26 May 2015

Malu dan Mentalitas Bangsa Kulit Gosong


Ahad pagi saya mengantar adik kembali ke kampus. Berangkat dari Porong dengan motor merah perjuangan. Seperti biasa, raya Porong jadi langganan motor kami. Jalan yang di sebelah timurnya membentang tanggul lumpur itu berbeda kontras dengan pemandangan di sisi baratnya. Hamparan bangunan yang rata dibongkar lebih banyak mendominasi. Selebihnya hanya alang-alang dan tumbuhan liar yang merajai.

Pemandangan saya tertimpuk pada motor yang diparkir di tepi jalan. Tak jauh dari motor tersebut seorang laki-laki berdiri. Membelakangi jalan raya, tanpa malu-malu kemudian menuntaskan hajatnya. Ya, pengendara motor tersebut dengan rasa percaya dirinya (maaf) kencing di tepi jalan. Jika itu dilakukan saat malam, saya menjadi lumrah, tapi ini dilakukan pagi hari, saat matahari sudah bersinarl terang, dan pemandangan menjadi gamblang. Astaghfirulah, saya berdoa, semoga adik perempuan saya tidak melihat pemandangan yang di banyak negara masuk daftar pelanggaran berat.  

Saya tidak bisa membayangkan mengapa dengan populasi yang mayoritas muslim, negara kita ini menanggalkan rasa malunya. Mereka salat dan menjalankan puasa, tapi kemudian buang apa-apa sembarang saja. Jika untuk membuang barang najis saja seperti air seni sendiri, mereka tidak punya rasa malu. Apalagi untuk membuang sampah dan mengotori lingkungan.

Membandingkan dengan Singapura yang terkenal bersih saya jadi ngiri. Mendengar negeri singa itu menerapkan denda besar bagi mereka yang membuang sampah sembarangan, saya jadi sakit hati. Dan sakitnya itu di…(halah). “Ada yang salah dengan negeri ini?” pikir saya. Salah karena dijajah Belanda, bukan Inggris. Salah karena dijajah terlalu lama hingga 3,5 abad lamanya. Hingga mentalitas terjajahnya sampai beberapa turunan.

Guru SMA saya yang kini menjadi kepala sekolah pernah memberikan nasehat. Karena terlalu lamanya terjajah, bangsa kita terbentuk mentalitas terjajah. Bangsa terjajah yang mempunyai mentalitas terjajah, yang salah satu diantaranya adalah mentalitas anti malu. Bangsa kulit gosong—begitu beliau menyebutnya—tak lain adalah sebutan untuk bangsa dengan mentalitas inlander. Mentalitas inlander akut salah satunya adalah tak berani menegakkan kepala. Malu tidak pada tempatnya, dan merasa bisa padahal aslinya tidak bisa apa-apa.

Dua mentalitas terakhir rupanya kembali menyeruak dalam trending topic terkini. Malu dan rumangsa bisa menjadi cerminan jika bangsa kita masih belum lepas dari mental tertindas. Kisruh PSSI dan Kemenpora yang berlarut-larut seolah merupakan gambaran nyata jika bangsa yang lepas dari penjajahan berkat rahmat Allah semata ini masih berkutat dengan masalahnya sendiri. 

Kemenpora sebagai otoritas tertinggi pemegang kebijakan olahraga bertindak overprocedur. Di bawah kendali Imam Nahrawi yang tak lain merupakan politisi, Kemenpora masuk dalam lubang jarum. Alih-alih lepas dan mengurai masalah yang membelit PSSI, campur tangan pemerintah melalui Kemenpora membuat masalah semakin semrawut. Pembekuan PSSI tanpa disertai blue print kompetisi pengganti menjadikan sepak bola nasional diambang sanksi.

29 Mei 2015 adalah batas akhir yang diberikan FIFA agar pemerintah (Kemenpora) tidak memberikan intervensi dalam urusan si kulit bundar. Lepas dari batas waktu yang ditentukan, kiamat kecil bagi persepakbolaan nasional. Kabar gugatan PSSI terhadap SK Kemenpora yang dikabulkan PTUN setidaknya membawa angin segar. Sepak bola tetaplah sepak bola, biarkan bola tetap bundar dan menggelinding di lapangan. Jangan pernah membawanya keluar menuju panggung politik yang liar.

Porong, 260515

*gambar: http://www.girlslife.com/



0 komentar: