11 April 2015

Sepenggal Kisah Wisuda (2/habis)

Jadi begini, ketika kita punya kenangan dengan apapun itu, maka saat bertemu kembali dengannya, sedikit banyak kita akan mengenang masa-masa bersamanya. Seperti itulah saya ketika mendapati kenyataan Wisuda ke-82 Unesa akan diadakan di DBL Arena, bukan di GOR Bima-Lidah.

INSTAGRAM: 23 Juni 2013

Haru. Betapa tidak! Dulu, sekitar tujuh tahun lalu, ketika diri ini untuk pertama kalinya menjejak kaki di Graha Pena. Info lowongan kerja yang dibaca pada kolom iklan baris hari Sabtu di Jawa Pos, mengantarkan langkah kaki hingga sampai di markas koran terbesar di ujung timur pulau Jawa itu. 
Hanya berbekal selembar ijazah cuma-cuma dari SMA, ditambah semangat jihad fi sabilillah, membulatkan tekad pada diri untuk mengubah keadaan, dari tiada menjadi ada, dari kutu kupret menjadi kutu loncat—kutipan khas Pak Romi Satria Wahono, dengan harapan agar dapat menjadi kenyataan—red.

Bukan waktu yang singkat untuk dapat bertahan di rumah keluarga besar Jawa Pos Group tersebut. Bukan pula semudah membalik telapak tangan untuk dapat mengatur waktu, dan kemudian membaginya antara kesibukan kerja dan kuliah. Menjadi mahasiswa dua kaki. Menjadi pekerja dua hati. 

Pernah ada suatu masa, ketika musala di lantai dua menjadi teman tidur setia. Hanya karena ketika jam pulang malam shift dua yang pukul sebelas itu aras-arasen—malas—terj, akhirnya musala menjadi sasaran. Ada pula masa, ketika kamar mandi redaksi yang ada di lantai empat menjadi target, agar bau badan sedikit berkurang ketika masuk shift pagi. Begitulah sedikit ingatan yang disebut dengan kenangan itu.

Maka saya begitu naif, ketika menyebut gelar yang saya dapatkan ini murni karena kerja keras, keuletan, dan sikap pantang menyerah dari saya seorang, itu salah besar. Karena sesungguhnya ada banyak tangan-tangan yang digerakkan oleh Allah untuk membantu hambanya yang lemah dan tanpa daya ini. Ada doa-doa terpanjatkan. Dan itu semua karena Allah yang memberi jalan atas semua kemudahan.

Saya akan mengingat mereka, kawan seprofesi di ring satu (sebutan untuk “pasukan” garda terdepan) yang telah memberikan sumbangsih waktu, tenaga dan pikirannya untuk saya. Mereka mungkin disebut golongan—maaf-- “pekerja kelas bawah”, namun percayalah dari merekalah saya menemukan pelajaran berharga: “jangan pernah menilai isi buku dari sampulnya”.

Kenyataannya memang, ketika dugaan awal yang mengatakan tidak adanya teman baik dalam pekerjaan akhirnya terbantahkan. Di Graha Pena ternyata berterbaran, mereka-mereka yang tulus, ikhlas, dan berhati mulia. Pengalaman pribadi selama kurang lebih enam tahun disana (2008-2014) menjadikan saya sedikit membuka diri dan mengasah kepekaan dengan realitas sosial para buruh jasa—jika boleh mengatakannya—dengan “mata yang lebih terbuka”.

Itulah mengapa ada perasaan haru ketika mengikuti prosesi wisuda yang lalu. Ketika tiba di Graha Pena saya masih bisa bercengkrama dengan mereka, Mas Syaifulloh, Mas Murindae, Mas Anton, dan Mas-mas serta Pak-pak lain, yang tak dapat disebut satu-persatu—semoga Allah memberikan kelipatan atas kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya, aamiin.


Terakhir adalalah berat. Beratnya tanggungjawab yang teremban usai wisuda dirampungkan. Dari ikrar yang diucapkan bersama-sama, dari gelar yang merupakan amanah, dan dari harapan masyarakat yang dibebankan pada pundak kami semua. Semoga Allah selalu meridhoi jalan kami, jalan para PEDJOEANG yang tak hanya haus gelar, namun juga haus ilmu dan prestasi. 

Jasem-Wonoayu-Tulangan-Porong 110415
–dalam degup niatan bersegera—

TERIMA KASIH: Hasil Bidikan Sholeh Ugeng, Salah Satu Kawan di Graha Pena


0 komentar: