Jadi begini, ketika kita punya kenangan dengan apapun itu,
maka saat bertemu kembali dengannya, sedikit banyak kita akan mengenang
masa-masa bersamanya. Seperti itulah saya ketika mendapati kenyataan
Wisuda ke-82 Unesa akan diadakan di DBL Arena, bukan di GOR Bima-Lidah.
INSTAGRAM: 23 Juni 2013 |
Haru. Betapa tidak! Dulu, sekitar tujuh tahun lalu, ketika
diri ini untuk pertama kalinya menjejak kaki di Graha Pena. Info lowongan kerja
yang dibaca pada kolom iklan baris hari Sabtu di Jawa Pos, mengantarkan langkah
kaki hingga sampai di markas koran terbesar di ujung timur pulau Jawa itu.
Hanya
berbekal selembar ijazah cuma-cuma dari SMA, ditambah semangat jihad fi sabilillah, membulatkan tekad pada
diri untuk mengubah keadaan, dari tiada menjadi ada, dari kutu kupret menjadi
kutu loncat—kutipan khas Pak Romi Satria Wahono, dengan harapan agar dapat
menjadi kenyataan—red.
Bukan waktu yang singkat untuk dapat bertahan di rumah
keluarga besar Jawa Pos Group tersebut. Bukan pula semudah membalik telapak
tangan untuk dapat mengatur waktu, dan kemudian membaginya antara kesibukan
kerja dan kuliah. Menjadi mahasiswa dua kaki. Menjadi pekerja dua hati.
Pernah ada suatu masa, ketika musala di lantai dua menjadi
teman tidur setia. Hanya karena ketika jam pulang malam shift dua yang pukul
sebelas itu aras-arasen—malas—terj,
akhirnya musala menjadi sasaran. Ada pula masa, ketika kamar mandi redaksi yang
ada di lantai empat menjadi target, agar bau badan sedikit berkurang ketika
masuk shift pagi. Begitulah sedikit ingatan yang disebut dengan kenangan itu.
Maka saya begitu naif, ketika menyebut gelar yang saya dapatkan
ini murni karena kerja keras, keuletan, dan sikap pantang menyerah dari saya
seorang, itu salah besar. Karena sesungguhnya ada banyak tangan-tangan yang
digerakkan oleh Allah untuk membantu hambanya yang lemah dan tanpa daya ini. Ada doa-doa terpanjatkan. Dan itu semua karena Allah yang memberi jalan atas semua kemudahan.
Saya akan mengingat mereka, kawan seprofesi di ring satu
(sebutan untuk “pasukan” garda terdepan) yang telah memberikan sumbangsih
waktu, tenaga dan pikirannya untuk saya. Mereka mungkin disebut golongan—maaf--
“pekerja kelas bawah”, namun percayalah dari merekalah saya menemukan pelajaran
berharga: “jangan pernah menilai isi buku dari sampulnya”.
Kenyataannya memang, ketika dugaan awal yang mengatakan
tidak adanya teman baik dalam pekerjaan akhirnya terbantahkan. Di Graha Pena
ternyata berterbaran, mereka-mereka yang tulus, ikhlas, dan berhati mulia. Pengalaman
pribadi selama kurang lebih enam tahun disana (2008-2014) menjadikan saya
sedikit membuka diri dan mengasah kepekaan dengan realitas sosial para buruh
jasa—jika boleh mengatakannya—dengan “mata yang lebih terbuka”.
Itulah mengapa ada perasaan haru ketika mengikuti prosesi wisuda
yang lalu. Ketika tiba di Graha Pena saya masih bisa bercengkrama dengan
mereka, Mas Syaifulloh, Mas Murindae, Mas Anton, dan Mas-mas serta Pak-pak
lain, yang tak dapat disebut satu-persatu—semoga Allah memberikan kelipatan
atas kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya, aamiin.
Terakhir adalalah berat. Beratnya tanggungjawab yang teremban
usai wisuda dirampungkan. Dari ikrar yang diucapkan bersama-sama, dari gelar
yang merupakan amanah, dan dari harapan masyarakat yang dibebankan pada pundak
kami semua. Semoga Allah selalu meridhoi jalan kami, jalan para PEDJOEANG yang
tak hanya haus gelar, namun juga haus ilmu dan prestasi.
Jasem-Wonoayu-Tulangan-Porong 110415
–dalam degup niatan bersegera—
TERIMA KASIH: Hasil Bidikan Sholeh Ugeng, Salah Satu Kawan di Graha Pena |
0 komentar:
Post a Comment