6 June 2014

Saat Guru Fakir Ilmu

Hari keempat Ujian Kenaikan Kelas (UKK) SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, artinya juga sudah dua kali juga menjadi pengawas ruang kelas yang menjadi tempat ujian. Disaat yang sama, saya menemukan beberapa fakta, yang menuntut saya untuk selalu tamak ilmu, bukan tamak harta, tahta, apalagi wanita. Di satu sisi saya juga menangkap sebuah pelajaran berharga, betapa profesi seorang Guru dituntut untuk serba bisa dalam segala hal..

Hari pertama, Selasa (3/6) ketika mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika dan Ke-Muhammadiyahan (KMD), saya tidak terlampau sulit untuk melayani pertanyaan dari para murid, baik kelas tujuh ataupun kelas delapan. Meskipun dulu ketika masih di bangku SMP tidak pernah menjadi juara kelas, dan kurang begitu antusias dengan pelajaran hitung-menghitung (entah, motivasi belajar saya ketika SMP begitu buruk :(), namun setelah meihat dengan seksama soal yang ditanyakan, bagaimana cara atau rumus untuk mengerjakannya, saya akhirnya berucap lirih namun pasti: b i s a!

Pun demikian dengan pelajaran KMD. Bekal belajar selama mengaji di TPA (Taman Pendidikan Alquran) Nurul Huda, serta mengkaji di majelis-majelis ilmu yang ada di kota domisili, setidaknya memberikan bekal untuk paham, khususnya dalam sejarah perjalanan Persyarikatan. Hanya sedikit yang menjadi hambatan, salah satunya adalah ketika para siswa selesai mengerjakan soal dan mengembalikan lembar jawaban, secara teknis saya masih kurang begitu lancar, baik dalam menyusun kembali lembar jawaban maupun soal yang telah dikembalikan. Ketelitian juga menjadi catatan, karena saya kadang melewatkan tanda tangan berita acara, penyusunan lembar jawaban dari yang terkecil hingga terbesar, dan lain sebagainya. Maklum, masih calon Cik Gu..

Namun, menginjak hari kedua, saya kembali kepada topik awal,  bila Guru harus selalu meng-udate ilmu. Saat menjadi pengawas hari kedua, dengan matapelajaran yang diujikannya adalah IPA. Ketika salah seorang siswa beranjak kedepan menghampiri saya dan bertanya salah satu soal yang tidak ada pilihan jawabannya, dan kemudian siswa tersebut menjelaskan alur pemikiran untuk menyelesaikan soal tersebut dengan memaparkan step by step rumusnya, saya akhirnya membatin, betapa fakir ilmu diri ini, betapa sombong akan kemampuan yang dimiliki. Karena saya hanya bisa manggut-manggut mendengar penjelasan yang diberikan siswa, dan menyampaikan kata pamungkas: dihitung lagi dengan teliti, nanti pasti ketemu jawabannya ya..

Bel tanda berakhirnya ujian belum berbunyi, masih banyak juga ternyata para siswa yang bertanya, entah itu pertanyaannya seperti, apa pengertian dari resonansi; lampu pijar itu yang seperti apa, hingga pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat saya terkekeh bin ketawa..haha. Lebih dari itu, tekad saya untuk belajar IPA juga semakin membulat.

Ternyata, ujian jam pertama seolah menjadi testcase bagi saya, di paroh kedua ujian yang mengetengahkan matapelajaran khas sekolah Islam, ya dialah Bahasa Arab! Bekal bahasa Arab dasar selama di TPA, ternyata masih kurang mumpuni untuk menjawab soal-soal Bahasa Arab yang ada di SMP. Saya kemudian bertanya pada diri saya, kemana saja saya selama ini, hingga tak sempat untuk belajar bahasa yang ada dalam kitab petunjuk dan penerang, Alquran-al-kariim tersebut. Untungnya, salah seorang pengajar Bahasa Arab, Ustadz Ardian, yang lulusan Mesir dan bergelar Lc., masuk kelas yang saya jaga dan menawarkan kesempatan untuk bertanya bagi para siswa.

Hah, tekad saya pun semakin membulat tiga ratus enam puluh derajat, saya harus belajar..belajar..dan belajar! “Dan mengajarkannya adalah satu bentuk mengaplikasikan ilmu tersebut menjadi seratus persen, dan hanya empat puluh persen saja, bila kita hanya belajar teorinya,” nasehat Pak Puji, Guru Bahasa Indonesia di Smanor.


*Porong, 6614
Ketika Kumandang Salat Wustho Memanggil dan Menggema



0 komentar: