14 July 2015

Remaja dan Pendangkalan Akidah (1)

Saya menuliskan status ini, dari kegundahan hati. Dibuat dua seri. Dengan harapan, setidaknya membuka pikiran para generasi muda, khususnya para remaja.

Kamis lalu (9/7), sekolah kami, SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, kedatangan tamu. Seorang Ibu dan anaknya, serta beberapa kerabat yang mengantarnya. Anaknya yang baru lulus SD mau didaftarkan ke sekolah kami. Sepintas tidak ada yang aneh, pendaftaran siswa baru memang berakhir hari itu, dan esoknya tes wawancara calon siswa. Hanya kami sedikit terkejut ketika sudah mendaftar, salah seorang kerabat Ibu tersebut berucap,” maaf, mohon bimbingannya. Ini mau masuk Islam”.
Masuk Islam? Siapa yang masuk Islam?

Kerabat tersebut kemudian bercerita. Ibu yang diantarnya itu dulunya Islam. Dia punya tiga anak. Setelah berpisah dari suaminya, keadaan ekonominya limbung. Pekerjaannya berjualan sosis di depan rumah tak bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Pada saat itulah, datang misionaris Kristen menawarkan bantuan (tentunya tidak gratisan).

Setiap bulannya Ibu tersebut dapat jatah uang 400 ribu plus beras 20 kilo. Dengan catatan, tiap akhir pekan harus hadir ke gereja. Di sekitar rumahnya di kawasan Surabaya, ternyata juga banyak warga yang mengalami nasib serupa. Ekonomi lemah, akidah tergadai murah. Terhitung sejak tahun 2013, Ibu tersebut resmi murtad. Yang disayangkan, Ibu tersebut juga mengajak salah satu anaknya (yang sekarang mendaftar di SMP Musasi dan memeluk Islam kembali).

Kasus tersebut terkuak, setelah Ibu-ibu Aisyiyah Sidoarjo mendapat laporan adanya praktik kristenisasi di sebuah kawasan di Surabaya. Salah satu yang diselamatkan akidahnya adalah Ibu dan anaknya tersebut.

Saat ikrar syahadat di Masjid Musasi, tampak kedua mata Ibu tersebut sembab. Ada yang mengendap di sudut kedua matanya. Kepala Sekolah dan Waka Ismuba yang mendampingi prosesi itu berpesan, agar agama Islam ini menjadi agama terakhir dan dipertahankan sampai mati, tidak gonta-ganti. Akidah anaknya juga diperhatikan, sebab anak adalah fitrah. Dia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi bergantung dari kedua orangtuanya.

Pandangan kepala sekolah kemudian beralih pada sang anak yang duduk di sebelah Ibunya,  
“masih hafal Al Fatihah?”

Anak tersebut mengangguk, lantas membunyikan ayat pertama sampai terakhir dari surat pembuka Alquran tersebut.

“Al-Ikhlas?”

Bibirnya ternyata masih begitu fasih menyebut bacaan surat Alquran nomor 112 itu, yang kemudian dilanjut dengan Al-Falaq dan An-Nas.

Kami tak bisa menyembunyikan keharuan. Ada tantangan besar dalam penguatan ekonomi umat. Ada juga PR besar yang harus dipikirkan bersama: penyelamatan akidah.

27 Ramadan 1436 H


 
Ikrar Syahadat Kembali di Masjdi At-Taqwa Musasi

0 komentar: