13 June 2018

Mohamed Salah dan Orang-orang Buangan


“Nak, Mohamed Salah mengajarkan kepada kita, bahwa manusia terlupakan itu menyimpan ledakan impian, dan manusia terpinggirkan itu mengerikan.”

Status fesbuk dari Romi Satria Wahono, mantan peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), itu ditulis usai pertandingan leg pertama semifinal Liga Champions, yang mempertemukan Liverpool versus AS Roma. Konteksnya sungguh pas, karena Mohamed Salah, salah satu bintang dalam lapangan tersebut merupakan eks pemain AS Roma sebelum membela The Reds, Liverpool.
Siapa sangka, pemain yang mengenakan nomor punggung sebelas itu, menjadi pemain yang berpindah-pindah klub. Karirnya tidak langsung cemerlang, tetapi melewati beberapa proses. Pada 2013, Chelsea menjadi klub pertama yang dibelanya di Premier League. 

Sayang, Salah hanya bertahan selama dua musim dan jarang bermain. Setelah itu, dia dipinjamkan ke Fiorentina dan AS Roma. Di Roma, naluri mencetak golnya meningkat drastis. Pemain timnas Mesir itu bahkan membukukan 34 gol dalam 83 laga, atau dua musimnya bersama klub ibukota Italia tersebut. Apakah Chelsea, yang merupakan bekas klubnya tertarik? Ternyata tidak. The Blues—julukan Chelsea—malah melelang pemain berumur 25 tahun itu dengan harga miring.

Setelah dua musim di AS Roma, Salah bergabung dengan Liverpool. Sikapnya yang tak merayakan selebrasi saat mencetak gol ke gawang mantan klubnya itu pada semifinal lalu, membuat pemain yang kerap merayakan golnya dengan sujud syukur tersebut banjir pujian. Salah hanya mengangkat tangan saat tendangannya meluncur ke dalam gawang dan tidak dapat dijangkau Alisson Becker, kiper Roma.

**

Fenomena Mohamed Salah mengingatkan kembali pada kita, jika ingin menjadi manusia yang sukses tidak bisa instan, butuh proses. Untuk menghasilkan sebuah pisau yang tajam, besi yang menjadi bahan bakunya harus dipanaskan sebelum dipukul berulang-ulang. Dipanaskan lagi dan dipukul berkali-kali lagi. Mohamed Salah sebelum menjadi bintang seperti sekarang, dia pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi pemain buangan, menjadi manusia yang terlupakan.

Namun dia mempunyai impian untuk menjadi pemain andalan. Bakat yang dimilikinya dibarengi dengan latihan yang ekstra keras dan doa. Ya, sebagai muslim, dia tidak pernah melupakan siapa penciptanya. Saat mencetak gol dia bersujud syukur, rasa ungkapan terima kasih telah diberikan kemudahan oleh Allah. Dia tidak hanya berprinsip “man jadda wa jada”, tapi dia tambahkan dalam prinsipnya itu “man jadda, insya Allah wa jada”.

Baginya, tanpa campur tangan Rabb-nya, mustahil Salah bisa terus mencetak gol. Usaha, ikhtiar dilakukan dengan mengerahkan segala potensinya, doa dipanjatkan pada Dzat yang menguasai alam raya, selanjutnya sikap tawakkal dengan hasil ikhtiar dia serahkan pada-Nya. Itulah ciri manusia beriman.

Maka, jika hari ini ada yang masih bersedih hati dengan ucapan teman yang menyakitkan. Tersinggung dengan kelakuan kasar seorang kawan, maka bukalah kembali lembaran cerita orang-orang sukses. Baca dan hayati lembar demi lembar proses ‘naik kelas’ mereka. Ya, bukankah Allah memberi ujian bagi hambaNya sebelum ditinggikan derajatNya. Maka, laa tahzan, jangan bersedih. Innallaha ma’ana, sesungguhnya Allah bersama kita. 

(* artikel dimuat di majalah SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, Musasi Magazine edisi 6)

foto: google


0 komentar: