16 August 2016

Memerdekakan Bambu

Bambu. Apa yang anda bayangkan ketika menyebut nama rumput ajaib tersebut? Mungkin dari kita ada yang langsung membayangkan sebuah alat yang digunakan arek-arek Suroboyo ketika melakukan perlawanan terhadap sekutu? Atau ada pula pikiran kita melanglangbuana pada zaman ketika batu bata keberadaannya masih sangatlah terbatas? Jika masih belum ngeh atau masih mengernyitkan dahi ketika ditanya tentang bambu, sepertinya kita masih memperbudak bambu. Lho?!?

Surga bambu salah satunya adalah Indonesia. Banyak jenis bambu yang tumbuh subur di tanah gemah ripah loh jinawi itu. Dari beragam jenis bambu yang trubus, masing-masing mempunyai fungsi dan manfaat yang berbeda. Sayangnya, dalam gemebyar tanamanan bambu di nusantara,mayoritas masyarakat masih enggan untuk memanfaatkan bambu secara maksimal.  
Bayangkan, sejak zaman penjajahan hingga sebelum reformasi digulirkan, bambu hanya menjadi komoditi yang belum bernilai ekonomis. Paling banter dalam catatan sejarah, ketika bambu—yang sudah diruncingkan—menjadi senjata andalan melawan tentara sekutu, dan kini dibuatkan monumen untuk mengenangnya. Sekedar itu? Iya! Atau kalo tidak, pernah menjadi kebutuhan pokok masyarakat sebelum mengenal kemodernan dengan memasangnya pada dinding maupun langit-langit rumah. Nasib bambu masih merana, hingga kini.

Membaca berita Jawa Pos kian membuat hati ini miris. Ketika bambu-bambu kita dimanfaatkan Malaysia untuk membangun masjid bambu yang konon nilainya mencapai milyaran. Ya, di tanah jiran, bambu menjadi digdaya. Mereka menggunakan ilmu pengetahuan dalam memanfaatkan komoditi yang ramah lingkungan untuk pembangunan. Para pakar bambu di datangkan dari Jogjakarta. Banyaknya bambu jangan dibilang, panjang bambu 12 meter dikirim hingga tiga kontainer! Lagi-lagi kita tertinggal. Angka milyaran itu saya kira sebanding dengan ketahanan bambu yang katanya bisa awet hingga 70 tahun. Super!

Kita harusnya tidak kalah. Kita pun tak semestinya tertinggal. Potensi sumber daya bambu kita melimpah. Pakar kebambuan dari berbagai daerah pun tak pernah kehabisan stok. Hanya, ketika kita bicara tentang mentalitas, kita akui jika memang menjadi kelemahan kita. Mentalitas kita masih belum menghargai para pakar yang banyak mendedikasikan hidupnya untuk meneliti bambu. Kita—untuk tidak menyalahkan pemerintah—seringkali abai dengan nasib mereka. Maka ketika banyak negara memanfaatkan kebrilianan pikiran mereka, kita hanya bisa menonton, sambil menghisap jari kelingking.

Mentalitas kita pun masih sering terjajah dengan lebih memandang hijau rumput hasil karya negara lain. Komoditi dalam negeri acapkali menjadi terpinggirkan hanya gegara terlampau seringnya kita silau dengan pelbagai produk bermerk yang berlabel impor. Pikiran kita masih tersugesti, jika produk impor yang mahal pastilah bermutu baik dan awet. Produk sendiri dan buatan dalam negeri nanti dulu.

Itulah fakta. Kita hidup di negara dengan mentalitas terjajah. Para peneliti bambu sedih ketika mendengar stigma masyarakat kita. Mereka—masyarakat kita—menganggap bambu hanya diperutukan hanya untuk orang miskin.

Jangan nterpana jika tiba saatnya kita disentakkan dengan akselerasi negeri-negeri jiran yang dengan leluasa mengekploitasi kekayaan alam kita, disaat yang sama kita masih menutup mata dan telinga.
Maafkan para pahlawan, kami masih mengisi kemerdekaan dengan cara-cara yang kurang substantif. Kami hanya mampu beli bambu untuk memasang bendera, umbul-umbul, dan kerlap-kerlip lampu jalanan. Kami belum mampu melangkah mengangkat bambu seperti dulu. Jika dulu dalam keterbatasan, bambu mampu merebut kemerdekaan. Kini, bambu hanya komplementer. Dibutuhkan dan digunakan dalam momen-momen tertentu..

Salam bamboe,
Bulusidokare, 160816


0 komentar: