4 May 2015

Pak Guru: Potret Kehidupan “Oemar Bakrie” di Pedalaman Lamongan

“Kau tahu, Musa, apa tanda perbuatan kita akan mengantarkan ke surga?”

“Jika ada setan menghalangi, itulah tanda perbuatan kita benar. Ingatkah kamu kisah Ibrahim ketika ia menerima perintah menyembelih Ismail? Berhari-hari Ibrahim berpikir apakah ini perintah Allah atau sekadar bunga tidur. Ia bawa Ismail ke bukit dengan hati ragu-ragu. Tapi di jalan, iblis menghalang-halangi, maka yakinlah Ibrahim bahwa perbuatan itu benar-benar perintah Allah!” (Cuplikan Novel Pak Guru, hal. 307)

Mendengar kata Guru, pandangan sebagian dari kita akan terlempar pada sosok yang cerdas, penuh kharisma, berwibawa, dan lekat dengan keteladanan bagi muridnya. Namun, tunggu dulu, kita pun perlu menyodorkan sebuah logika: sosok guru juga manusia. Jika sudah demikian, maka tak perlu heran jika banyak kekurangan dan kealphaan dari seorang Umar Bakrie, karena sekali lagi, dia pun manusia. Tapi sejenak kita merenung, selain kembali pada FITRAH sebagai manusia, sosok guru juga harus meluruskan KHITTAH (garis besar perjuangan).

Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa guru mempunyai 4 kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional serta kompetensi sosial. Nah, melihat kenyataan diatas, guru tak selayaknya menjadi manusia yang sama dengan manusia kebanyakan. Lho? Dalam hal kompetensi kepribadian, jika dianalogikan mahasiswa yang baru lulus kuliah dan mendapatkan nilai IPK, maka seorang guru harus mempunyai kepribadian yang ber-IPK diatas 3,00 atau yang lebih radikal dia harus cumlaude dalam kompetensi kepribadian.

Dalam novel Pak Guru, setidaknya kita dapati gambaran dan dinamika kehidupan guru. Lika-likunya menjadi berharga, ketika banyak nilai-nilai kearifan yang terkandung dalam novel bertebal 328 halaman ini.

Novel yang berlatar pedalaman Lamongan pada tahun 70-an itu menggambarkan sosok Musa, guru yang baru saja diangkat menjadi kepala sekolah di SDN Sidomulyo. Sebagai guru baru yang belum kenyang pengalaman, dia merasa berat ketika Pak Danutirto, kepala sekolah sebelumnya, menunjuk Musa untuk menerima tongkat jabatan sebagai kepala sekolah yang baru. Musa yang dianggap Pak Danutirto sebagai sosok yang berdisiplin tinggi dan penuh tanggungjawab dalam mengemban tugas dianggap paling cocok untuk menggantikan Pak Danutirto yang harus pensiun.

Padahal, jika melihat peta senioritas, masih ada sosok Pak Sarkowi, guru yang umur dan pengalamannya lebih tinggi dari Musa. Namun, Pak Danutirto mempunyai pandangan lain, maka dia tetap memilih Musa untuk menggantikannya. Karuan saja, keputusan sang kepala sekolah menjadikan iri hati Pak Sarkowi. Sebagai guru paling senior di sekolah yang sekelilingnya daerah pertambakan itu, dia merasa dilecehkan. Sejak Musa diangkat sebagai kepala sekolah baru, api kecemburuan Pak Sarkowi makin membesar. Dia mengannggap Musa anak kemarin sore yang tak pantas menjadi kepala sekolah.

Dalam tiap rapat guru yang dipimpin Musa, Pak Sarkowi selalu mencari alasan untuk enggan menghadiri. Dalam tiap kesempatan bertemu para guru yang lain, Pak Sarkowi selalu menghembuskan api permusuhan pada Musa, sang kepala sekolah. Puncaknya, ketika Musa menolak pengajuan KPN (Koperasi Pegawai Negara) yang diajukannya Pak Sarkowi. Bukan tanpa alasan Musa menolak permintaan tersebut. Menurut Musa, gaji guru yang tak seberapa, lalu banyak potongan, maka guru dikhawatirkan banyak mencari obyekan di luar. Para murid pun yang menjadi korban. Namun, karena sudah diliputi rasa kebencian, kebaikan yang disampaikan Musa tak berarti apa-apa dihadapan Pak Sarkowi.

Lain fragmen, Musa juga berhadapan dengan Bu Eni, guru pindahan dari SDN Alun-alun, sekolah yang berada di kawasan kota. Keinginan awalnya menjadi pegawai kantoran tak kesampaian karena Bapaknya menginginkan dirinya untuk jadi guru. Akibatnya pun bisa ditebak, dia banyak melamun ketika berada di kelas. Raganya berada di depan murid-muridnya, tapi pikirannya melanglangbuana kemana-mana. Penampilannya pun tak seperti kebanyakan guru pada umumnya. Jika digambarkan, sosoknya seperti etalase berjalan. Kegemarannya membaca majalah mode ibukota menuntutnya untuk selalu ikut tren. Gaya hidup dan cara berpakaian pun lebih banyak berkiblat pada majalah mode tersebut.

Ketika para guru pada saat itu paling mentok memakai sepeda pancal, Bu Eni nekat ingin memiliki motor. Setelah pengajuan KPN-nya tak disetujui kepala sekolah, dia memutar otak. Di dekatinya kepala sekolahnya dulu di SDN Alun-alun yang juga adik dari bapaknya itu untuk bisa pinjam KPN. Akhirnya dia menjadi guru pertama di sekolah itu yang memakai motor. Selain bekerja sampingan sebagai pedagang kosmetik pada para ibu-ibu, lama-lama ia juga menjadi joki dalam meloloskan murid-murid SD ke SMP negeri. Bu Eni dikenal mempunyai banyak channel pada orang dalam SMP. Tentu, untuk urusan tersebut tidak gratis, alias pasang tarif. Sebagai kepala sekolah, Musa tak ingin praktik ketidakjujuran tersebut tumbuh subur. Baginya, menuntut ilmu harus diperoleh dengan jalan kebaikan, bukan dengan sogokan.

Mulailah dia menjalani “jihad” memberantas kemungkaran yang terjadi di depannya dengan tangan (kekuasaan sebagai kepala sekolah). Bukan dengan jalan kekerasan, namun dengan cara yang moderat dan elegan, yakni mendatangkan sosok Ustadz. Cara tersebut rupanya ampuh ketika Ustadz tersebut memberikan nasehat pada para walimurid kelas 6 agar tak menggunakan cara-cara haram dalam memuluskan jalan anaknya untuk menuntut ilmu. Walimurid akhirnya lebih banyak menggunakan jalan legal. Musa lega, praktik kotor “bawah meja” tak terulang.

Novel besutan Awang Surya ini merupakan novel persembahan untuk “Musa” Mudjib Sholeh yang tak lain adalah guru, kepala sekolah dan bapaknya. Satu pesan kuat dalam novel ini, jika kita menempuh jalan kebenaran, akan selalu mendapat perlawanan dan hambatan dari setan. Musa tak ingin para guru menjadi sosok konsumtif, sehingga gajinya tak menjadi berkah bagi keluarganya. Dia juga tak ingin cara-cara kotor dilalui, hanya karena keyakinan yang kurang pada keberhasilan. Musa selalu ingat pada nasehat Haji Husin, kakaknya yang juga anggota Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan, ketika sakit dia menyempatkan untuk menguatkan hati Musa.

“Kalau sekarang ini kamu mengajak anak buahmu hidup bener, tapi mereka menolak, itu tanda perbuatanmu benar. Jangan ragu…, hadapi! Insya Allah pertolongan Allah akan datang tepat pada waktunya.”
Judul : Pak Guru
Penulis: Awang Surya 
Penerbit: Ersa-Jakarta (2014)


PENULIS: Awang Surya

0 komentar: