11 October 2014

Pecel Mak Yati: Maknyus Bergizi tanpa Penyedap Imitasi

Berbahagialah, ketika kita menjadi salah satu bagian dari keluarga besar pencinta kuliner Indonesia. Mengapa? Sebab, ketika kita membeli makanan di sebuah warung , café, or restoran, maka di dalamnya kita menjadi bagian dari entitas yang disebut penjual dan pembeli.

Lebih dari itu, hubungan yang terjalin pun sudah terbingkai dalam ikatan persaudaraan. Bukan lagi “kita puas, kita bayar”, atau “tarif porsi sesuai permintaan lidah."

Maka, disaat “ikatan” penjual-pembeli sudah terlampaui, yang dalam prosesnya membutuhkan waktu lebih dari sehari, maka di saat itu pula kehadiran kita di warung langganan dirasakan menjadi sangat berarti bagi penjualnya.

Kedatangan kita begitu dinantikan. Kehadiran kita begitu dirindukan. Kita pun seolah menjadi bermakna dalam kehidupan. Ketidakhadiran kita seperti membuat ruang kosong, maka ketika kita kembali mencicipi kuliner yang itu juga dirindukan oleh lidah, maka klop-lah, antara kita dan penjualnya, ada ikatan simbiosis, mutualisme.

**

Cuplikan kalimat di atas adalah ungkapan perasaan pagi tadi (11/10/2014), ketika “bereuni” dengan salah seorang penjual kuliner yang sejak tahun 2009 menjadi langganan tetap dalam menu sarapan pagi. Pecel Mak Yati, panganan pecel khas Kertosono-Nganjuk,  yang warungnya menyewa lahan di Jemur Gayungsari gang II. Dari Graha Pena-Surabaya, kurang lebih arahnya 500 meter ke sebelah selatan.

Pertama kali menginjakkan kaki di Gedung Graha Pena bertinggi 21 lantai, lima tahun lalu itu, tak butuh waktu lama membuat lidah saya menjadi ketagihan dengan menu utama warung Mak Yati itu. Panganan yang berbahan cacahan sayur yang disiram bumbu pecel khas Kertosono itu rasanya maknyus dengan tambahan ceplok telur, tempe goreng, plus peyek ikan teri.

Bahkan, sebelum sinar matahari menyembul di ufuk timur, para pekerja dari Graha Pena Surabaya menjalani rutinitas untuk bersarapan ria dan menjadi golongan pencinta Pecel.  

Walah, wong namanya pecel juga sama saja, banyak juga tersebar dimana-mana,” kata beberapa teman yang kadang nyinyir dengan dan ga suka Pecel.

Maklum, argumen mereka terbangun karena belum pernah merasakan cita rasa pecel yang tak hanya enak, namun juga menyehatkan.

Dibilang menyehatkan, karena jelas-jelas panganan tersebut terdiri dari sayuran yang tentu banyak mengandung vitamin, mineral dan serat.

Kedua, dalam penyajian menu yang terdiri dari bumbu, lauk, sayur, maupun pelengkap berupa peyek teri, penjualnya, Mak Yati, tak pernah sekalipun memakai penyedap rasa seperti MSG, vetsin, micin, dan sejenisnya.

Micin seolah menjadi musuh utama dari Mak Yati ketika menjadi penjual kuliner. Jangan pernah berharap di warung pecel tersebut akan menemukan penyedap buatan, karena semuanya dijamin alami.

Mak Yati pernah bercerita, sudah puluhan tahun yang lalu dia hanya menggunakan garam dan gula sebagai penyedap rasa pengganti vetsin. Salah seorang yang menjadi faktor “penyebabnya” adalah sosok sang suami.

Sang suami, kata Mak Yati, akan marah besar jika dia menambahkan penyedap sintetis dalam tiap makanan yang dibuat. “Nggarai mbodohi utek (membuat otak bodoh),” tegas Mak Yati menirukan ucapan sang suami ketika itu.

Well, semoga Mak Yati diberi kesehatan dan kekuatan untuk tetap “berkarya”, menjaga cita rasa panganan khas Nusantara tersebut. Berkibar tinggi menebarkan ke-“laziz”-an pecel Kertosono yang maknyus bergizi tanpa penyedap imitasi. #salamsaturasa

(darul)








1 komentar:

jaket kulit said...

salam hangat dari kami ijin menyimak sahabat dari kami pengrajin jaket kulit