3 November 2011

Lika-Liku Menuju Olahraga Kartu



            Pagi itu, hari Jumat 28 Oktober 2011,  bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, sumpah yang menjadi cambuk semangat bagi para pemuda Indonesia, cuaca yang cerah  namun jalanan Surabaya sudah macet parah. Setelah selesai dari suatu tugas di Graha Pena, aku akan berencana  melanjutkan tugas lain. Dengan salah satu teman yang ‘bernasib’ sama, Adi Yudha, aku berangkat menuju ke sebuah kampus, yang bedanya dengan kampusku hanya dari kata-kata ‘negeri nya’, ya, Universitas Surabaya atau  Ubaya. 
            Setelah start dari ex-baliho iklan Suryo Agung di Joyoboyo, aku dan Yudha melewati jalan protokol A. Yani. Sengaja tidak memilih jalan tembus Jagir Wonokromo, karena hanya satu alasan, belum tahu jalan tembusannya kemana, itu saja. Maka, berbekal informasi dari salah satu teman di Graha Pena, akhirnya kami pun melewati A. Yani dan berbelok ke kiri ke arah timur jalan Rungkut Industri. Tak seberapa jauhnya, setir motor shogun kubelokkan kekiri, menuju ke jalan Kendangsari, “Lurus aja jalan Kendangsari sampai mentok,” ingatku mengingat kata-kata petunjuk dari temanku itu, yang kebetulan rumahnya tak jauh dari kawasanyang akan kami tuju. Akhirnya, setelah kurang lebih 2-3 kilo menyusuri jalanan yang beraspal, akhirnya sampai juga di kawasan kampus yang menjadi jujugan studi dari salah seorang temenku di kampung. 
            Dari jarak puluhan meter, atap kampus tersebut sudah dapat dijangkau oleh pandangan mata, kampus yang megah dengan desain yang modern, banyak ditumbuhi pepohonan, begitu gambaranku sebelum memasuki gerbang kampus tersebut. Gambaranku tersebut ternyata hampir benar seratus persen, karena setelah menerima karcis motor dari seorang petugas kemanan, kenyataan di lapanganpun menjawab demikian, megah, bersih dan modern. Sepanjang perjalanan menuju ke Fakultas Teknik Informatika, setiap jengkal pandangan dimanjakan dengan banyaknya taman serta gazebo yang menjadi destinasi favorit para mahasiswa yang mengenakan jas almamater hijau dongker tersebut. aku pun hanya bisa membayangkan jika hal itu, suatu saat akan menjadi sebuah kenyataan di kampusku yang hanya beda status ‘negeri’ itu. Tidak jauh-jauh, harapanku di fakultasku sendiri, FIK, semoga fasilitas tersebut tidak menjadi sebuah barang langka atau mewah. Aku pun membayangkan jika hal tersebut menjadi kenyataan, tentunya akan banyak hal positif yang bisa didapat di lingkungan akademik kampus. Salah satunya, mengurangi jumlah mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang-kuliah-pulang) alias agar mereka bisa lebih kerasan di kampus daripada di kos-kosan. Dampak lainnya, gairah mencintai kampus akan mendalam dan ikatan emosional akan terbentuk seiring dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan di lingkungan kampus.
            Menuju ke lantai dua, dimana letak ruangan dosen Fakultas Teknik Informatika tersebut berada, kami bertemu Bapak Bambang Priambodo, M.MT, seorang dosen yang sekaligus menjadi Ketua Bidang Organisasi GABSI Jawa Timur, dengan senyumnya yang  ramah , beliau mempersilakan kami untuk duduk di sofa yang berada didalam ruangan dosen tersebut, yang memang sudah diperuntukan untuk para tamu. Kedua mataku tak hentinya mengeksplorasi setiap sisi ruangan. Selain sisi penataan ruang yang dinamis, kesan yang ditampilkan di ruang dosen tersebut juga bersih dan modern. Meski tidak terlalu luas betul namun sekat-sekat yang memisahkan dibuat sefungsional mungkin sehingga aspek kenyamanan dan manfaat ruangan tersebut sama-sama tidak mengurangi nilai estetik yang ada. Pun dengan udara didalamnya, cukup sejuk dan tidak terlalu dingin, relatif tidak seberapa kontras dengan lingkungan disekitar yang banyak ditumbuhi banyak pepohonan yang hijau nan rindang. 
