25 January 2012

Antara Bandung-Surabaya


        
    
           Ada perasaan iri* ketika saya mendengar cerita dari seorang kawan lama yang sudah menyeleseikan S-1 jurusan informatika di Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah mendapatkan gelar sarjana strata satunya, ia berencana akan melanjutkan jenjang S-2, tak tanggung-tanggung negeri Samurai-Jepang menjadi jujugannya. Dialah Ivan Ibnu Alim, sahabat lama, yang dulu, ketika sama-sama berada di bangku sekolah dasar, kami juga menuntut ilmu wal-akhira di Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) di musala kampung kami, Musala Nurul Huda Kelurahan Gedang Kecamatan Porong. 

Sore itu, kami bertemu di musala kenangan ketika kami sama-sama mengaji dulu itu, saat kami hendak melaksanakan salat  Magrib berjamaah. Ia baru saja tiba di kampung halaman, setelah bermukim sekian lamanya di kota kembang. Cukup lama tak berjumpa dengan kawan karib saya tersebut. Maklum kami sama-sama asyik dengan kesibukan sendiri-sendiri. Intensitas kami bertemu pun semakin jarang, karena saya lebih banyak ber-tholibul ilmi dan rizqi di kota pahlawan, Surabaya, sehingga jarang atau sepekan sekali pulang dan kembali dari ‘perantauan’ ke kampung halaman. Sedangkan Ivan, karena jarak Bandung-Surabaya ‘hanya’ beratus-ratus kilometer, ia pun bisanya bersambang kangen dengan sanak keluarga, tetangga rumah dan kawan lama saat liburan semester tiba. Terkadang, kami lebih banyak mendapatkan momentum yang kurang pas untuk dapat sekedar bertemu dan bertukar cerita dan pengalaman. Misalnya saja saat Ivan sedang liburan di rumahnya, saya sedang ada tantangan dengan tugas kuliah atau ada kegiatan di luar kota. Seperti saat libur hari raya Idul Adha kemarin, kebetulan saat itu, saya ambil bagian dalam kepanitiaan bakti sosial Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Universitas Negeri Surabaya(IMM-Unesa) untuk menyalurkan hewan kurban di salah satu desa terpencil di daerah dataran tinggi Nganjuk, tepatnya di desa Blengko, Kecamatan Srono-Kabupaten Nganjuk Jawa Timur. Karena keterbatasan sinyal telekomunikasi didaerah tersebut, sehingga saya tidak dapat mengabarinya jika saat itu saya sedang berada di daerah Nganjuk. Sebelumnya ia mengabari jika akan pulang dari Bandung dan berlibur kembali ke kota lumpur selama sepekan lebih. Karena ada liburan, katanya saat itu di facebook dan sms yang saya terima saat itu. 

Dulu sebenarnya kami satu angkatan di TPQ, saya pun masih ingat ketika dulu di TPQ ada kegiatan ekstra Pencak Silat(TPQ juga ada ekstranya lo..) Tapak Suci Putera Muhammadiyah (salah satu perguruan silat di Indonesia-red), sampai-sampai kami dapat mengikuti ujian kenaikan sabuk kuning di Bangil-Pasuruan. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan saat itu, mengingat betapa susah dan gigihnya kami untuk mendapatkan sebuah ‘sabuk’. Namun, sebenarnya bukan sabuk semata yang membuat proses mendapatkannya dibuat sulit dan susah, karena sabuknya hanya seperti sabuk-sabuk olahraga beladiri lainnya yang bahannya dari kain biasa yang didalamya ada busa (jadi kelihatan lebih tebal) plus tidak ada kekuatan-kekuatan lain selain kekuatan Sang Maha Kuasa (lilla hi ta’ala..amin). 

Tapi hal itu murni karena dalam proses mendapatkannya ada filosofi, ketika kita ingin mendapatkan sesuatu hal dibutuhkan pengorbanan, kerja keras dan perdjoeangan! Tak jarang, untuk mendapatkan sebuah sabuk kami harus melewati kuburan pada tengah malam, diistilahkan dengan jurit malam (melatih mental), berjalan kaki berkilo-kilo meter melewati halal rintang (melatih fisik), belum santapan push-up, sit-up yang menjadi hal wajib. Yang menarik, selain sisi mental fisik yang dilatih seperti yang saya sebutkan diatas, di perguruan tapak suci, juga ada ujian tulis tentang ilmu agama. Wuiih..lengkap dech kalo dinilai! Sayang, kebersamaan dengan perguruan Tapak Suci harus diakhiri seiring dengan hijrahnya sosok pelatih kami yang bernama Kak Wildan, ke Pulau Dewata (ada tawaran pekerjaan-red). Praktis, sejak saat itu, kami tidak pernah lagi latihan. Namun, sabuk kuning itu tetap saya simpan sebagai kenangan Perdjoeangan, mungkin Ivan juga setali tiga uang.     
 
Kembali ke masa selanjutnya, yaitu masa ketika lepas dari sekolah dasar. Kami sudah pindah haluan masing-masing. Masa SMP lebih banyak berkutat di wilayah kecamatan, sementara Ivan sudah melanglangbuana di wilayah kabupaten, bahkan saat SMA dia sudah berhasil masuk sekolah favorit nomor satu di Sidoarjo, SMA Negeri 1 Sidoarjo (Smanisda). Sementara saat itu, saya harus menelan pil pahit kegagalan masuk SMK Negeri 1 Sidoarjo, dan harus merelakan diri terdampar di sekolah swasta di kawasan perbatasan, SMK Walisongo, Gempol-Pasuruan, sebelumnya akhirnya bangkit dan lolos tes untuk masuk SMA Negeri Olahraga Jawa Timur (Smanor Jatim). Mungkin kalo dikalkulasi secara de jure, sekolah saya (Smanor-red) lebih “unggul“, dilihat dari struktur penanganannya langsung di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim), sedangkan Smanisda Pemerintah Kabupaten Sidoarjo (Pemkab Sidoarjo), alias beda tingkat dan level sedikit lha..hehe.. Namun, secara de facto, prestasi Smanor ‘hanya’ unggul di bidang olahraga, karena sekolah kami langganan mencetak atlet juara  Kejurnas, PON, maupun Sea Games dan Olimpiade. Jika dibandingkan  Smanisda yang ungul di bidang sains, dan sudah menjuarai beberapa kejuaraan atau olimpiade (di bidang sains dan teknologi tentunya-red). Hitungan kasarnya memang tidak dapat di lihat siapa yang unggul, karena bidang garapannya pun beda. Yang menyamakan hanya satu, yaitu tenaga pendidik atau gurunya. Ya, karena belum ada tenaga pendidik, ketika didirikan pasca Pekan Olahraga Nasional tahun 2000 silam, maka beberapa tenaga pendidik yang mengajar di Smanisda diperbantukan mengajar di Smanor. Sampai saat ini, rata-rata mayoritas guru pengajar di Smanor, dulunya merupakan guru pengajar di Smanisda. Sangat beruntung sebenarnya para siswa Smanor dapat arahan belajar langsung dari para guru Smanisda yang notabene merupakan sekolah favorit nomor satu di Sidoarjo. 

Namun, ‘keunggulan’ menurut penilaian saya sendiri tersebut hanya bersifat sementara, karena selepas lulus dari Smanisda, Ivan langsung melebarkan sayapnya hingga ke kota fashion, Bandung. Hingga akhirnya diterima di ITB jurusan Sistem Informatika. Keputusannya untuk mengembangkan sayap hinga mendekati ibu kota, tak lain karena ingin mengikuti jejak kakaknya, Favian Dewanta, yang setahun sebelumnya berlabuh di STT Telkom Bandung. Sampai saat itu dan bertahan hingga kini, penilaian saya terhadap Ivan sudah jempol dua alias luar biasa. Saya mengakui segala keunggulannya dan mengakui segenap kelebihannya. Ivan sudah membuktikan bahwa kecerdasan itu butuh konsistensi, kerja keras dan semangat berdjoeang untuk dapat mempertahankannya. Ia membuktikannya saat mulai Sekolah Dasar, menengah pertama, hingga SMA. Dan kini saat menyelesaikan strata satunya di sebuah perguruan tinggi yang juga menjadi kampus favorit seluruh anak negeri. Di waktu senggangnya menunggu tes seleksi beasiswa ke Jepang, ia pun sibuk menjadi asisten dosen dalam sebuah penelitian.

Doa dan dukungan moril untukmu selalu kawan..!
Semoga kepakan sayapmu semakin lebar hingga negeri Samurai Jepang..

(* dua sifat iri yang diperbolehkan Islam yaitu dalam hal bersedekah dan menuntut ilmu)
Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lalu dia belanjakan pada jalan yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan lalu dia melaksanakan dan mengajarkannya. (HR. Bukhari) 



2 komentar:

Axe said...

Ivan tu SMAN 3 Sidoarjo...buka SMAN 1 mas haha...

Darul Setiawan said...

Iya,saya ucapkan terimakasih banyak atas koreksi infonya..Setelah saya bca lagi, ternyata ada banyak catatan koreksi untuk tulisan yang saya buat..Syukron :)