9 April 2015

Sepenggal Kisah Wisuda (1)

DBL Arena menggema. Ribuan manusia tumpah ruah dalam alunan wisuda. Ya, Ahad pagi itu (29/4), gedung megah yang dibangun pada medio 2007 lalu itu menjadi saksi acara Wisuda Universitas Negeri Surabaya yang ke-82. Terus terang, dalam hati saya campur aduk. Antara senang, haru, dan berat.

Senang? Wajar! Ketika seseorang mendapatkan suatu kebahagiaan, selain rasa syukur karena mendapatkan kenikmatan dari Allah. Senang tak lain merupakan ekspresi dari keraguan yang beberapa waktu lalu menghinggapi, “Iso tha aku iki lulus lan di wisuda, koq sawangane iwune ngerjakno skripsi iki?” (Bisakah saya nanti lulus dan diwisuda, koq kelihatannya beragam kesulitan ketika mengerjakan skripsi—terj).

Skripsi seolah menjadi momok. Padahal tidak ada kendala dalam hal penulisan. Namun, lagi-lagi manajemen waktu yang kurang profesional, sehingga beberapa hal yang prioritas seolah terabaikan. Akhir 2013 sampai 2014 menjadi catatan sejarah perjuangan anak pelosok kampung yang tak pernah bermimpi mengenakan toga itu dalam meraih cita-cita.

Pada fase akhir 2013 usai menunaikan amanah tugas PPL di SMK Ketintang Surabaya. Benar memang sebuah pitutur, betapa berharganya kehati-hatian. Ya, saat itu selepas melaksanakan salat Jamaah di masjid, tas beserta isinya (laptop) hilang tak berbekas. Harusnya, kebiasaan meletakkan tas dan tetek-bengeknya di depan shaft selayaknya menjadi habit, namun lagi-lagi mentalitas meremehkan sesuatu menjadi biang keladinya. Sehingga, ketika PKL pun, agak tersendat-sendat dalam mengerjakan laporan, menggarap skripsi-pun menjadi nomor kesekian. Ibaratnya, saat kawan-kawan lain sudah memanggul senjata, kita masih tidur nyenyak di barak -_-

Alhamdulillahnya, Allah mempertemukan saya dengan orang-orang berhati mulia. Dimulai dari kawan Pemuda Muhammadiyah di kampung halaman yang menaruh kepercayaan yang luar biasa besar pada saya, seorang yang kadang keistiqomahannya naik-turun, memberikan amanah untuk membeli ganti laptop saya yang hilang. Kedua, Allah mempertemukan saya dengan para dosen pembimbing, baik de jure maupun de facto yang sungguh sangat membantu.

Bu Sasminta misalnya. Meskipun beliau secara de jure bukan dosen pembimbing skripsi saya. Namun, peranannya dalam menumbuhkan ghirrah untuk bersegera menuntaskan janji mahasiswa—kalo boleh saya mengatakannya—luar biasa besar. Dari beliaulah awalnya benih semangat itu berkobar. Bu Sas—panggilan akrab beliau—mengirimi pesan via inbox fesbuk.  Bayangkan saja—saya saja tak pernah membayangkan—dosen sekaliber Bu Sas, yang menurut pengakuan kawan-kawan seangkatan terkenal dengan integritas dan kapabilitasnya yang tinggi, menanyakan kesungguhan saya dalam mengerjakan skripsi. Saat itulah kemudian—dengan persetujuan beliau sebelumnya—saya mengajukan beliau untuk menjadi dosen pembimbing. Namun sayang Kalab (Kepala Laboratorium) Jurusan saat itu tidak mengijinkannya dengan argumen kuota mahasiswa bimbingan Bu Sas sudah overload.  Apa daya, saya kemudian diberi opsi untuk memilih dosen pembimbing yang sesuai dengan judul TOR Proposal Skripsi yang diajukan. Dengan basmalah akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada dosen Psikologi Olahraga, Bapak Anung Priambodo. Dari Pak Anung—biasa warga FIK memanggilnya—saya mengenal arti perjuangan dalam menelorkan sebuah karya yang bernama skripsi.

Pak Anung merupakan dosen kami yang ranah keilmuannya dalam bidang psikologi. Maka tak heran, ketika pada semester dua lalu saya mengalami “misteri kuliah” dalam matakuliah Psikologi Olahraga dan kemudian mengulangnya pada semester genap berikutnya, saya dipertemukan dengan beliau dan alhamdulillah berhasil ‘merebut’ kembali nilai sebelumnya yang tak bertuan itu, hehe..

Pada saat menjadi mahasiswa bimbingannya, beliau—Pak Anung—sedang menjalani ‘pendakian’ untuk mendapatkan gelar doktoralnya di Universitas Negeri Malang (UM). Memang, selayaknya saya banyak berterimakasih pada beliau karena seringnya menghambat (hingga skripsi saya sudah sah, disertasi beliau ternyata masih berjalan). Berburu “coretan” dari kampus Lidah hingga Ketintang menjadi kenangan tersendiri. Bahkan pada akhir-akhir revisi, seringkali saya diminta beliau datang ke rumahnya yang berada di Driyorejo. Tak jarang pula, saking padatnya jadwal beliau, saya pernah diminta beliau membawa draft revisi skripsi ke Gereja (Pak Anung penganut Nasrani) di kawasan Lidah Kulon, saat itu beliau bilang posisinya berada di tempat tersebut karena sedang ada kegiatan. Untungnya saat itu saya sudah balik ke kampung halaman.  

Kawan-kawan kuliah ketika melihat judul skripsi saya mayoritas mengernyitkan dahinya. Bagi mereka, judul skripsi “Perbandingan Sportivitas antara Atlet Religius dan Non-Religius merupakan sesuatu yang baru, tidak mainstream, kata anak sekarang. Beberapa analisis mereka menyebutkan, perbandingan sportivitas selama ini lebih banyak antara siswa putra dengan siswa putri dalam pembelajaran A. Atau juga yang mainstream, antara atlet voli dengan sepak bola, ataupun antara siswa negeri dengan swasta. Apalagi bila agak radikal, religius seperti apa yang dimaksud? JIka dalam konteks agama Islam, kok dosen saya penganut Nasrani. Atau harus universal, menganggap semua rata pemahaman semua agama? Ah, rasanya saya kurang nyaman dengan istilah pluralisme. Untungnya tempat pengambilan sampel penelitian saya yang di Smanor yang rerata beragama Islam. Jadi insya Allah, istilah pluralisme dalam skripsi saya hanya akan ditemukan pada pendahuluan di Bab I (itupun atas saran dari dosen penguji).

(bersambung..)
 #dalam balutan barakah malam Jumat 090415






0 komentar: