29 May 2014

Berkompetisi, Bersaing, dan Berlomba-lomba

Pada postingan sebelumnya, saya sedikit menyentil perihal mental berkompetisi yang sudah kita kantongi semenjak kita masih belum terlahir ke dunia. Dengan status berupa sel sperma, kita berebut, berkompetisi, dan bersaing tidak dengan satu-dua lawan saja, tapi dengan ribuan, bahkan jutaan competitor sel-sel sperma yang lainnya menuju satu tujuan: indung telur!

Sama halnya dengan pertandingan sepak bola. Persaingan menjadi nyata manakala dua tim yang bertanding mempunyai kekuatan yang berimbang. Dua-duanya menampilkan permainan yang sama-sama atraktif untuk bersaing dan berkompetisi menggapai kemenangan. Saling adu strategi dua pelatih di luar lapangan, kedua supporter sama-sama memberikan dukungan yang atraktif pada timnya masing-masing, serta dua puluh dua pemain yang saling menampilkan kemampuan terbaiknya di lapangan hijau dengan porsi peran yang telah ditentukan pelatih kedua kesebelasan. Jadi, bisa disimpulkan, persaingan sepak bola yang sesungguhnya adalah ketika dua tim yang sedang bertanding sama-sama menampilkan kemampuan terbaiknya untuk meraih kemenangan. Mereka sangat yakin dengan ungkapan; bermainlah dengan cantik dan atraktif,  niscaya kemenangan hanya tinggal menunggu waktu!

Jika bicara tentang persaingan, saya jadi teringat masa sekolah enam tahun alias SD dulu. Di jaman yang lekat dengan seragam putih merah tersebut, saya tak ubahnya menjadi petarung yang sangat bernafsu untuk menjuarai sebuah kompetisi. Saya kurang paham apakah faktor sekolah desa sehingga tingkat persaingan menjadi kecil dan tipis. Namun yang perlu digaris bawahi pada saat itu adalah tingkat persaingan yang tidak kalah dengan pertandingan sepak bola, yakni ada partner bersaing yang sama-sama kuatnya.

Dibanding dengan pesaing saya yang tak lain adalah anak seorang guru, rajin, dan kecerdasan yang bisa saya tebak karena faktor buah jatuh yang tak jauh dari pohonnya alias menurun dari kedua orangtuanya. Jika dianalogikan dengan saya yang…ah jika saya sebutkan akan kena ayat tujuh pada surat Ibrahim, jadi ya, Alhamdulillah tidak kalah dengan para partner saingan yang menurut saya sebenarnya kecerdasannya sedikit diatas saya (somsed*).

SMP tak lain merupakan pijakan selanjutnya dari SD, mental-mental petarung sebenarnya masih melekat dalam dada dan jiwa saya hingga awal-awal kelas satu. Kebetulan saat itu saat kelas satu semua siswa diwajibkan masuk siang, karena faktor jumlah kelas yang tidak mencukupi. Jika saya analisa, faktor masuk sekolah pada siang harinya itulah yang menyebabkan prestasi saya sedikit menurun, atau bahkan bisa dikatakan terjun bebas. Masa SMP yang seharusnya dijadikan sebagai tempat mencari jati diri rupanya belum saya temukan hingga tiga tahun tenggat waktu belajar yang diberikan di sekolah yang menjadi favorit nomor satu di kecamatan Porong itu.

Dan, efek belajar yang dijalankan tidak sepenuh hati dampaknya ternyata baru saya rasakan ketika akan mendaftar masuk dan melanjutkan jenjang belajar di SMK. Saya tidak tahu, kenapa saya dulu begitu penurut dan tidak dapat memberikan argumen penolakan pada orangtua. Sehingga ketika orangtua memberi fatwa harus bersekolah di SMK, walaupun dalam hati saya berteriak ketidakcocokan saya dengan pelajaran dan faktor lulusan yang menurut pandangan tak jauh-jauh dari mesin, bubut, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang begitu soro lainnya itu. Maka ketika saya akhirnya menyadari, jika takdir NEM yang tak mencukupi sehingga saya harus gigit jari untuk sekedar masuk SMK Negeri, dan harus merelakan pengalaman terdampar di sekolah swasta, cita-cita yang tak pernah saya bayangkan sebelumya.

Saya seolah dilemparkan ke masa lalu, dimana saya harus menjalani  aktivitas sekolah pada siang hari, waktu dimana anak-anak sekolah negeri senang karena sudah pulang, sementara saya dan banyak kawan-kawan yang lainnya berangkat sekolah dengan ketidakpastian ada gurunya atau tidak, maklum swasta. Tak bertahan lama sebenarnya saya menjadi murid swasta, jika saya pada saat itu, masuk triwulan pertama kelas satu, ketika ada pendaftaran disekolah baru di Sidoarjo dengan beragam akses gratis dan dapat uang saku, saya masuk dan diterima. Tapi ternyata, takdir Allah memberikan saya waktu untuk tetap menahan nafas, hingga satu tahun berikutnya. Atau ketika saya sudah berada di bangku kelas dua..


(*bersambung..menyambung kembali tali-temali tulisan masa lampau, untuk menggambar masa depan..)

0 komentar: