25 March 2015

Mengikat Ilmu

 “Ilmu adalah hewan buruan, dan menulis itu adalah ikatannya. Ikatlah buruan kamu -yakni ilmu – dengan tali yang kuat – yakni menuliskannya.”-Imam Syafi’i-

Saya jadi flashback pada medio tahun 2009. Saat masih berkutat di Gedung Graha Pena. Ketika itu di lantai satu ada toko buku yang bernama JP Bookstore. Ya, toko buku tersebut memang milik Jawa Pos Grup. Tapi kali ini saya bukan bermaksud menuliskan “rona-rona” yang ada di dalamnya (ehm..), tapi dari toko buku tersebut saya mengenal seorang penulis blog yang juga sekaligus technopreneur.

Nama panggilannya Mas Romi, alias Romi Satria Wahono. Dari blog yang dia tulis menghasilkan buku kecil yang inspiratif berjudul: “Dapat Apa Sih dari Universitas!” Dari buku tersebut saya banyak termotivasi. Dari sekedar menuliskan pengalaman di blog, lalu berkeinginan untuk merasakan atmosfer bangku kampus, hingga kemudian “berhijrah” dari Umsida ke Unesa. Dari banyaknya hikmah yang ada dalam buku itu, saya masih mengingat pesan kuat yang ada di dalamnya: “Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya.” Saking begitu kuatnya pesan tersebut, sampai-sampai tagline blog pertama yang saya buat mencomot kata-kata yang asal muasalnya ternyata dari seorang ulama madzhab besar: Imam As-Syafi’i.

Ahad (15/2), bertempat di Rumah Penulis Bina Qolam Surabaya, saya bersama kawan seperguruan dan seprofesi, Muhammad Zulkhifly, berkesempatan menimba ilmu. Motivasi awal keikutsertaan saya karena narasumber yang hadir adalah seorang da’i yang tak hanya menyampaikan dakwahnya lewat bil-lisan, namun juga bil-qolam. Beliau adalah Ustadz Dr. Adhian Husaini. Menyebut nama besarnya, sangat sayang untuk melewatkan kesempatan yang langka itu. 

UNDANGAN: Hanya Tersebar Lewat Jejaring Sosial dan WA, namun Melimpah Peserta 


Sementara Pak Kifly, panggilan kawan saya tersebut, motivasinya murni karena keinginannya menguatkan tekad untuk merajut mimpi-mimpi besarnya: Islamisasi Ilmu. Tugas berat tersebut diemban Pak Kifly karena tugasnya mengajar IPS, mata pelajaran yang katanya banyak sekali pemutar balikan fakta sejarah.

Kami berangkat dari Masjid An-Nur, Sidoarjo. Yang memang kebetulan, tiap Ahad ketiga ada pengajian umum yang wajib dihadiri (ketentuan tidak tertulis warga Musasi). Nah, karena kami meninggalkan pengajian tidak tepat pada waktunya (jadi tak hanya datang yang harus tepat waktu), maka kami berpamitan pada Kepala Sekolah yang kebetulan ada tak jauh dari tampat kami duduk, sekaligus menyampaikan acara yang akan kami ikuti di Surabaya nanti. 

“Koq sepi, Pak?” tanya Pak Kifly pada saya ketika kami baru sampai dan mengambil tempat duduk di barisan ketiga sebelum acara dimulai.

“Belum datang semua, Pak, tenang, sebentar juga pasti ramai,” jawab saya padanya.

Dan, ternyata memang, ketika kajian belum dimulai, saat Ketua Yayasan Bina Qolam, Mas Oki Aryono, menyampaikan sejarah didirikannya Yayasan yang berada di Jalan Bengawan itu, para peserta mulai banyak berdatangan dan memenuhi ruangan. Sampai-sampai, pada sesi kajian, ketika Ustadz Adhian belum rampung bertausyiyah, para peserta diminta untuk menggeser tempat duduknya maju kedepan.
ANTUSIAS: Para Peserta Kajian Intensif Islam Penulis (KIIP) yang Diselenggarakan Bina Qolam Surabaya

Antusiasme para peserta barangkali selain karena narasumber yang memang berkompeten dalam bidang penulisan (terutama kajian Islam), yang tak kalah menarik adalah tema kajian yang diusung saat itu: “Mujahid Penulis Saatnya Bangkit!”

Dalam tausyiyahnya, Ustadz Adhian membuka mata dan hati para audiens dengan kalimat pentingnya jihad. Beliau menyebut dalam Quran Surat As-Shaf, ketika Allah mengajak hambanya untuk (berniaga) berdagang dengan-Nya. Salah satu bentuk berdagang dengan Allah adalah berjihad dengan harta dan jiwa. “Jika kita tidak berjihad, kita tidak akan masuk surga,”tambah penulis 30 buku tersebut.

Nah, ditengah tausyiyahnya beliau menyelipkan kata-kata Imam Syafi’I tentang seorang yang menuntut ilmu sama dengan orang yang sedang berburu. Dimana ketika berburu dan mendapatkan buruan, jangan lupa ikatlah dengan kuat. “Jadi yang disebut orang yang bodoh itu mengaji tapi ga mau nulis,” tukas ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu.

Betapa dulu, di saat menulis harus menggunakan tinta, peradaban Islam yang gilang-gemilang banyak melahirkan generasi penulis yang handal. Sebut saja nama Al-Biruni, Syekh As-Sulami, hingga Imam Al-Ghazali. Di Indonesia, nama-nama seperti Prof. Dr. HAMKA hingga M. Natsir menjadikan harum nama bangsa berkat karya-karya monumentalnya.

Dan kini, ketika fasilitas begitu mudah didapat, harusnya kita tak boleh kalah bersemangat dalam berjihad. Dengan tulisan yang di dalamnya ada ruhul jihad, maka kita termasuk barisan-barisan yang memuliakan agama Allah dengan kalam. Kemudian beliau berucap:

“Hina dan Mulianya Agama Allah Bergantung pada Jihad”

Hmm..ketika menuntut ilmu pahalanya sama dengan berjihad. Dan di era yang modern ini, jihad tak lagi terbatas pada tataran fisik, namun juga dalam bentuk intelektualitas berupa dakwah bil-qolam. Nah, agar kita bukan termasuk golongan para pemburu yang kehilangan buruannya, mari kita ikat ilmu itu dengan menuliskannya, mau..?

"Jihad Tak Harus dengan Kekerasan, Amarah, dan Perang. Dengan Pena-pun Bisa Merubah Dunia."

-99 Cahaya di Langit Eropa-

Porong, 25 Maret 2015
Ghirah itu  Masih Menyala..

*foto-foto: file facebook

1 komentar:

edymusasi said...

menarik pak, tulisannya. maaf gak bisa ikut.