Allahuyarham Ustadz Abdurrahim Nur, MA. |
Lewatlah sesekali melintasi jalan raya Porong. Bila kau melihat ada sebuah masjid di sebelah utara SPBU, itulah Masjid Nurul Azhar yang terkenal itu. Dari bentuk fisik bangunan tak sebesar Masjid Al Akbar, namun pamor Masjid bersejarah itu tak kalah menasional. Disanalah tonggak peradaban dan pencerahan ilmu di tancapkan. Kau tak hanya diajari baca tulis Al Quran, kau bisa belajar mentadabburi dan mengkaji FirmanNya bersama para jamaah pengajian yang hampir tiap hari menimba ilmu tuk bekal akhirat itu.
Disana kau bisa bertemu seseorang yang sudah renta yang dinantikan limpahan ilmunya dari para jamaah. Penampilannya sederhana tanpa jubah maupun tudung kepala. Cukuplah dengan kopyah hitam dan baju takwa. Meski wajahnya bersih tak berjenggot, tak mengurangi sedikitpun kesahajaan yang terpancar dari kepribadiannya yang rendah hati. Mereka memanggilnya Ustadz Rahim. Abdurrahim Nur nama lengkapnya. Meski lulusan Al Azhar –Mesir, yang notabene kualitas ilmu mumpuni, beliau tak mau di panggil kyai. Biar lebih akrab dan tak di kultuskan barangkali.
Bertahun-tahun lamanya menimba ilmu ke Mesir, tak menyurutkan langkahnya untuk mengabdi di kampung halaman tercinta. Disini kau bisa melihat rumahnya yang sederhana bersanding dengan Masjid tempat mencurahkan segala ilmu yang dimilikinya. Tak ketinggalan, anak-anak panti asuhan yang diasuh beliau selalu turut serta menimba ilmu bersama para jamaah lain yang hadir. Tak hanya bekal akhirat yang bisa kau gali di tempat ini. Tiap Ahad pagi kau bisa menyaksikan berbondong-bondong orang mengikuti kajian. Kajian Ahad Pagi Fajar Shodiq namanya. Seperti halnya kajian agama lainnya, tapi disini juga ada tambahan sisi ilmiahnya. Kajian yang digagas beliau itu tak jarang mendatangkan tokoh nasinal. Tak terhitung berapa kali Pak Amien Rais, Yusril ihza Mahendra, dan para tokoh kaliber nasional lainnya diundang untuk mengisi acara favorit warga kampung halamanku itu dulu..
Dulu..
Namun sekarang, situasi dan keadaannya berubah kawan. Tak ada hamparan sawah menghijau, yang ada hamparan tanggul penahan lumpur yang membentang. Bila kau naik tanggul penahan lumpur, kau hanya bisa melihat hamparan pasir yang bila panas mengering, dan bila musim pengujuan menjadi air. Pernahkah kau membayangkan di bawah lautan lumpur tersebut, ratusan rumah terendam dan ribuan warga mengungsi mencari tempat tinggal? Tempat ini sekarang bersuhu udara bisa lebih dingin dari Batu ataupun Malang kala musim penghujan dan panasnya bisa melebihi Surabaya bila kemarau datang.
Bila kau melihat rumah tua di samping masjid yang sebagian bangunannya sudah tak utuh lagi. Itulah rumah Pak Kyai, Allahuyarham, alm. Ustadz Abdurrahim Nur, MA.
Rumah yang tak berpenghuni dan menghadap ke masjid itu seolah menjadi bangunan tua yang menjadi saksi bisu sejarah. Bencana fenomenal yang masih sering diperdebatkan dan kadang dilupakan kalangan elite di Senayan itu ternyata sudah merambat ke bangunan tua yang tak berdaya dilindas zaman. Bangunan sederhana yang dulunya menjadi saksi sejarah tonggak peradaban dan pencerahan. Peradaban yang dulu menjadikannya dikenal hingga penjuru daerah dan tersohor sampai pelosok nasional. Peradaban yang dulunya banyak mengundang dan melahirkan tokoh nasional itu perlahan memudar, nyaris tenggelam. Memudar seiring rumah Pak Kyai yang sekarang rata dibongkar..
*diposkan kembali dari catatan FB Darul Setiawan
0 komentar:
Post a Comment