            Kami pun memperkenalkan diri dan mengutarakan maksud dan tujuan kami menemui beliau, yang tak lain untuk mendapatkan informasi tentang istilah-istilah didalam cabang olahraga Bridge, mengenal sejarahnya, aspek-aspek permainan, peraturan serta cara permainannya olahraga otak tersebut. Selain itu, maksud kami yang lain adalahuntuk mendapatkan legalitas dari rangkaian tugas mata kuliah Manajemen Penjasor itu. Beruntung aku dan temanku, Yudha mendapatkan undian olahraga Bridge, selain karena olahraga tersebut unik, karena tidak seperti halnya olahraga lain yang mempergunakan fisik, pada cabang olahraga Bridge lebih dikedepankan kemampuan otak, meskipun aspek fisik seperti stamina dan emosi juga tak kalah pentingnya. Olahraga Bridge, seperti halnya catur, selain ketenangan dan kesabaran, kemampuan otak dalam meramu strategi mutlak diperlukan.
Hal lain yang membedakan, selain dari media/ alat yang digunakan, Bridge menggunakan kartu sebagai media permainannya, termasuk juga dalam jumlah para pemainnya. Pada olahraga Bridge, pemain harus mempunyai partner yang bisa diajak kerjasama, baik dalam menyerang maupun dalam bertahan, dan membagi tugas dalam strategi yang telah disusun dan bisa satu hati. Artinya partner memiliki peran sentral dalam kemenangan sebuah tim, setidaknya partner memiliki kemampuan yang sama, baik dari kemampuan memahami strategi, tingkat permainan yang digunakan dan kemampuan menerima maupun menyampaiakan kode pada saat pertandinagan sedang berlangsung. Biasanya dalam satu meja pertandingan Bridge, haruslah dimainkan dengan minimal 4 orang pemain. Jika permainan beregu, permainannnya bisa sampai 6 pemain padasatu meja. Nah, karena sistem permainannya dengan melakukan penawaran (bidding) maka faktor perhitungan yang jeli sangat diperlukan dalam permainan ini. Tak lain karena partner kita haruslah paham dengan maksud sistem permainan yang akan kita terapkan dalam permainan bridge, itulah sebab mengapa olahraga bridge tidak selalu bergantung pada keberuntungan. 
Keberuntungan hanya berkisar 10 persen, dan hal itulah yang membedakan Bridge dengan paradigma yang berlaku di masyarakat saat ini: menyamakan semua olahraga yang menggunakan kartu dengan judi. Permasalahan tersebut setidaknya diungkapkan Pak Sudarno, Ketua Harian GABSI Jatim yang sekaligus Ketua Umum GABSI Kabupaten Sidoarjo. Beliau pun menambahkan, kalau mau objektif, semua jenis olahraga manapun bisa dikatakan dan dijadikan judi, tergantung kepentingan oknum yang bersangkutan, beliau mencontohkan mulai dari pos-pos kamling yang menggunakan permainan  papan catur sampai pada sepak bola, semuanya ada sesuatu yang berbau judi. Bridge yang menggunakan media kartu harus menerima kenyataan dicap sebagai satu-satunya olahraga judi, sungguh ironi.  
Padahal, jika mau objektif, Bridge sudah mengharumkan nama bangsa Indonesia di berbagai kancah kejuaraan dunia, yang terakhir, menempati peringkat kedua pada kejuaraan dunia di Belanda. Bandingkan dengan prestasi persepak bolaan kita, menjadi juara tingkat Asia Tenggara saja, sangat susahnya. Keuntungan yang lain, masih menurut Pak Darno adalah dapat meningkatkan intelegensia. Murid-murid SD maupun SMP yang menekuni olahraga Bridge, kemampuan akademik semakin baik daripada sebelumnya dan dibandingkan teman-temannya yang tidak menekuni Bridge. Kemampuan mengingat pun meningkat, dan dapat menghambat kepikunan, itu pula yang di rasakan oleh para pemain Bridge, temasuk Pak Sudarno sendiri yang sudah lebih dari 35 tahun menekuni olahraga asli dataran eropa itu. Kalau sudah tahu manfaatnya, kenapa kita harus ragu (lagi) dengan Bridge..??
           

0 komentar: