DBL Arena menggema. Ribuan manusia tumpah ruah dalam alunan
wisuda. Ya, Ahad pagi itu (29/4), gedung megah yang dibangun pada medio 2007
lalu itu menjadi saksi acara Wisuda Universitas Negeri Surabaya yang ke-82. Terus
terang, dalam hati saya campur aduk. Antara senang, haru, dan berat.
Senang? Wajar! Ketika seseorang mendapatkan suatu
kebahagiaan, selain rasa syukur karena mendapatkan kenikmatan dari Allah.
Senang tak lain merupakan ekspresi dari keraguan yang beberapa waktu lalu
menghinggapi, “Iso tha aku iki lulus lan
di wisuda, koq sawangane iwune ngerjakno skripsi iki?” (Bisakah saya nanti
lulus dan diwisuda, koq kelihatannya beragam kesulitan ketika mengerjakan
skripsi—terj).
Skripsi seolah menjadi momok. Padahal tidak ada kendala
dalam hal penulisan. Namun, lagi-lagi manajemen waktu yang kurang profesional,
sehingga beberapa hal yang prioritas seolah terabaikan. Akhir 2013 sampai 2014
menjadi catatan sejarah perjuangan anak pelosok kampung yang tak pernah
bermimpi mengenakan toga itu dalam meraih cita-cita.
Pada fase akhir 2013 usai menunaikan amanah tugas PPL di SMK
Ketintang Surabaya. Benar memang sebuah pitutur,
betapa berharganya kehati-hatian. Ya, saat itu selepas melaksanakan salat
Jamaah di masjid, tas beserta isinya (laptop) hilang tak berbekas. Harusnya, kebiasaan
meletakkan tas dan tetek-bengeknya di
depan shaft selayaknya menjadi habit, namun lagi-lagi mentalitas meremehkan
sesuatu menjadi biang keladinya. Sehingga, ketika PKL pun, agak
tersendat-sendat dalam mengerjakan laporan, menggarap skripsi-pun menjadi nomor
kesekian. Ibaratnya, saat kawan-kawan lain sudah memanggul senjata, kita masih
tidur nyenyak di barak -_-
Alhamdulillahnya, Allah mempertemukan saya dengan
orang-orang berhati mulia. Dimulai dari kawan Pemuda Muhammadiyah di kampung
halaman yang menaruh kepercayaan yang luar biasa besar pada saya, seorang yang
kadang keistiqomahannya naik-turun, memberikan amanah untuk membeli ganti
laptop saya yang hilang. Kedua, Allah mempertemukan saya dengan para dosen
pembimbing, baik de jure maupun de facto yang sungguh sangat membantu.
Bu Sasminta misalnya. Meskipun beliau secara de jure bukan dosen pembimbing skripsi
saya. Namun, peranannya dalam menumbuhkan ghirrah
untuk bersegera menuntaskan janji mahasiswa—kalo boleh saya mengatakannya—luar biasa
besar. Dari beliaulah awalnya benih semangat itu berkobar. Bu Sas—panggilan akrab
beliau—mengirimi pesan via inbox
fesbuk. Bayangkan saja—saya saja tak pernah
membayangkan—dosen sekaliber Bu Sas, yang menurut pengakuan kawan-kawan
seangkatan terkenal dengan integritas dan kapabilitasnya yang tinggi, menanyakan
kesungguhan saya dalam mengerjakan skripsi. Saat itulah kemudian—dengan persetujuan
beliau sebelumnya—saya mengajukan beliau untuk menjadi dosen pembimbing. Namun sayang
Kalab (Kepala Laboratorium) Jurusan saat itu tidak mengijinkannya dengan argumen
kuota mahasiswa bimbingan Bu Sas sudah overload.
Apa daya, saya kemudian diberi opsi
untuk memilih dosen pembimbing yang sesuai dengan judul TOR Proposal Skripsi
yang diajukan. Dengan basmalah akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada dosen
Psikologi Olahraga, Bapak Anung Priambodo. Dari Pak Anung—biasa warga FIK
memanggilnya—saya mengenal arti perjuangan dalam menelorkan sebuah karya yang
bernama skripsi.
Pak Anung merupakan dosen kami yang ranah keilmuannya dalam
bidang psikologi. Maka tak heran, ketika pada semester dua lalu saya mengalami “misteri
kuliah” dalam matakuliah Psikologi Olahraga dan kemudian mengulangnya pada
semester genap berikutnya, saya dipertemukan dengan beliau dan alhamdulillah berhasil
‘merebut’ kembali nilai sebelumnya yang tak bertuan itu, hehe..
Pada saat menjadi mahasiswa bimbingannya, beliau—Pak Anung—sedang
menjalani ‘pendakian’ untuk mendapatkan gelar doktoralnya di Universitas Negeri
Malang (UM). Memang, selayaknya saya banyak berterimakasih pada beliau karena seringnya
menghambat (hingga skripsi saya sudah sah, disertasi beliau ternyata masih
berjalan). Berburu “coretan” dari kampus Lidah hingga Ketintang menjadi
kenangan tersendiri. Bahkan pada akhir-akhir revisi, seringkali saya diminta
beliau datang ke rumahnya yang berada di Driyorejo. Tak jarang pula, saking
padatnya jadwal beliau, saya pernah diminta beliau membawa draft revisi skripsi
ke Gereja (Pak Anung penganut Nasrani) di kawasan Lidah Kulon, saat itu beliau
bilang posisinya berada di tempat tersebut karena sedang ada kegiatan.
Untungnya saat itu saya sudah balik ke kampung halaman.
Kawan-kawan kuliah ketika melihat judul skripsi saya mayoritas
mengernyitkan dahinya. Bagi mereka, judul skripsi “Perbandingan Sportivitas
antara Atlet Religius dan Non-Religius merupakan sesuatu yang baru, tidak mainstream, kata anak sekarang. Beberapa
analisis mereka menyebutkan, perbandingan sportivitas selama ini lebih banyak
antara siswa putra dengan siswa putri dalam pembelajaran A. Atau juga yang mainstream, antara atlet voli dengan
sepak bola, ataupun antara siswa negeri dengan swasta. Apalagi bila agak
radikal, religius seperti apa yang dimaksud? JIka dalam konteks agama Islam,
kok dosen saya penganut Nasrani. Atau harus universal, menganggap semua rata
pemahaman semua agama? Ah, rasanya saya kurang nyaman dengan istilah pluralisme.
Untungnya tempat pengambilan sampel penelitian saya yang di Smanor yang rerata
beragama Islam. Jadi insya Allah, istilah pluralisme dalam skripsi saya hanya akan
ditemukan pada pendahuluan di Bab I (itupun atas saran dari dosen penguji).
(bersambung..)
0 komentar:
Post a Comment