24 June 2015

Filosofi Pak Bon

Jaman putih biru, jika ada sosok yang menjadi penjaga sekolah maka kita memanggilnya dengan sebutan Pak Bon. Saya mengenal kosakata tersebut memang pas jaman puber. Maklum, ketika berseragam putih merah alias saat duduk di bangku sekolah dasar, kosakata Pak Bon belum terdengar. Penjaga sekolah pada saat itu kami panggil dengan nama sebutannya yang dibumbui dengan kata “cak”. Entah siapa nama sebenarnya dari Pak Bon kami saat SD dulu. Kami lebih akrab menyapanya dengan panggilan Cak Gandu.

Kembali ke jaman putih biru, dimana banyak haru biru yang mewarnai pada zaman itu. Saya mengenal beberapa nama Pak Bon, mengenalnya juga bukan dari perkenalan formal, tapi dari ikutan teman-teman. Saya lebih mengenal nama mereka (Pak Bon), karena salah satunya sama persis dengan nama Bapak saya. Pas jaman SMP dulu, kenakalan remaja dengan memanggil nama Bapak dan menjadi ejekan memang lagi gencar-gencarnya (entah sekarang). Meskipun begitu, tetap saja nama Bapak saya terungkap dan diketahui teman-teman. Entah siapa yang membocorkannya, padahal dulu belum ada fesbuk, twitter atau instagtram. Kalaupun ada, tentu saya tidak memajang nama Bapak saya disana, hehe..

Begitu pula saat kita hijrah ke SMA. Di SMANOR, saya mengenal nama mbah Baran. Beliau termasuk dekat dengan kami, para siswa multitalenta. Multitalenta? Iya, karena ketika pagi, kami sama dengan yang lainnya. Berangkat sekolah, memakai seragam layaknya siswa-siswa sekolah lain. Pelajaran pun setali tiga uang. Guru-gurunya saja mungkin yang agak tidak mainstream. Kami bersyukur bertemu dengan guru-guru luar biasa. Baik dari keilmuan maupun tingkah dan sikapnya. Bisa dikatakan, kami mendapatkan keteladanan salah satunya dari contoh sikap dari guru-guru kami tersebut.

Karena kami semua berada di asrama, dan hanya diperkenankan pulang seminggu sekali, tidak lebih. Maka ikatan persaudaraan lebih erat terangkai. Meksipun pada saat itu ada strata junior-senior, yang terkadang melindas keadilan, namun itu semua bermuara pada pembelajaran sikap kami pada sikap menghormati orang yang lebih tua. Suatu budaya ketimuran yang wajib kita junjung tinggi. Pak Baran, yang usianya kala itu sudah menua, menjadi jujugan kami untuk sebagai moodbooster,istilah peningkat mood, karena dari tutur beliau keluarlah nasehat-nasehat bijak. Kadang pula muncul kata motivasi yang tak terduga. Dan hal tersebut setidaknya memberikan sumbangsih pada kami untuk lebih semangat berlatih dan meraih prestasi.

Lepas SMA dan bekerja di Graha Pena, lagi-lagi saya bertemu dengan Pak Bon. JIka di SMP dan SMA hanya mengenal satu, dua, hingga tiga Pak Bon. Maka di Graha Pena, Pak Bon ada lima jumlahnya. Karena di Graha Pena ada bagian taman yang menjadi divisi tersendiri. Dan, pandangan saya terhadap Pak Bon tetaplah sama. Mereka yang sudah melewati banyak ujian hidup dan usianya sudah beranjak senja, itu yang saya sebut dengan Pak Bon. Bukan mereka yang memang ditugaskan mengurus taman, atau hanya sekedar menjalankan tugas, apalagi yang usianya sepantaran. Bisa dibilang, saya melihat filosofi yang ada dalam diri seorang Pak Bon. Ada hal menarik yang patut digali dari mereka. Salah satu yang sering saya minta pendapat dan bercerita lika-liku hidupnya adalah Suswoko. Teman-teman Graha Pena memanggilnya Pak Woko. Dari beliaulah saya banyak mengambil pesan-pesan moral dari perjalanan hidup yang sudah dilaluinya. Kegigihan dalam bertahan hidup menjadikan motor semangat buat saya yang saat itu juga nyambi bekerja dan kuliah.

Ketika menjadi mahasiswa dua kaki, antara ngampus dan ngantor, maka saat itu ada dua bagian yang mengisi aktivitas keseharian. Yang pertama atau bisa disebut dengan aktivitas utama adalah kuliah itu sendiri, saya menerapkan skala prioritas pada saat itu. Disaat yang sama , saya ingin menjaga sikap profesionalitas dalam bekerja. Jadi, meskipun ketika pagi saya di kampus, sore hari ketika sudah pulang dari kampus, saya langsung meluncur ke Graha Pena, bukan nyangkruk bersama teman-teman di warung kopi dekat kampus. Meskipun banyak yang bilang kurang membumi, setidaknya sudah ada bukti, jika pekerja dan mahasiswa lebih bisa lulus dulu daripada mereka yang ongkang-ongkang kaki di warug kopi, hehe..(just kid).

Hingga akhirnya, ketika saya terdampar di tempat saya mencurahkan segala potensi yang saya miliki: SMP Muhamamadiyah 1 Sidoarjo, saya pun kembali bertemu dengan mereka, barisan para Pak Bon. Tiga lantai yang menjulang di sekolah milik Persyarikatan Muhammadiyah itu, seluruhnya hanya diisi tiga Pak Bon. Jumlah yang tidak sebanding dengan luas bangunan itu sendiri.

Supardi, atau biasa dipanggil Pak Su, berada di lantai satu. Toni Kurniawan, atau Mas Boy, bercokol di lantai dua. Dan Pak Yas, nama panggilan dari Ilyas, Pak Bon paling senior diantara mereka. Ketiganya memliki kelebihan. Pak Su, orangnya rajin, selalu menjadi yang pertama menginjakkan kaki di sekolah. Pernah suatu hari, saya menyelesaikan penilaian hingga lembur sampai pagi. Dan saat itu jam dinding masih bergerak di angka tiga, tapi Pak Su sudah tiba, dan menggandeng sapu dan pel, dipagi yang dingin, dia sudah bergelut dengan peluh.

Di lantai dua dengan ukuran lahan lebih luas dari lantai satu dan dua, disanalah tempat Mas Boy, bergerak melakukan laku “ibadah” dengan menyapu lantai, mengepel, membersihkan kaca, dan lain-lainnya. Mas Boy, termasuk yang paling muda diantara para Pak Bon di Musasi. Meski demikian, dia tidak ingin tertinggal. Aktivitasnya bekerja juga disambi kuliah di jurusan yang sama dengan saya: olahraga. Tapi tempat ngampusnya di Malang, di IKIP Budi Utomo. Dia mengambil kelas ekstensi, kuliah Sabtu-Ahad. Pagi hari dia bersih-bersih, sore hari dia merangkap pelatih si kulit bundar di Sekolah Sepak Bola (SSB) di kota delta.

Dan yang terakhir adalah Pak Yas. Beliau merupakan Pak Bon paling senior. Bertengger di lantai tiga dengan beban pekerjaan yang bisa dikatakan tidak ringan dengan usia yang tidak lagi muda. Dia mempunyai Istri yang juga menjadi penjaga kantin Musasi. Tiga anaknya berada di AUM. Anak pertama mengikuti jejaknya di SD Muhammadiyah 2 Sidoarjo. Anak keduanya, menjadi penjaga keamanan di Musasi. Sementara yang terakhir baru kelas tiga SMP, sekolahnya juga di jalan KH. Samanhudi no. 81.

Beritakemarin agak mengagetkan kami. Pak Yas, tukang kebun sekolah yang tahun kemarin diangkat menjadi karyawan tetap sekolah, mengalami kecelakaan saat mengendarai motornya. “Keadaannya kritis, dan sampai sekarang belum sadar,” bunyi kalimat yang tertera pada pesan masuk itu kemarin. Kronologisnya, sore menjelang berbuka, Pak Yas berniat membeli bekal takjil untuk keluarga. Dengan kecepatan tinggi, saat mau mendahului mobil di depannya, dari arah berlawanan muncul Yamaha v-ixion, tabrakan pun tak dapat terelekkkan. Hingga tulisan ini diketik, beliau belum sadar. 
Ada pendarahan di otak, yang menyebabkannya koma. Saat menjenguknya bersama para guru dan karyawan Musasi tadi pagi, beliau masih dipasang selang oksigen. Keluarga dan kerabat banyak yang menungguinya. Kami berdoa semoga Pak Yas lekas siuman. Dan dapat berkarya kembali di SMP Musasi. Aamiin.

Sekelumit tulisan tentang Pak Bon,
Gedang 240515
Menunggu Beduk Maghrib. 

foto http://www.jawapos.com/ abdulsyukur (tukang becak dan penambal jalan)



0 komentar: