26 May 2015

Dilema Sepak Bola di Negara Berpenduduk 220 Juta Jiwa

Opini Jurnalistik Olahraga | 13 Desember 2012


Sabtu (1/12) seharusnya menjadi hari yang indah khususnya bagi Timnas dan seluruh rakyat Indonesia. Betapa tidak, unggul sementara di grup B dan memuncaki klasemen pada perhelatan Piala AFF 2012. Indonesia yang pada pertandingan terakhirnya hanya membutuhkan hasil seri melawan tuan rumah Malaysia, harus gigit jari dan menelan pil pahit kekalahan dua gol tanpa balas. Kekalahan Timnas Garuda atas Timnas Harimau Malaya-julukan Timnas Malaysia, seperti mengulang kembali kekalahan yang dialami pada perhelatan Piala AFF 2010 lalu. Ketika itu, Timnas Merah Putih yang masih dibesut Alfred Riedl harus bertekuk lutut saat bersua Laskar Negeri Jiran di babak final. Kalah 3-0 pada laga away di kandang Malaysia, Indonesia hanya mampu membalasnya dengan skor 2-1 di Jakarta. Indonesia pun kalah agregat 4-2 dan mengubur dalam-dalam impian menjadi juara.

Awan kelabu prestasi sepak bola Indonesia, sepertinya tak mau beranjak dan tetap menaungi dunia persepakbolaan nusantara. Karut marutnya sistem kompetisi, kurang tegasnya peran pemerintah, hingga dualisme kepemimpinan di tubuh PSSI, seolah menjadi salah satu sebab gagalnya Timnas Indonesia menggapai puncak prestasi. Jangankan berbicara di level Piala Dunia, untuk tingkat ASEAN saja, Timnas kita belum menunjukkan taringnya. Faktor terakhir, dualisme kepemimpinan seolah menjadi momok seretnya prestasi Timnas dalam dua tahun terakhir.

KPSI (Komisi Penyelamat Sepak Bola Indonesia) mendeklarasikan diri sebagai tandingan PSSI sebagai upaya perlawanan atas ketidakadilan yang dilakukan Induk Organisasi Sepak Bola Indonesia itu terhadap kubu yang sebelumnya mendukung Nurdin Halid. Djohar Arifin Hussein sebagai pemegang otoritas tertinggi Induk organisasi itu pun meradang. Dampaknya pun bisa diprediksi. PSSI tak mengakui adanya liga bentukan lain, selain IPL (Liga dalam naungan PSSI). ISL (Indonesian Super League) yang menjadi liga tandingan IPL (Indonesian Premier league) di blacklist. Ultimatum pun diberikan, yang intinya, tidak mengakui pemain, pelatih, wasit, dan perangkat pertandingan lainnya yang terlibat di liga tandingan PSSI tersebut.

Ketika Joint-Comittee (JC) yang diprakarsai FIFA ingin menyatukan dua kubu yang berseteru pun akhirnya tak mampu. Kesepakatan yang sudah diteken pun akhirnya buyar, dan kedua kubu kembali memegang teguh kemauannya.  Para pemain yang merumput bersama klub ISL, dilarang bergabung Timnas. Atas keputusan itu, tak ada lagi nama-nama layaknya Firman Utina, Ahmad Bustomi, Patrich Wanggai, atau Christian Gonzales. Yang ada malah nama-nama pemain IPL yang bisa dikatakan minim skill dan belum teruji jam terbangnya. Pemain-pemain naturalisasi, seperti Raphael Maitimo, Toni Cussel, maupun Johny van Baukering pun belum menunjukkan skill terbaiknya.

Sulitkah Mencari Sebelas Pemain?

Jumlah penduduk terbesar kelima sedunia belum menjadi jaminan bagi Indonesia untuk menunjukkan prestasi terbaiknya. Dengan melimpahnya Sumber Daya Manusia yang ada di negara kita tercinta, tak sulit sebenarnya mencari sebelas pemain hebat untuk dibentuk menjadi Timnas yang kuat. Kita mestinya malu dengan Malaysia yang tak mempunyai pemain Naturalisasi tapi mampu menunjukkan prestasi. Bahkan bisa mengalahkan Timnas kita yang diperkuat sejumlah pemain impor yang masih diragukan nasionalismenya. Dua kali kekalahan beruntun dari Tim Harimau Malaya, seharusnya menjadi cambuk dan cermin bagi pemegang tertinggi otoritas persepakbolaan nasional. Jangan sampai dualisme kepemimpinan menjadi masalah yang berlarut-larut yang tak berkesudahan, yang berpengaruh tak hanya pada terhambatnya prestasi Timnas, namun juga pada iklim persepakbolaan nasional. Kita tak ingin karut marutnya persepakbolaan nasional malah menjadikan Indonesia menuai sanksi FIFA.

Jauhkan Sepak Bola dari Kepentingan Politis!

Pertarungan dua partai politik diduga juga berpengaruh dalam karut-marutnya persepakbolaan nasional yang tak kunjung usai. Dua partai yang berlatar belakang berbeda dan mempunyai kepentingan yang tak sama, menjadi salah satu faktor mandegnya prestasi dan iklim persepakbolaan Indonesia. Kita semestinya berkaca pada Thailand yang dalam beberapa tahun yang lalu juga diwarnai kisruh politik yang sempat membuat perekonomian negeri Gajah Putih tersebut ambruk. Namun, yang  perlu digarisbawahi, meskipun perekonomian dan stabilitas keamanann terganggu, namun iklim persepakbolaan negara yang bermata uang Baht itu tetap berjalan kondusif, urusan politik tidak sampai mencampuri.

Bila kita menengok kembali kekisruhan yang terjadi dalam tubuh PSSI, perlunya ketegasan pemimpin dari Menteri sebagai pembantu Presiden, agar dapat membuat regulasi dalam kepemimpinan yang berintegritas. Menteri Pemuda dan Olahraga sebagai pemegang komando kepemimpinan diatas ketua umum PSSI, seharusnya memberikan efek jera terhadap para provokator yang menghambat laju prestasi persepakbolaan nasional.

Diatas itu semua, upaya menyatukan kembali kepemimpinan dalam tubuh organisasi sepak bola terbesar di Indonesia ini wajib diwujudkan bersama agar negeri dengan rakyat yang mayoritas penyuka si kulit bundar ini dapat berbangga diri dengan tim nasionalnya. Dan, tentunya iklim kompetisi yang kondusif akan menarik pihak sponsor, yang berkorelasi positif terhadap kemampuan finansial klub yang bernaung dibawah organisasi PSSI itu sendiri.


Daftar Pustaka:
Harian Jawa Pos, terbitan Minggu, 2 Desember 2012
gambar: http://previews.123rf.com/



0 komentar: