Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

Blog Darul Setiawan

Manusia Biasa yang Ingin Mengagungkan PenciptaNya

10 February 2012

Semester 4: Belajar Belajar Belajar

Tanpa terasa, saat ini sudah memasuki bulan kedua dari tahun 2012. Di tahun ini pulalah nanti, kuliah saya akan memasuki semester keempat. Tak terasa memang, apalagi rasanya baru beberapa bulan saja menginjakkan kaki di lembah kawah candradimuka Fakultas Ilmu Keolahragaan-Unesa. Sudah banyak pula cipratan ilmu yang saya dapat dari semester satu hingga semester tiga yang lalu. Namun, itu semua belum seberapa dan hanya secuil dari sekian tantangan selankutnya yang akan saya hadapi di empat semester mendatang.

Semester empat, ada dua belas mata kuliah yang akan saya program. Dengan rincian, sepuluh mata kuliah paket yang wajib di program dan dua mata kuliah tambahan yang saya ambil di semester genap ini. Total dari dua  puluh tujuh jumlah SKS (Satuan Kredit Semester) yang dapat diambil di semester genap, dua puluh lima SKS yang akan saya ambil. Jadi perlu ada usaha ekstra, belajar ekstra, dan berdoa ekstra (tapi tetap sesuai tuntunan, insya Allah). Dari dua belas mata kuliah yang saya ambil tersebut, tiga diantaranya adalah mata kuliah praktek dan sisanya yang lain adalah teori. Mata kuliah praktek yang ada di semester empat diantaranya: Bulutangkis, Bola Voli Dasar, dan Bola Basket Lanjutan. Yang menjadi tantangan lebih, mungkin ada pada bola basket lanjutan, karena nanti pada tataran tugas dan prakteknya, akan ada tugas perwasitan dan menyelenggarakan pertandingan yang bertema Unesa Cup 2012.

Sedangkan mata kuliah yang mayoritas berada pada tataran teori pada semester empat ini, meliputi: Ilmu Kepelatihan Dasar, Pencegahan dan Perawatan Cedera. Modifikasi Olahraga, Masase Olahraga, Perencanaan Pembelajaran Penjas, Permainan Kecil dan Komputer. Dan mata kuliah tambahan yang saya ambil di semester keempat ini adalah  Psikologi Olahraga. Sebenarnya untuk mata kuliah yang disebutkan  sudah pernah saya program di semester kedua, berhubung ada "kecelakaan" maka nilai saya pun terjun bebas,

Melihat beratnya medan jihad dalam menuntut ilmu yang akan saya arungi pada semester genap ini, maka tak ada salahnya saya mengutip motto dari Bapak Dahlan Iskan, yang mengibaratkan tantangan di tahun 2012 ini sebagai tahun Kerja, Kerja dan Kerja. Semoga juga saya tak salah mengambil motto tersebut dan saya plesetkan sedikit dengan tema Belajar, Belajar dan Belajar..

25 January 2012

Antara Bandung-Surabaya


        
    
           Ada perasaan iri* ketika saya mendengar cerita dari seorang kawan lama yang sudah menyeleseikan S-1 jurusan informatika di Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah mendapatkan gelar sarjana strata satunya, ia berencana akan melanjutkan jenjang S-2, tak tanggung-tanggung negeri Samurai-Jepang menjadi jujugannya. Dialah Ivan Ibnu Alim, sahabat lama, yang dulu, ketika sama-sama berada di bangku sekolah dasar, kami juga menuntut ilmu wal-akhira di Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) di musala kampung kami, Musala Nurul Huda Kelurahan Gedang Kecamatan Porong. 

Sore itu, kami bertemu di musala kenangan ketika kami sama-sama mengaji dulu itu, saat kami hendak melaksanakan salat  Magrib berjamaah. Ia baru saja tiba di kampung halaman, setelah bermukim sekian lamanya di kota kembang. Cukup lama tak berjumpa dengan kawan karib saya tersebut. Maklum kami sama-sama asyik dengan kesibukan sendiri-sendiri. Intensitas kami bertemu pun semakin jarang, karena saya lebih banyak ber-tholibul ilmi dan rizqi di kota pahlawan, Surabaya, sehingga jarang atau sepekan sekali pulang dan kembali dari ‘perantauan’ ke kampung halaman. Sedangkan Ivan, karena jarak Bandung-Surabaya ‘hanya’ beratus-ratus kilometer, ia pun bisanya bersambang kangen dengan sanak keluarga, tetangga rumah dan kawan lama saat liburan semester tiba. Terkadang, kami lebih banyak mendapatkan momentum yang kurang pas untuk dapat sekedar bertemu dan bertukar cerita dan pengalaman. Misalnya saja saat Ivan sedang liburan di rumahnya, saya sedang ada tantangan dengan tugas kuliah atau ada kegiatan di luar kota. Seperti saat libur hari raya Idul Adha kemarin, kebetulan saat itu, saya ambil bagian dalam kepanitiaan bakti sosial Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Universitas Negeri Surabaya(IMM-Unesa) untuk menyalurkan hewan kurban di salah satu desa terpencil di daerah dataran tinggi Nganjuk, tepatnya di desa Blengko, Kecamatan Srono-Kabupaten Nganjuk Jawa Timur. Karena keterbatasan sinyal telekomunikasi didaerah tersebut, sehingga saya tidak dapat mengabarinya jika saat itu saya sedang berada di daerah Nganjuk. Sebelumnya ia mengabari jika akan pulang dari Bandung dan berlibur kembali ke kota lumpur selama sepekan lebih. Karena ada liburan, katanya saat itu di facebook dan sms yang saya terima saat itu. 

Dulu sebenarnya kami satu angkatan di TPQ, saya pun masih ingat ketika dulu di TPQ ada kegiatan ekstra Pencak Silat(TPQ juga ada ekstranya lo..) Tapak Suci Putera Muhammadiyah (salah satu perguruan silat di Indonesia-red), sampai-sampai kami dapat mengikuti ujian kenaikan sabuk kuning di Bangil-Pasuruan. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan saat itu, mengingat betapa susah dan gigihnya kami untuk mendapatkan sebuah ‘sabuk’. Namun, sebenarnya bukan sabuk semata yang membuat proses mendapatkannya dibuat sulit dan susah, karena sabuknya hanya seperti sabuk-sabuk olahraga beladiri lainnya yang bahannya dari kain biasa yang didalamya ada busa (jadi kelihatan lebih tebal) plus tidak ada kekuatan-kekuatan lain selain kekuatan Sang Maha Kuasa (lilla hi ta’ala..amin). 

Tapi hal itu murni karena dalam proses mendapatkannya ada filosofi, ketika kita ingin mendapatkan sesuatu hal dibutuhkan pengorbanan, kerja keras dan perdjoeangan! Tak jarang, untuk mendapatkan sebuah sabuk kami harus melewati kuburan pada tengah malam, diistilahkan dengan jurit malam (melatih mental), berjalan kaki berkilo-kilo meter melewati halal rintang (melatih fisik), belum santapan push-up, sit-up yang menjadi hal wajib. Yang menarik, selain sisi mental fisik yang dilatih seperti yang saya sebutkan diatas, di perguruan tapak suci, juga ada ujian tulis tentang ilmu agama. Wuiih..lengkap dech kalo dinilai! Sayang, kebersamaan dengan perguruan Tapak Suci harus diakhiri seiring dengan hijrahnya sosok pelatih kami yang bernama Kak Wildan, ke Pulau Dewata (ada tawaran pekerjaan-red). Praktis, sejak saat itu, kami tidak pernah lagi latihan. Namun, sabuk kuning itu tetap saya simpan sebagai kenangan Perdjoeangan, mungkin Ivan juga setali tiga uang.     
 
Kembali ke masa selanjutnya, yaitu masa ketika lepas dari sekolah dasar. Kami sudah pindah haluan masing-masing. Masa SMP lebih banyak berkutat di wilayah kecamatan, sementara Ivan sudah melanglangbuana di wilayah kabupaten, bahkan saat SMA dia sudah berhasil masuk sekolah favorit nomor satu di Sidoarjo, SMA Negeri 1 Sidoarjo (Smanisda). Sementara saat itu, saya harus menelan pil pahit kegagalan masuk SMK Negeri 1 Sidoarjo, dan harus merelakan diri terdampar di sekolah swasta di kawasan perbatasan, SMK Walisongo, Gempol-Pasuruan, sebelumnya akhirnya bangkit dan lolos tes untuk masuk SMA Negeri Olahraga Jawa Timur (Smanor Jatim). Mungkin kalo dikalkulasi secara de jure, sekolah saya (Smanor-red) lebih “unggul“, dilihat dari struktur penanganannya langsung di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim), sedangkan Smanisda Pemerintah Kabupaten Sidoarjo (Pemkab Sidoarjo), alias beda tingkat dan level sedikit lha..hehe.. Namun, secara de facto, prestasi Smanor ‘hanya’ unggul di bidang olahraga, karena sekolah kami langganan mencetak atlet juara  Kejurnas, PON, maupun Sea Games dan Olimpiade. Jika dibandingkan  Smanisda yang ungul di bidang sains, dan sudah menjuarai beberapa kejuaraan atau olimpiade (di bidang sains dan teknologi tentunya-red). Hitungan kasarnya memang tidak dapat di lihat siapa yang unggul, karena bidang garapannya pun beda. Yang menyamakan hanya satu, yaitu tenaga pendidik atau gurunya. Ya, karena belum ada tenaga pendidik, ketika didirikan pasca Pekan Olahraga Nasional tahun 2000 silam, maka beberapa tenaga pendidik yang mengajar di Smanisda diperbantukan mengajar di Smanor. Sampai saat ini, rata-rata mayoritas guru pengajar di Smanor, dulunya merupakan guru pengajar di Smanisda. Sangat beruntung sebenarnya para siswa Smanor dapat arahan belajar langsung dari para guru Smanisda yang notabene merupakan sekolah favorit nomor satu di Sidoarjo. 

Namun, ‘keunggulan’ menurut penilaian saya sendiri tersebut hanya bersifat sementara, karena selepas lulus dari Smanisda, Ivan langsung melebarkan sayapnya hingga ke kota fashion, Bandung. Hingga akhirnya diterima di ITB jurusan Sistem Informatika. Keputusannya untuk mengembangkan sayap hinga mendekati ibu kota, tak lain karena ingin mengikuti jejak kakaknya, Favian Dewanta, yang setahun sebelumnya berlabuh di STT Telkom Bandung. Sampai saat itu dan bertahan hingga kini, penilaian saya terhadap Ivan sudah jempol dua alias luar biasa. Saya mengakui segala keunggulannya dan mengakui segenap kelebihannya. Ivan sudah membuktikan bahwa kecerdasan itu butuh konsistensi, kerja keras dan semangat berdjoeang untuk dapat mempertahankannya. Ia membuktikannya saat mulai Sekolah Dasar, menengah pertama, hingga SMA. Dan kini saat menyelesaikan strata satunya di sebuah perguruan tinggi yang juga menjadi kampus favorit seluruh anak negeri. Di waktu senggangnya menunggu tes seleksi beasiswa ke Jepang, ia pun sibuk menjadi asisten dosen dalam sebuah penelitian.

Doa dan dukungan moril untukmu selalu kawan..!
Semoga kepakan sayapmu semakin lebar hingga negeri Samurai Jepang..

(* dua sifat iri yang diperbolehkan Islam yaitu dalam hal bersedekah dan menuntut ilmu)
Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lalu dia belanjakan pada jalan yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan lalu dia melaksanakan dan mengajarkannya. (HR. Bukhari) 



17 January 2012

Inspirasi dari Pedjoeang




Saat merapikan tumpukan buku di lemari kecil, mata saya terpaut sebuah buku diantara buku-buku lain yang saling tumpang tindih. Sampul buku yang berwarna putih dan bergambar karikatur penulisnya tersebut, mengingatkan saya tentang asal-usul buku inspiratif tersebut. 

Judul buku kecil itu cukup membuat siapa saja menjadi penasaran tentang isinya, belum lagi jika tahu latar belakang penulisnya yang penuh semangat dan tak pernah menyerah dengan keadaan, dan mengibaratkan kehidupan yang dijalaninya sekarang sebagai medan perdjoeangan yang takkan pernah berujung. 


Melalui motto “Hidup adalah Perdjoeangan”, Romi Satrio Wahono, yang akrab disapa mas Romi (namun sekarang menjadi Pak Romi) menulis apa yang dialami, dirasakan, didengar, dilihat, dan segala sesuatu yang pernah ditangkap oleh panca inderanya. Sampai-sampai beliau mengibaratkan untuk menulis yang baik tidak cukup menggunakan hati. Namun juga harus melibatkan kaki, tangan, telinga, dan seluruh anggota badan lainnya, agar tulisan tersebut dapat menjadi baik, dan tak hanya sekedar baik- menurut pandangan M. Fauzil Adhim (tambahan penulis-red).

