Maklum, jadwal olahraga pada hari Jumat khusus untuk satu kelas, yakni 7H. Berbeda dengan hari-hari lainnya yang kerap penuh bahkan tak kebagian tempat.

Seperti biasa, para siswa dibariskan berjajar rapi sebelum pelajaran dimulai. Materi Penjas saat itu tentang kebugaran jasmani. Setelah berdoa, Pak Darul, yang mengajar Penjas di kelas tersebut mengabsen satu per satu siswa untuk mencatat kehadiran.

Secara bergiliran mereka yang dipanggil namanya mengangkat tangan, Yang tidak hadir biasanya teman-temannya yang lain mengabarkan jika si A sedang izin, sakit, atau menjadi siswa antah berantah alias tanpa keterangan. Tibalah nama salah satu anak dipanggil.

"Fayza.."

"Fayza Arsy Kamila?" Kembali Pak Darul memanggil siswa yang bersangkutan.

"Maaf Pak, Fayza sakit," ujar Ghaida, salah satu kawan karibnya.

"Sakit apa?"

"Hmm, katanya sakit typus, Pak."

"Sudah berapa hari?"

"Sudah hampir satu pekan ini Pak, anaknya ndak masuk." Jawab yang lain.

"Hmm.." Pak Darul lalu menuliskan keterangan "S" di buku kehadiran yang dari tadi berada di tangan kirinya.

Tiba-tiba ada suara menyahut,

"Anaknya dokter koq sakit!" Suara yang berasal dari baris sebelah timur yang berisi para siswa laki-laki itu menghentak suasana. Mereka pun banyak yang tertawa, tersenyum, bahkan mungkin ada yang berpikir: "iya..iya, koq bisa anaknya dokter sakit.

***

Mungkin dalam benak kita, langsung kita jawab, memang sakit, wong manusia. Tapi, pikiran para siswa berbeda, mungkin hanya karena bercanda, yang menganggap anak dokter harus selalu sehat. Tidak boleh sakit,

Seperti judul sebuah buku, "Orang Miskin dilarang Sekolah" atau "Orang Miskin dilarang Sakit,"

Fayza yang merupakan anak dari dr. Tjatur Prijambodo, MKes. Dokter, Ustadz, dan juga seorang direktur Rumah Sakit Aisyiyah Siti Fatimah Tulangan.

Beliau, saban Kamis malam keempat bergentayangan, eh memberikan kajian kesehatan dari perspektif kedokteran Islam di Masjid At Taqwa SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, tempat kami mengabdi.

Ketika kami bertemu dalam Safari Subuh Musasi Bina Iman dan Taqwa, Pak Dokter tersebut kami ceritakan kejadian lucu tentang tanggapan teman-teman sang anak waktu diabsen tidak masuk karena sakit. Beliau hanya tersenyum. Mungkin dalam benaknya: wong dokter aja pernah sakit, apalagi anaknya. Hehe..

Musasi Library, 120318






11 March 2018

'Banjir Bah' Tulisan Mayantara

Mayantara kini dibanjiri tulisan. Ya, jagad kasatmata itu tak ubahnya menjadi catatan pengganti buku diary. Zaman kini berubah menjadi semakin paperless.

Guru virtual kami, Pak Romi Satria Wahono, menulis di blognya terakhir pada Desember 2017. Padahal, di bukunya yang terbit tahun 2009, Pak Romi gencar untuk memprovokasi pada generasi galau untuk terjun dalam jalan perdjoeangan, menulis untuk mengikat ilmu.

Seabrek kegiatan yang kini dilakukan Pak Romi mungkin menjadi hadangan untuk kembali menulis di blog. Blog juga mendapat saingan berat dari fesbuk yang merupakan mini blog, dan juga media sosial lain seperti twitter dan instagram.

Jika sembilan tahun lalu saya baru pertama kali menulis di fesbuk. Tahun 2010, setelah terprovokasi tulisan di buku Pak Romi setahun sebelumnya, saya kemudian belajar ngeblog. Kuliah dan kerja menjadi bumbu penyedap tulisan saya dalam rentang waktu 2010-2014.

2016, saat sudah menjejak ranah pendidikan, tulisan kemudian merambah tataran situs. PWMU.Co menjadi ladang menyemai tulisan selain di fb, blog dan instagram. Karena ranah dakwah yang menjadi core utama situs milik LIK PWM Jatim itu, maka isi kajian yang saya ikuti menjadi branding awal tulisan-tulisan saya di PWMU.Co.

Saya juga sempat mengenal media guru. Akun juga sudah dibuat. Namun, karena lagi-lagi beralibi masalah kesibukan dan manajemen diri yang belum tertata, maka kembali media guru tak seberapa banyak berisi tulisan.

Kini, diantara menyambut amanah-amanah baru yang akan tergenggam. Terselip doa agar tetap istiqamah dalam tiap ketukan tuts keyboard hape atau laptop. Tentunya, harapan untuk memaqamkan menulis sebagai kegiatan produktif yang akan menghasilkan karya tetap membuncah di dada.

Bulu, 110318
gambar: http://anttilepisto.net