Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

31 January 2014

Kemelut di Gunung Kelud

Alhamdulillah, ketika hamba masih diberikan kesehatan dan kesempatan oleh-Nya. Seperti hari ini, di luar rencana semestinya, dan diantara selingan padatnya jadwal yang tersedia, Allah masih memberikan kesempatan untuk dapat men-tadabburi alam ciptaanNya yang luar biasa indah..


Pulang dari Graha Pena pagi-pagi, ketika kaki sudah melangkah parkiran motor keluar, tiba-tiba beberapa kawan se-profesi lain divisi mengajak ke Kediri. Saya kemudian teringat undangan pernikahan yang disampaikan kawan kami beberapa hari yang lalu. Karena tidak ada persiapan sebelumnya, jadilah celana jeans dan kaos oblong warna hitam dibalut jaket sweeter menjadi teman perjalanan bersama kawan-kawan yang lain itu. Dengan dua mobil yang menyertai keberangkatan kami, satu nyewa dan lainnya milik salah satu kerabat dari kawan kami itu, berangkatlah akhirnya kami ke kota tahu.

Sepanjang perjalanan, saya yang duduknya di bangku paling belakang, sengaja mencari tempat yang pas untuk sekedar menyimpan energi dan melepaskan kantuk yang menyertai. Total delapan penumpang yang termuat di Mobil Nissan Evalia yang kami tumpangi. Perjalanan yang tersendat hanya sekitar jalan Medaeng-Sepanjang itu, akhirnya lancar jaya setelahnya.

Barakallahu laka

Beberapa jam kemudian, sampailah kami di tempat tujuan. Saya yang lebih banyak terbuai layar pulau kapuk selama perjalanan itu tak seberapa paham alamat yang sedang kami singgahi. Sekilas membaca papan petunjuk jalan yang bertuliskam kecamatan Wates. Setelah mobil terparkir, kami bersama menuju TKP (Tempat Kejadian Pernikahan).

Ternyata acara baru saja dimula, kami dipersilakan shahibulubait untuk masuk ke ruang tamu, yang di dalamnya sudah tersedia panganan khas orang punya hajatan. Tak banyak yang kami lakukan, selain saling bercanda-menyegarkan suasana. Tak lupa, kami juga sedikit-sedikit bertanya pada sang empunya hajat; "apa ada calon yang bisa di pilihkan untuk kami yang masih bujang," satu joke-nya yang terlontar seperti itu.

Kawan kami yang sedang berbahagia itu cukup lama men-thaliburrizki di Graha Pena. Kalau tak salah ingat kurang lebih tujuh tahunan. Dan jodohnya ternyata tak jauh-jauh dari tempat kosnya yang ada di Wonocolo gang kulit, kampung yang berada tepat di seberang timur gedung yang juga menjadi markas Jawa Pos itu. Sesi foto bersama seolah menjadi pamungkas, satu persatu kami naik ke panggung pelaminan untuk di jepret sang fotografer. Tak lupa setelahnya ada tradisi amplopan, hehe..barakallahu laka wabaraka 'alaika, wa jama'a bainakuma filkhair ^^,

Berkelud-kesah

Rencana kedua setelah menghadiri pernikahan kawan kami, tak lain adalah rekreasi; satu faktor yang menjadi penarik minat saya untuk ikut berangkat bersama. Dalam bayangan, Gunung Kelud tak ubahnya gunung-gunung lain yang banyak ditumbuhi pepohonan di sepanjang perjalanan yang dilewatinya. Namun, dugaan saya tak sepenuhnya benar.

Setelah mendekati pintu gerbang pertama, kami transit sejenak. Menunggu mobil kawan kami yang lain sembari mencari musala untuk menegakkan salat dhuhur. Setelah mengedarkan pandangan ke segala penjuru mata angin, musala itu akhirnya ditemukan. Berada di ujung timur laut dari tempat parkir mobil kami.