"Dapat Apa sich dari Universitas?" menjadi judul dari sebuah buku yang isinya berupa catatan-catatan dari sebuah blog milik sang penulis. Dengan bekal sepuluh tahun berkelana mencari ilmu di negeri matahari terbit, Jepang, beliau ingin memberikan pencerahan kepada siapa saja yang ingin belajar ilmu komputer secara gratis..tis. Melalui blog RomiSatrioWahono.net dan situs ilmukomputer.com, beliau bertekad menyebarkan virus ilmu pengetahuan untuk siapa saja tanpa membedakan latar belakang, suku, ras, agama, maupun nasab keturunan. Dengan slogan “ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya” Beliau berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memotivasi para generasi muda agar haus dan tamak ilmu, bukan tamak harta. 

Beliau menceritakan dalam bukunya, tak mudah memang memulai perdjoeangan. Butuh pengorbanan yang tak sedikit, tak hanya fisik dan mental, namun juga materi dan waktu juga dituntut lebih banyak agar dapat berhasil. Seperti saat beliau menceritakan pengalaman pertama kalinya masuk Universitas di Jepang. Dengan bekal penguasaan bahasa jepang yang dikiranya sudah mumpuni untuk mengarungi dunia keilmuan di Jepang,  ternyata salah besar. Penguasaan bahasa jepangnya ternyata hanya sampai dalam taraf penguasaan bahasa jepangnmya anak-anak SD dan SMP. Alhasil, awa-awal masuk kuliah beliau harus ketinggalan dengan rekan-rekannya sesame mahasiswa jepang yang lain. Bayangkan, ketika teman-temannya sesama mahasiswa berhasil  menyelesaikan satu halaman buku dalam tempo dua sampai tiga menit, sedangkan beliau kala itu harus memeras otak dan mata lebih lama selama 30 menit. 

Maka tak ada jalan lain kecuali dengan banyak belajar. banyak membaca, banyak membeli buku, dan banyak mengurangi tidur. Ya, mengurangi tidur merupakan satu dari beberapa tips sukses ala Romi Satrio Wahono. Tips lainnya yaitu banyak minum air putih dan banyak membaca biografi tokoh-tokoh hebat (tujuannya jelas, supaya kita banyak belajar dari perjalanan hidup sang tokoh tersebut). Beliau sendiri, menceritakan dalam bukunya, tidak pernah pulang dari kantornya sebelum jam dinding berdentang sebanyak dua belas kali. Prinsip hidup yang dipegangnya pun luar biasa: tak apa mati muda, asal berguna. Buat apa panjang usia, kalau hidupnya hanya membuat susah dan tak memberikan kontribusi apa-apa, Subhanallah..!! Tak mengherankan, jika beliau tak hanya mengusai bidang komputer alias spesialis computer, namun juga menjadi seorang versatilist, yang tak hanya menguasai satu bidang tertentu, namun dapat berbicara lebih dari satu bidang disiplin ilmu. Istilahnya adalah kutu loncat, yang dapat hinggap kesana kemari, karena kemahiran ilmu yang dimiliki. Seperti yang beliau tuangkan dalam goresan yang ada daam bukunya. Secara tersirat, beliau memiliki kemampuan manajemen, agama, politik, sosial dan bakat menyederhanakan sesuatu yang dianggap sulit menjadi lebih mudah. Dengan pengalamannya yang segudang, beliau pun seolah menjadi seorang konsultan dan psikolog yang memberikan jalan keluar terhadap setiap mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam meraih IPK tinggi, atau yang sedang galau dan kurang semangat dalam kuliah. Tips yang diberikan pun rasional, halalan thayyiban, dan simple. 

Tak banyak yang dapat ditulis, selain rasa kekaguman saya terhadap beliau. Ucapan terimakasih yang terhingga, sehingga saya dapat termotivasi untuk menuliskan sesuatu. Dan pada akhirnya, motivasi tersebut, saya tuangkan dalam blog seperti yang pernah beliau pesankan dalam buku. Rasanya ada kerinduan menantikan karya-karya beliau yang lain, maturnuwun Pak Romi Satrio Wahono. Tetap dalam Perdjoeangan..!!