29 January 2014

Perjalanan Ke Barat

Sabtu  lalu (25/1), saya beserta kawan seperjuangan mengunduh ilmu agama di kampung halaman, berangkat menuju Balongbendo. Dengan mengendarai mobil station wagon tahun 80-an miliknya yang sehari-hari dipakai berjualan rambutan di Pasar Porong, kami meluncur ke barat. 

Sore hari, setelah melewati perjalanan panjang dari Graha Pena hingga tiba di rumah, ponsel pintar cicilan mengaum pelan. Sebuah sms masuk, yang ternyata  datangnya dari Gaguk, nama panggilan kawan kami yang satu kampung, namun beda RT dan RW. Dalam rilis sms yang dikirimkannya, dia menyatakan kesanggupannya untuk menghadiri pengajian keliling yang diprakarsai Pemuda Muhammadiyah Sidoarjo di Masjid Mujahidin-Balongbendo.

Pesan singkat yang dikirimnya itu merupakan jawaban dari pertanyaan yang beberapa hari lalu saya lontarkan, tentang keikutsertaannya dalam kajian keliling yang sudah masuk bulan kedua itu. Sebenarnya, saya juga sempat meng-sms Bahar, kawan seperjuangan kami yang lain, namun karena kesibukannya dalam perindustrian sosis di kampung Simo Karangkletak, akhirnya kandas juga usaha kami untuk dapat mengajaknya ngaji bersama-sama.

Bukan perjuangan bila tanpa pengorbanan. Ternyata mobil yang hendak kami tumpangi dalam perjanan ke barat itu ternyata masih berada di rumah saudaranya Gaguk-yang berada di desa Ngerong, Gempol. Maka, kami pun akhirnya berboncengan mengambil mobil tersebut. Melewati jalanan Gempol-Kejapanan sore itu yang padat merayap, Allah masih memberikan kemudahan hingga akhirnya kami berdua sampai juga di tujuan.

Dalam perjalanan menjemput mobil tersebut, kami banyak berdiskusi rencana pemberangkatan. Setelah urun rembug cukup lama, dan menimbang efektivitas waktu tempuh, akhirnya kami memutuskan untuk transit dulu, ikut pengajian Bulughul Mahram dengan Ustadz Eko Asmanto di Musala Nurul Huda, Gedang. Dengan asumsi, perjalanan ke Balongbendo tidak sampai dua jam dan sayang bila pengajian favorit terlewatkan.

Usai pengajian yang dilaksanakan saban Sabtu ba'da maghrib itu, kami pun berangkat menuju ke barat, ke kecamatan yang berbatasan langsung dengan Mojosari dan Gresik itu.

Dalam kemudi kawan kami, mobil lansiran tiga puluh tahun yang lalu itu berjalan landai dan tenang. Sempat muncul kekhawatiran bila di tengah-tengah perjalanan mendadak mesin mati atau ban bocor, tapi alhamdulillah, berkat doa yang kami panjatkan sebelum berangkat, perjalanan berlangsung aman terkendali.

Banyak hal yang kami perbincangan selama perjalanan, mulai dari organisasi, peluang usaha, dan yang tak kalah menariknya, tentang calon azwajina kami masing-masing. Maklum, saya dan Gaguk sudah lama kenal. Dan kawan kami satu ini merupakan sarjana tak bergelar. Sebenarnya sudah setahun lalu lulus kuliahnya, tapi karena ada 'something' yang terjadi dalam perjalanan hidupnya, hingga akhirnya memilih mundur teratur dari jurusan pertanian. Tapi, dia mempunyai tekad yang kuat dalam hidup, seperti keinginan memiliki usaha sendiri yang mandiri. Semoga kawan kita ini danpat merealisasikan mimpi-mimpinya, amiin.

Sempat berkali-kali tanya alamat tempat yang kami tuju, sebelum akhirnya kami sampai di pelataran masjid Mujahidin. Acara ternyata baru saja dimulai, padahal kami menyangka akan terlambat lama. Hal tersebut tampak dari sesi acara yang masih berjalan pada maudlatilhasanah atau ceramah pembuka (terjemah bebasnya-red).

Sesi pun berlanjut pada paparan Ustadz Hadi tentang tahapan khutbah Jumat. Dengan ciri khas tampilan powerpoint-nya, Ustadz yang sedang menempuh pendidikan S-2 nya di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) itu menampilkan tahap demi tahap khutbah Jumat. Salah dua yang menarik, saat beliau menceritakan pengalamannya menjadi khatib salat Jumat di beberapa masjid yang menggunakan adzan dua kali. Juga tentang tips-nya agar kita tidak grogi saat menjadi khatib salat Jumat.

Sebenarnya acara akan berlanjut pada praktik langsung menjadi khatib Jumat, dan akan mendapatkan feedback (timbal baliklangsung dari Ustadz Hadi. Namun, karena waktu semakin larut, mengharuskan para peserta kajian untuk beristirahat.

Pukul tiga dini hari, kami dibangunkan untuk salat malam. Yang menjadi Imam qiyamu lail-nya adalah ustadz Imam. Kader Pemuda dari Sidoarjo kota yang juga salah satu dosen Al Islam dan Ke-Muhammadiyah-an (AIK) di Umsida. Ba'da salat lail, jeda sejenak sebelum dilanjutkan dengan salat Subuh dan diakhiri dengan kultum. Untuk kegiatan terakhir ini, kader dari Gedangan sudah di jadwal untuk mengisinya.

Diskusi Keislaman Bersama Ustadz Imam
Sembari menunggu sarapan pagi, ada sesi diskusi dan bedah kitab HPT (Himpunan Putusan Tarjih) yang di pandu Mas Abdillah Adi, kader Pemuda Kecamatan Tulangan. Acara berjalan menarik dengan bahasan basmalah. Tentang sah tidaknya wudlu kita bila kita berwudlu di dalam kamar mandi yang teradapat kakus di dalamnya. Secara kita mengetahui, jika ada larangan untuk menyebut asma Allah di tempat-tempat yang tidak semestinya, seperti kakus dan lainnya.

Matahari pun merangkak naik dan menampakkan sinarnya. Pertanda hari beranjak pagi. Sarapan nasi pecel khas Balongbendo dengan lauk telor ceplok dan tempe goreng menjadi perekat kebersamaan. Tibalah juga pada penghujung acara. Dan bulan depan insya Allah akan terlaksana di Jabon. Fastabiqulkhairats!

Ustadz Imam (kiri) bersama Mas Irul

Para Peserta LKPDPM Baitul Arqam Serius Menyimak



Antusiasme Keilmuan Pemuda Muhammadiyah Sidoarjo

2 komentar:

Unknown said...

Keren sob

www.kiostiket.com

Darul Setiawan said...

Terimakasih. Sekedar menggoreskan pengalaman, hehe..