Musala tersebut tak terlalu besar. Hanya ada beberapa kran air di sebelahnya, dan itu pun tak mengeluarkan air semua. Akhirnya, kami mengambil wudlu di wastafel yang berada tak jauh dari tempat wudlu. Heran juga, kenapa hanya air di wastafel yang menyemburkan air, sementara kran untuk wudlu sendiri sepertinya tak bersumber. Karena desain musalanya yang terbuka, jadi banyak debu menempel di lantainya. Di tambah juga buangan sampah yang letaknya hampir berdekatan dengan musala, menimbulkan aroma yang segar-pun tidak, wangi-pun jauh.

Usai membayar tiket masuk enam ribu rupiah per orangnya, mobil kami pun melaju menembus jalanan ke Gunung Kelud yang saat itu agak mendung dan berkabut. Sempat berhenti di 4 Km menjelang masuk ke lokasi wisata. Juru kemudi yang kebetulan kawan kami yang konon pengalamannya sudah cukup banyak di belakang stir itu menyuruh kami untuk turun sebentar dari mobil. Alasan yang diutarakannya adalah karena keterbatasan jenis mesin yang dimiliki mobil Evalia. Konon, mobil matik lebih sulit untuk melaju di jalanan yang menanjak daripada roda empat yang bermesin diesel. Dioperlah dua kali akhirmya dengan Xenia.

Anak Gunung itu Muncul 

Empat kilo menjelang parkiran, kami disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Kalau bisa digambarkan dengan kata-kata, mungkin hanya ucapan tasbih yang bisa menyesap dari bibir kami. Mungkin inilah mengapa, ketika banyak orang-orang yang memburu naik gunung, hingga mempertaruhkan nyawa demi mencapai puncaknya, mungkin..sekali lagi mungkin, karena suguhan pemandangannya yang luar biasa tiada duanya.

Dibandingkan dengan atap-atap gedung pencakar langit, gambaran ciptaan dari Sang Maha Khalik ternyata lebih luar biasa. Ada perasaan takjub, manakala kita di tengah-tengah ciptaanNya yang besar dan tinggi. Kita pun merasa kecil dan tak mempunyai daya melawan kebesaranNya.

Setelah puas mengabadikan beberapa jepretan di halaman awal. Halaman awal? Ya, ternyata gunung Kelud menyimpan dua inti destinasi wisata. Yang pertama pemandian air panasnya, dan yang kedua adalah anak gunung Kelud. Saya baru mendengar jika pegunungan yang berada di kawasan Kediri dan Blitar ini mempunyai anak. Dan anaknya sendiri baru terbentuk di akhir tahun 2007 yang lalu. Belum genap sepuluh tahun usianya.

Melewati terowongan yang konon dibangun pada jaman penjajahan Belanda. Cukup gelap, dengan penerangan yang kurang di sisi kanan dan kirinya. Setelah keluar dari terowongan, kami pun disambut dengan pemandangan yang luar biasa indah.

Fanani dengan latar foto anak Gunung Kelud-roelsphoto
Sebuah gunung yang mereka sebut dengan anak gunung kelud itu, ternyata masih merekah mengeluarkan banyak asapnya. Baru kali ini, saya mendapati pemandangan yang membuat bibir ini tak henti mengucap tasbih. Di kelilingi pegunungan di sekitarnya, gunung itu seolah berteriak lantang menantang. Selain asap-asap yang menyembul disekujur badannya, yang menandakan banyaknya belerang yang terkandung.

Anak Gunung Kelud-roelsphoto
Dan fakta yang saya dapat. Bersumber dari tukang foto yang lapaknya tak jauh dari lokasi anak gunung Kelud itu,  jika ada danau yang letaknya di tempat anak gunung Kelud. Dan akhirnya airmya habis semenjak 'kelahiran' anak gunung Kelud pada tujuh tahun yang lalu. Banyak warga sekitar yang melarung sesaji dan melakukan ritual yang tak berdasar di danau tersebut. Dari beberapa foto hasil dokumentasi fotografer tersebut, kambing menjadi salah satu hewan yang di larung di danau.

Kenyataan tersebut membuat saya miris dan sedih. Ternyata, banyak masyarakat kita yang masih percaya dengan tahayul dan khurafat. Potensi alam yang sedemikian berlimpah ruah di tanah Indonesia ini, seolah tak berdaya dengan kungkungan tahayul dan tradisi yang tak berdasar. Mereka lebih sibuk dengan ritual, daripada membangun fasilitas, sarana, dan prasana yang teramat kurang.

Jalanan menuju lokasi wisata yang masih banyak berlubang, rest area termasuk musala yang dibiarkan merana meregang nyawa. Hingga aksesibilitas menuju kawasan anak Gunung Kelud itu sendiri yang masih, dan masih sangat minim.

Hingga saya bertanya dalam hati; kenapa para kepala daerahnya saling beradu debat-argumen dalam surat kabar, yang saling meng-klaim kepemilikan Gunung Kelud dengan alasan sumber pendapatan daerah?

Bukankah lebih elok mereka berlomba-lomba meningkatkan sarana dan prasarana yang ada, memperbaiki jalan dan akses menuju lokasi wisata. Tunggulah sampai ada keputusan Gubernur sebagai kepala Provinsi yang akan memutuskan siapa yang berhak mengelola potensi alam pegunungan  Kelud, dari mereka yang paling siap merawat dan membangunnya.

Biarlah, meskipun kalah, karena ada kepentingan politis atau yang lainnya. Setidaknya kita sudah menang dalam merancang dan membangun masa depan potensi wisata itu seperti apa.

Biarlah, meskipun nantinya kita kalah. Yang penting kita sudah memahamkan pada seluruh masyarakat, bila alam layaknya anak sebagai titipan. Yang harus dijaga, dikembangkan dengan kasih sayang, tidak merusaknya, dan tidak salah dalam merawatnya.

Saya pun bergumam, mengapa kita seperti kembali ke Jaman Belanda. Senang di adu domba dengan politik devide et impera?

Kesal juga, mengapa harus Belanda yang menjajah kita? Bukan Inggris saja, agar kita maju seperti Malaysia..??

 -_-







29 January 2014

Perjalanan Ke Barat

Sabtu  lalu (25/1), saya beserta kawan seperjuangan mengunduh ilmu agama di kampung halaman, berangkat menuju Balongbendo. Dengan mengendarai mobil station wagon tahun 80-an miliknya yang sehari-hari dipakai berjualan rambutan di Pasar Porong, kami meluncur ke barat. 

Sore hari, setelah melewati perjalanan panjang dari Graha Pena hingga tiba di rumah, ponsel pintar cicilan mengaum pelan. Sebuah sms masuk, yang ternyata  datangnya dari Gaguk, nama panggilan kawan kami yang satu kampung, namun beda RT dan RW. Dalam rilis sms yang dikirimkannya, dia menyatakan kesanggupannya untuk menghadiri pengajian keliling yang diprakarsai Pemuda Muhammadiyah Sidoarjo di Masjid Mujahidin-Balongbendo.

Pesan singkat yang dikirimnya itu merupakan jawaban dari pertanyaan yang beberapa hari lalu saya lontarkan, tentang keikutsertaannya dalam kajian keliling yang sudah masuk bulan kedua itu. Sebenarnya, saya juga sempat meng-sms Bahar, kawan seperjuangan kami yang lain, namun karena kesibukannya dalam perindustrian sosis di kampung Simo Karangkletak, akhirnya kandas juga usaha kami untuk dapat mengajaknya ngaji bersama-sama.

Bukan perjuangan bila tanpa pengorbanan. Ternyata mobil yang hendak kami tumpangi dalam perjanan ke barat itu ternyata masih berada di rumah saudaranya Gaguk-yang berada di desa Ngerong, Gempol. Maka, kami pun akhirnya berboncengan mengambil mobil tersebut. Melewati jalanan Gempol-Kejapanan sore itu yang padat merayap, Allah masih memberikan kemudahan hingga akhirnya kami berdua sampai juga di tujuan.

Dalam perjalanan menjemput mobil tersebut, kami banyak berdiskusi rencana pemberangkatan. Setelah urun rembug cukup lama, dan menimbang efektivitas waktu tempuh, akhirnya kami memutuskan untuk transit dulu, ikut pengajian Bulughul Mahram dengan Ustadz Eko Asmanto di Musala Nurul Huda, Gedang. Dengan asumsi, perjalanan ke Balongbendo tidak sampai dua jam dan sayang bila pengajian favorit terlewatkan.

Usai pengajian yang dilaksanakan saban Sabtu ba'da maghrib itu, kami pun berangkat menuju ke barat, ke kecamatan yang berbatasan langsung dengan Mojosari dan Gresik itu.

Dalam kemudi kawan kami, mobil lansiran tiga puluh tahun yang lalu itu berjalan landai dan tenang. Sempat muncul kekhawatiran bila di tengah-tengah perjalanan mendadak mesin mati atau ban bocor, tapi alhamdulillah, berkat doa yang kami panjatkan sebelum berangkat, perjalanan berlangsung aman terkendali.

Banyak hal yang kami perbincangan selama perjalanan, mulai dari organisasi, peluang usaha, dan yang tak kalah menariknya, tentang calon azwajina kami masing-masing. Maklum, saya dan Gaguk sudah lama kenal. Dan kawan kami satu ini merupakan sarjana tak bergelar. Sebenarnya sudah setahun lalu lulus kuliahnya, tapi karena ada 'something' yang terjadi dalam perjalanan hidupnya, hingga akhirnya memilih mundur teratur dari jurusan pertanian. Tapi, dia mempunyai tekad yang kuat dalam hidup, seperti keinginan memiliki usaha sendiri yang mandiri. Semoga kawan kita ini danpat merealisasikan mimpi-mimpinya, amiin.

Sempat berkali-kali tanya alamat tempat yang kami tuju, sebelum akhirnya kami sampai di pelataran masjid Mujahidin. Acara ternyata baru saja dimulai, padahal kami menyangka akan terlambat lama. Hal tersebut tampak dari sesi acara yang masih berjalan pada maudlatilhasanah atau ceramah pembuka (terjemah bebasnya-red).

Sesi pun berlanjut pada paparan Ustadz Hadi tentang tahapan khutbah Jumat. Dengan ciri khas tampilan powerpoint-nya, Ustadz yang sedang menempuh pendidikan S-2 nya di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) itu menampilkan tahap demi tahap khutbah Jumat. Salah dua yang menarik, saat beliau menceritakan pengalamannya menjadi khatib salat Jumat di beberapa masjid yang menggunakan adzan dua kali. Juga tentang tips-nya agar kita tidak grogi saat menjadi khatib salat Jumat.

Sebenarnya acara akan berlanjut pada praktik langsung menjadi khatib Jumat, dan akan mendapatkan feedback (timbal baliklangsung dari Ustadz Hadi. Namun, karena waktu semakin larut, mengharuskan para peserta kajian untuk beristirahat.

Pukul tiga dini hari, kami dibangunkan untuk salat malam. Yang menjadi Imam qiyamu lail-nya adalah ustadz Imam. Kader Pemuda dari Sidoarjo kota yang juga salah satu dosen Al Islam dan Ke-Muhammadiyah-an (AIK) di Umsida. Ba'da salat lail, jeda sejenak sebelum dilanjutkan dengan salat Subuh dan diakhiri dengan kultum. Untuk kegiatan terakhir ini, kader dari Gedangan sudah di jadwal untuk mengisinya.

Diskusi Keislaman Bersama Ustadz Imam
Sembari menunggu sarapan pagi, ada sesi diskusi dan bedah kitab HPT (Himpunan Putusan Tarjih) yang di pandu Mas Abdillah Adi, kader Pemuda Kecamatan Tulangan. Acara berjalan menarik dengan bahasan basmalah. Tentang sah tidaknya wudlu kita bila kita berwudlu di dalam kamar mandi yang teradapat kakus di dalamnya. Secara kita mengetahui, jika ada larangan untuk menyebut asma Allah di tempat-tempat yang tidak semestinya, seperti kakus dan lainnya.

Matahari pun merangkak naik dan menampakkan sinarnya. Pertanda hari beranjak pagi. Sarapan nasi pecel khas Balongbendo dengan lauk telor ceplok dan tempe goreng menjadi perekat kebersamaan. Tibalah juga pada penghujung acara. Dan bulan depan insya Allah akan terlaksana di Jabon. Fastabiqulkhairats!

Ustadz Imam (kiri) bersama Mas Irul

Para Peserta LKPDPM Baitul Arqam Serius Menyimak



Antusiasme Keilmuan Pemuda Muhammadiyah Sidoarjo