16 August 2016

Resolusi Kemerdekaan RI: Menulis atau Mati!

Menjelang kemerdekaan, perlu kita mereformasi diri. “Merevolusi mental,”kata Pak Jokowi. Agar kemerdekaan lebih bermakna dan menjadi tonggak perubahan, baik bagi diri sendiri maupun untuk khalayak. Bukan itu saja, namun juga membredel niat pada khittahNya: beribadah.  

Beribadah dengan tujuan vertikal, dan tentu efek horizontal tidak lain agar bermanfaat untuk umat. Utamanya memberikan inspirasi dan berbagi pengalaman.  Lantas, mengapa harus dengan tagline menulis atau mati? Nggak ada yang lebih serem, hehe..

Adalah Much. Khoiri dengan karyanya Pagi Pegawai Petang Pengarang (P4). Berserak diantara buku baru yang barusan diborong tim Perpustakaan Musasi saat pengadaan buku baru. Tulisan dosen Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Unesa itu renyah untuk dikunyah, eh dibaca. Buku yang baru terlahap setengahnya itu memberi efek kejut. Melecut diri agar terus-menerus menulis. Tiada hari tanpa menulis, menulis setiap hari. Ibarat makanan, jika tidak makan ya mati. Begitulah.

Slogan tersebut juga mengadopsi semangat dari dosen bahasa Inggris itu agar ghirrah dalam menulis tetap menyala dan membara dalam dada. Menurut Pak Khoiri, tak ada teknik khusus dalam menulis. Hanya butuh tekad dan keistiqomahan. Selain itu juga harus membulatkan niat dan harus mau keluar dari zona nyaman, keterbatasan waktu adalah salah satunya. Khusus poin terakhir, keterbatasan waktu seringkali menjadi kambing hitam. Sering digaungkan ketika ditanya ihwal ketidakberdayaan dalam menulis produktif, atau dalam istilah lain istiqomah dalam jalalan menulis.

Menulislah dan terus menulis, pesan beliau acap kali dalam buku bergizi tersebut. Dengan selalu menulis, maka teknik menulis akan terbentuk dengan sendirinya. Barangkali kita juga harus melek fakta, jika bakat menulis hanya menyumbang 5%, sisanya yang lain disebar dengan keberuntungan 5% dan kerja keras 90%. Atas dasar tersebut, kita harus meyakini jika tidak ada yang tidak mungkin dengan kepiawaian menulis. Menulis atau menjadi penulis atau pengarang bukan hanya milik sastrawan atau jurnalis. Banyak dari mereka—yang kata Pak Khoiri lintas profesi—bergelut dengan dunia tulisan.

Fakta tersebut nampaknya semakin membuat siapa saja yakin, jika menulis tidak memandang kasta, suku, atau darimana dan berasal dari siapa kita dilahirkan. Keturunan darah biru atau darah putih nampaknya hanya menjadi penghias, bukan modal. Karena menulis tidak membutuhkan itu.

Saya termasuk salah seorang yang menjadi lintas profesi, dari mahasiswa-pekerja menjadi seorang pendidik-guru. Lika-liku perjalanan yang akhirnya menjadi pendidik di sekolah menengah pertama—dan itu belumlah final, menurut saya, hehe—membuat saya berpikir untuk sedikit membagi kisahnya.
Pengalaman selama menjadi mahasiswa-pekerja. Suka dukanya menjadi anak kost atau bagaimana rasanya ketika diterpa hujan maupun diterjang panas kala perjalanan dari kos-kosan menuju Graha Pena,tak lain merupakan inspirasi menulis yang memang Allah limpahkan ayat-ayat iqra’nya. Tinggal bagaimana kita menjaring dan mengejawantahkan dan menuangkannya dalam lekuk-lekuk tulisan yang indah dan bermakna.

Pertanyaannya sekarang, bisakah diri ini istiqomah menjalankan itu semua. Bisa, insya Allah bisa! Dengan memenej kembali waktu, dari membuka mata sampai menutup mata kembali, pasti ada yang ‘tersangkut’ dalam ‘jaring’ memori dan ‘tertuang’ dalam ‘kaleng’ keyboard.

Jika seperti itu, selayaknya kita memekikkan kata merdeka dengan antusias, ketika nanti ada karya kita yang terbit. Dibaca khalayak, dan menjadi prasasti untuk anak cucu. Bismillah.(*)


Perpus Musasi, 150816
Terjerembab Inspirasi_


0 komentar: