Jaman putih biru, jika ada sosok yang menjadi penjaga
sekolah maka kita memanggilnya dengan sebutan Pak Bon. Saya mengenal kosakata
tersebut memang pas jaman puber. Maklum, ketika berseragam putih merah alias
saat duduk di bangku sekolah dasar, kosakata Pak Bon belum terdengar. Penjaga
sekolah pada saat itu kami panggil dengan nama sebutannya yang dibumbui dengan
kata “cak”. Entah siapa nama sebenarnya dari Pak Bon kami saat SD dulu. Kami
lebih akrab menyapanya dengan panggilan Cak Gandu.
Kembali ke jaman putih biru, dimana banyak haru biru yang
mewarnai pada zaman itu. Saya mengenal beberapa nama Pak Bon, mengenalnya juga
bukan dari perkenalan formal, tapi dari ikutan teman-teman. Saya lebih mengenal
nama mereka (Pak Bon), karena salah satunya sama persis dengan nama Bapak saya.
Pas jaman SMP dulu, kenakalan remaja dengan memanggil nama Bapak dan menjadi
ejekan memang lagi gencar-gencarnya (entah sekarang). Meskipun begitu, tetap
saja nama Bapak saya terungkap dan diketahui teman-teman. Entah siapa yang
membocorkannya, padahal dulu belum ada fesbuk, twitter atau instagtram.
Kalaupun ada, tentu saya tidak memajang nama Bapak saya disana, hehe..
Begitu pula saat kita hijrah ke SMA. Di SMANOR, saya
mengenal nama mbah Baran. Beliau termasuk dekat dengan kami, para siswa multitalenta.
Multitalenta? Iya, karena ketika pagi, kami sama dengan yang lainnya. Berangkat
sekolah, memakai seragam layaknya siswa-siswa sekolah lain. Pelajaran pun setali
tiga uang. Guru-gurunya saja mungkin yang agak tidak mainstream. Kami
bersyukur bertemu dengan guru-guru luar biasa. Baik dari keilmuan maupun
tingkah dan sikapnya. Bisa dikatakan, kami mendapatkan keteladanan salah
satunya dari contoh sikap dari guru-guru kami tersebut.
Karena kami semua berada di asrama, dan hanya diperkenankan
pulang seminggu sekali, tidak lebih. Maka ikatan persaudaraan lebih erat
terangkai. Meksipun pada saat itu ada strata junior-senior, yang terkadang
melindas keadilan, namun itu semua bermuara pada pembelajaran sikap kami pada
sikap menghormati orang yang lebih tua. Suatu budaya ketimuran yang wajib kita
junjung tinggi. Pak Baran, yang usianya kala itu sudah menua, menjadi jujugan kami
untuk sebagai moodbooster,istilah peningkat mood, karena dari tutur
beliau keluarlah nasehat-nasehat bijak. Kadang pula muncul kata motivasi yang tak
terduga. Dan hal tersebut setidaknya memberikan sumbangsih pada kami untuk lebih
semangat berlatih dan meraih prestasi.
Lepas SMA dan bekerja di Graha Pena, lagi-lagi saya bertemu
dengan Pak Bon. JIka di SMP dan SMA hanya mengenal satu, dua, hingga tiga Pak
Bon. Maka di Graha Pena, Pak Bon ada lima jumlahnya. Karena di Graha Pena ada
bagian taman yang menjadi divisi tersendiri. Dan, pandangan saya terhadap Pak
Bon tetaplah sama. Mereka yang sudah melewati banyak ujian hidup dan usianya
sudah beranjak senja, itu yang saya sebut dengan Pak Bon. Bukan mereka yang
memang ditugaskan mengurus taman, atau hanya sekedar menjalankan tugas, apalagi
yang usianya sepantaran. Bisa dibilang, saya melihat filosofi yang ada dalam
diri seorang Pak Bon. Ada hal menarik yang patut digali dari mereka. Salah satu
yang sering saya minta pendapat dan bercerita lika-liku hidupnya adalah
Suswoko. Teman-teman Graha Pena memanggilnya Pak Woko. Dari beliaulah saya
banyak mengambil pesan-pesan moral dari perjalanan hidup yang sudah dilaluinya.
Kegigihan dalam bertahan hidup menjadikan motor semangat buat saya yang saat
itu juga nyambi bekerja dan kuliah.
Ketika menjadi mahasiswa dua kaki, antara ngampus dan
ngantor, maka saat itu ada dua bagian yang mengisi aktivitas keseharian. Yang pertama
atau bisa disebut dengan aktivitas utama adalah kuliah itu sendiri, saya
menerapkan skala prioritas pada saat itu. Disaat yang sama , saya ingin menjaga
sikap profesionalitas dalam bekerja. Jadi, meskipun ketika pagi saya di kampus,
sore hari ketika sudah pulang dari kampus, saya langsung meluncur ke Graha Pena,
bukan nyangkruk bersama teman-teman di warung kopi dekat kampus. Meskipun
banyak yang bilang kurang membumi, setidaknya sudah ada bukti, jika pekerja dan
mahasiswa lebih bisa lulus dulu daripada mereka yang ongkang-ongkang
kaki di warug kopi, hehe..(just kid).
Hingga akhirnya, ketika saya terdampar di tempat saya
mencurahkan segala potensi yang saya miliki: SMP Muhamamadiyah 1 Sidoarjo, saya
pun kembali bertemu dengan mereka, barisan para Pak Bon. Tiga lantai yang
menjulang di sekolah milik Persyarikatan Muhammadiyah itu, seluruhnya hanya diisi
tiga Pak Bon. Jumlah yang tidak sebanding dengan luas bangunan itu sendiri.
Supardi, atau biasa
dipanggil Pak Su, berada di lantai satu. Toni Kurniawan, atau Mas Boy, bercokol
di lantai dua. Dan Pak Yas, nama panggilan dari Ilyas, Pak Bon paling senior
diantara mereka. Ketiganya memliki kelebihan. Pak Su, orangnya rajin, selalu
menjadi yang pertama menginjakkan kaki di sekolah. Pernah suatu hari, saya
menyelesaikan penilaian hingga lembur sampai pagi. Dan saat itu jam dinding
masih bergerak di angka tiga, tapi Pak Su sudah tiba, dan menggandeng sapu dan
pel, dipagi yang dingin, dia sudah bergelut dengan peluh.
Di lantai dua dengan ukuran lahan lebih luas dari lantai
satu dan dua, disanalah tempat Mas Boy, bergerak melakukan laku “ibadah” dengan
menyapu lantai, mengepel, membersihkan kaca, dan lain-lainnya. Mas Boy,
termasuk yang paling muda diantara para Pak Bon di Musasi. Meski demikian, dia
tidak ingin tertinggal. Aktivitasnya bekerja juga disambi kuliah di jurusan
yang sama dengan saya: olahraga. Tapi tempat ngampusnya di Malang, di IKIP Budi
Utomo. Dia mengambil kelas ekstensi, kuliah Sabtu-Ahad. Pagi hari dia bersih-bersih,
sore hari dia merangkap pelatih si kulit bundar di Sekolah Sepak Bola (SSB) di
kota delta.
Dan yang terakhir adalah Pak Yas. Beliau merupakan Pak Bon
paling senior. Bertengger di lantai tiga dengan beban pekerjaan yang bisa
dikatakan tidak ringan dengan usia yang tidak lagi muda. Dia mempunyai Istri
yang juga menjadi penjaga kantin Musasi. Tiga anaknya berada di AUM. Anak pertama
mengikuti jejaknya di SD Muhammadiyah 2 Sidoarjo. Anak keduanya, menjadi
penjaga keamanan di Musasi. Sementara yang terakhir baru kelas tiga SMP,
sekolahnya juga di jalan KH. Samanhudi no. 81.
Beritakemarin agak mengagetkan kami. Pak Yas, tukang kebun
sekolah yang tahun kemarin diangkat menjadi karyawan tetap sekolah, mengalami
kecelakaan saat mengendarai motornya. “Keadaannya kritis, dan sampai sekarang
belum sadar,” bunyi kalimat yang tertera pada pesan masuk itu kemarin. Kronologisnya,
sore menjelang berbuka, Pak Yas berniat membeli bekal takjil untuk keluarga. Dengan
kecepatan tinggi, saat mau mendahului mobil di depannya, dari arah berlawanan
muncul Yamaha v-ixion, tabrakan pun tak dapat terelekkkan. Hingga tulisan ini
diketik, beliau belum sadar.
Ada pendarahan di otak, yang menyebabkannya koma. Saat
menjenguknya bersama para guru dan karyawan Musasi tadi pagi, beliau masih
dipasang selang oksigen. Keluarga dan kerabat banyak yang menungguinya. Kami
berdoa semoga Pak Yas lekas siuman. Dan dapat berkarya kembali di SMP Musasi. Aamiin.
Sekelumit tulisan tentang Pak Bon,
Gedang 240515
Gedang 240515
Menunggu Beduk Maghrib.
foto http://www.jawapos.com/ abdulsyukur (tukang becak dan penambal jalan) |
0 komentar:
Post a Comment