Api Tauhid, novel terbaru Habiburahman El Shirazy tak hanya
mengulas bagaimana rona kisah cinta antara Fahmi dan Nuzula. Disamping roman
tersebut, penulis yang akrab disapa Kang Abik itu menceritakan pula kisah perjuangan
seorang pahlawan akidah, dialah Badiuzzaman Said Nursi.
Bisa dibilang, Said Nursi merupakan ulama lintas zaman. Ia
lahir ketika Khilafah Utsmani masih kokoh berdiri. Ketika masa Sultan Abdul
Hamid yang amanah menjalankan sistem khilafah, Said Nursi ingin memberi masukan
pada kebijakan yang diambil Sultan. Ketika itu, tidak sedikit warga Turki yang
mulai banyak “terkontaminasi” dengan gaya hidup barat. Maklum, Turki adalah
negara dua benua, Eropa dan Asia. Masukan dari Said Nursi hampir saja
dijalankan, namun sayang, “rongrongan” dari luar rupanya banyak menggoyahkan
keteguhan Sultan, dimana saat itu kekuatan Ottoman sudah mulai berkurang.
Menjelang kekhilafahan Utsmani runtuh, kobar perjuangan Said
Nursi belum padam. Bahkan ketika tampuk kekuasaan bertransisi ke arah sekuler,
dimana pelajaran agama dihapus, para ulama diberangus, sampai pada hal lafadz
adzan pun diganti dengan bahasa Turki, Said Nursi tak berdiam diri. Saat fatwa
para ulama dibungkam menurut hawa nafsu pemerintah, Said Nursi enggan menerima.
Baginya, harum Islam harus tetap disebar, jangan karena rendah diri, nama Islam
kemudian dikucilkan dari peradaban. Paham sekuler merupakan ideologi yang
memisahkan ranah agama dengan dunia. Bagi penganut sekularisme, membawa-bawa
agama hanya akan membawa masalah. “Jauhkan agama dari tempat umum, masukkan dia
ke ruang privat,” kata mereka.
Gaung pengaruh sekuler rupanya terendus sampai Indonesia.
Peran Islam dalam sejarah kemerdekaan tak banyak ditampilkan. Buku-buku sejarah
yang seharusnya menyajikan fakta sejarah yang sebenarnya tertutupi beragam
kepentingan sentimen agama. Nama-nama ulama dan pejuang Islam mendapat porsi lebih
sedikit dalam materi sejarah di sekolah. Akibatnya pun bisa ditebak. Generasi
muda Indonesia lebih mengenal Kartini daripada Nyai Walidah. Mereka kurang familiar dengan Dewi Sartika dan Rohana
Kudus. Mereka lebih senang Kartinian daripada Cut Nyak Dien-an, atau
Malahayatian. Impact-nya lebih jauh
bisa ditebak, ghirrah—semangat dalam beragamanya
tidak lagi militan. Fanatiklah pada klub sepak bola, pada bintang korea, jangan
fanatik beragama. “Agama hanyalah candu,”kata Nietzche.
Jika sudah demikian, apa yang dikhawatirkan dari virus
sekularisme akan menjadi kenyataan. Mereka—para generasi muda, akan memberikan disparitas antara ilmu agama dan ilmu
dunia. Ilmu dunia akan diposisikan pada masalah dunia, ilmu agama akan
ditempatkan pada ranah akhirat. Mereka akan sulit menangkap dan membaca “ayat-ayat
tersirat”.
Tak salah ketika di dalam kelas, seorang guru Penjasorkes dalam
mengawali materi lompat jauhnya, memberikan pemahaman pada seluruh murid betapa
pentingnya mengungkap fakta sejarah yang lurus. Guru tersebut menyampaikan argumen,
bila di masa Kartini hidup, banyak nama-nama pejuang wanita yang tak kalah
gigih berkorban demi pemberdayaan dan kemerdekaan.
Namun sayang, upaya sang guru belum bisa ditangkap salah
seorang murid. Dalam sebuah diskusi, murid tadi bertanya pada sang guru; “apa
hubungannya Kartini dengan Olahraga?” Guru tersebut hanya bergumam dalam hati,”banyak-banyaklah
membaca, Nak, kau akan tahu sendiri.” Kendati di bagian hatinya yang lain dia
ingin berucap lirih,”di Jepara itu ada Stadion Sepak Bola yang bernama Gelora
Bumi Kartini.”
Porong, 220415
Ketika Mayantara membawa Imajinasi Nyata
Ketika Mayantara membawa Imajinasi Nyata
*gambar:http://opinion.bdnews24.com/
0 komentar:
Post a Comment