22 April 2015

Sekuler

Api Tauhid, novel terbaru Habiburahman El Shirazy tak hanya mengulas bagaimana rona kisah cinta antara Fahmi dan Nuzula. Disamping roman tersebut, penulis yang akrab disapa Kang Abik itu menceritakan pula kisah perjuangan seorang pahlawan akidah, dialah Badiuzzaman Said Nursi.

Bisa dibilang, Said Nursi merupakan ulama lintas zaman. Ia lahir ketika Khilafah Utsmani masih kokoh berdiri. Ketika masa Sultan Abdul Hamid yang amanah menjalankan sistem khilafah, Said Nursi ingin memberi masukan pada kebijakan yang diambil Sultan. Ketika itu, tidak sedikit warga Turki yang mulai banyak “terkontaminasi” dengan gaya hidup barat. Maklum, Turki adalah negara dua benua, Eropa dan Asia. Masukan dari Said Nursi hampir saja dijalankan, namun sayang, “rongrongan” dari luar rupanya banyak menggoyahkan keteguhan Sultan, dimana saat itu kekuatan Ottoman sudah mulai berkurang.

Menjelang kekhilafahan Utsmani runtuh, kobar perjuangan Said Nursi belum padam. Bahkan ketika tampuk kekuasaan bertransisi ke arah sekuler, dimana pelajaran agama dihapus, para ulama diberangus, sampai pada hal lafadz adzan pun diganti dengan bahasa Turki, Said Nursi tak berdiam diri. Saat fatwa para ulama dibungkam menurut hawa nafsu pemerintah, Said Nursi enggan menerima. Baginya, harum Islam harus tetap disebar, jangan karena rendah diri, nama Islam kemudian dikucilkan dari peradaban. Paham sekuler merupakan ideologi yang memisahkan ranah agama dengan dunia. Bagi penganut sekularisme, membawa-bawa agama hanya akan membawa masalah. “Jauhkan agama dari tempat umum, masukkan dia ke ruang privat,” kata mereka.

Gaung pengaruh sekuler rupanya terendus sampai Indonesia. Peran Islam dalam sejarah kemerdekaan tak banyak ditampilkan. Buku-buku sejarah yang seharusnya menyajikan fakta sejarah yang sebenarnya tertutupi beragam kepentingan sentimen agama. Nama-nama ulama dan pejuang Islam mendapat porsi lebih sedikit dalam materi sejarah di sekolah. Akibatnya pun bisa ditebak. Generasi muda Indonesia lebih mengenal Kartini daripada Nyai Walidah. Mereka kurang familiar dengan Dewi Sartika dan Rohana Kudus. Mereka lebih senang Kartinian daripada Cut Nyak Dien-an, atau Malahayatian. Impact-nya lebih jauh bisa ditebak, ghirrah—semangat dalam beragamanya tidak lagi militan. Fanatiklah pada klub sepak bola, pada bintang korea, jangan fanatik beragama. “Agama hanyalah candu,”kata Nietzche.

Jika sudah demikian, apa yang dikhawatirkan dari virus sekularisme akan menjadi kenyataan. Mereka—para generasi muda, akan memberikan disparitas antara ilmu agama dan ilmu dunia. Ilmu dunia akan diposisikan pada masalah dunia, ilmu agama akan ditempatkan pada ranah akhirat. Mereka akan sulit menangkap dan membaca “ayat-ayat tersirat”.  

Tak salah ketika di dalam kelas, seorang guru Penjasorkes dalam mengawali materi lompat jauhnya, memberikan pemahaman pada seluruh murid betapa pentingnya mengungkap fakta sejarah yang lurus. Guru tersebut menyampaikan argumen, bila di masa Kartini hidup, banyak nama-nama pejuang wanita yang tak kalah gigih berkorban demi pemberdayaan dan kemerdekaan.

Namun sayang, upaya sang guru belum bisa ditangkap salah seorang murid. Dalam sebuah diskusi, murid tadi bertanya pada sang guru; “apa hubungannya Kartini dengan Olahraga?” Guru tersebut hanya bergumam dalam hati,”banyak-banyaklah membaca, Nak, kau akan tahu sendiri.” Kendati di bagian hatinya yang lain dia ingin berucap lirih,”di Jepara itu ada Stadion Sepak Bola yang bernama Gelora Bumi Kartini.”

Porong, 220415
Ketika Mayantara membawa Imajinasi Nyata



*gambar:http://opinion.bdnews24.com/

0 komentar: