Pagi itu, hari Jumat 28 Oktober
2011, bertepatan dengan hari Sumpah
Pemuda, sumpah yang menjadi cambuk semangat bagi para pemuda Indonesia, cuaca yang
cerah namun jalanan Surabaya sudah macet
parah. Setelah selesai dari suatu tugas di Graha Pena, aku akan berencana melanjutkan tugas lain. Dengan salah satu
teman yang ‘bernasib’ sama, Adi Yudha, aku berangkat menuju ke sebuah kampus,
yang bedanya dengan kampusku hanya dari kata-kata ‘negeri nya’, ya, Universitas
Surabaya atau Ubaya.
Setelah start dari ex-baliho iklan Suryo
Agung di Joyoboyo, aku dan Yudha melewati jalan protokol A. Yani. Sengaja tidak
memilih jalan tembus Jagir Wonokromo, karena hanya satu alasan, belum tahu
jalan tembusannya kemana, itu saja. Maka, berbekal informasi dari salah satu
teman di Graha Pena, akhirnya kami pun melewati A. Yani dan berbelok ke kiri ke
arah timur jalan Rungkut Industri. Tak seberapa jauhnya, setir motor shogun kubelokkan
kekiri, menuju ke jalan Kendangsari, “Lurus aja jalan Kendangsari sampai
mentok,” ingatku mengingat kata-kata petunjuk dari temanku itu, yang kebetulan
rumahnya tak jauh dari kawasanyang akan kami tuju. Akhirnya, setelah kurang
lebih 2-3 kilo menyusuri jalanan yang beraspal, akhirnya sampai juga di kawasan
kampus yang menjadi jujugan studi dari salah seorang temenku di kampung.
Dari jarak puluhan meter, atap
kampus tersebut sudah dapat dijangkau oleh pandangan mata, kampus yang megah
dengan desain yang modern, banyak ditumbuhi pepohonan, begitu gambaranku
sebelum memasuki gerbang kampus tersebut. Gambaranku tersebut ternyata hampir
benar seratus persen, karena setelah menerima karcis motor dari seorang petugas
kemanan, kenyataan di lapanganpun menjawab demikian, megah, bersih dan modern.
Sepanjang perjalanan menuju ke Fakultas Teknik Informatika, setiap jengkal pandangan
dimanjakan dengan banyaknya taman serta gazebo yang menjadi destinasi favorit para
mahasiswa yang mengenakan jas almamater hijau dongker tersebut. aku pun hanya bisa
membayangkan jika hal itu, suatu saat akan menjadi sebuah kenyataan di kampusku
yang hanya beda status ‘negeri’ itu. Tidak jauh-jauh, harapanku di fakultasku
sendiri, FIK, semoga fasilitas tersebut tidak menjadi sebuah barang langka atau
mewah. Aku pun membayangkan jika hal tersebut menjadi kenyataan, tentunya akan
banyak hal positif yang bisa didapat di lingkungan akademik kampus. Salah
satunya, mengurangi jumlah mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang-kuliah-pulang)
alias agar mereka bisa lebih kerasan di kampus daripada di kos-kosan. Dampak lainnya,
gairah mencintai kampus akan mendalam dan ikatan emosional akan terbentuk
seiring dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan di lingkungan kampus.
Menuju ke lantai dua, dimana letak
ruangan dosen Fakultas Teknik Informatika tersebut berada, kami bertemu Bapak
Bambang Priambodo, M.MT, seorang dosen yang sekaligus menjadi Ketua Bidang
Organisasi GABSI Jawa Timur, dengan senyumnya yang ramah , beliau mempersilakan kami untuk duduk
di sofa yang berada didalam ruangan dosen tersebut, yang memang sudah diperuntukan
untuk para tamu. Kedua mataku tak hentinya mengeksplorasi setiap sisi ruangan.
Selain sisi penataan ruang yang dinamis, kesan yang ditampilkan di ruang dosen
tersebut juga bersih dan modern. Meski tidak terlalu luas betul namun sekat-sekat
yang memisahkan dibuat sefungsional mungkin sehingga aspek kenyamanan dan
manfaat ruangan tersebut sama-sama tidak mengurangi nilai estetik yang ada. Pun
dengan udara didalamnya, cukup sejuk dan tidak terlalu dingin, relatif tidak
seberapa kontras dengan lingkungan disekitar yang banyak ditumbuhi banyak
pepohonan yang hijau nan rindang.
Kami pun memperkenalkan diri dan
mengutarakan maksud dan tujuan kami menemui beliau, yang tak lain untuk mendapatkan
informasi tentang istilah-istilah didalam cabang olahraga Bridge, mengenal
sejarahnya, aspek-aspek permainan, peraturan serta cara permainannya olahraga
otak tersebut. Selain itu, maksud kami yang lain adalahuntuk mendapatkan
legalitas dari rangkaian tugas mata kuliah Manajemen Penjasor itu. Beruntung
aku dan temanku, Yudha mendapatkan undian olahraga Bridge, selain karena
olahraga tersebut unik, karena tidak seperti halnya olahraga lain yang
mempergunakan fisik, pada cabang olahraga Bridge lebih dikedepankan kemampuan otak,
meskipun aspek fisik seperti stamina dan emosi juga tak kalah pentingnya. Olahraga Bridge, seperti halnya catur, selain
ketenangan dan kesabaran, kemampuan otak dalam meramu strategi mutlak
diperlukan.
Hal lain yang membedakan, selain dari media/ alat yang digunakan,
Bridge menggunakan kartu sebagai media permainannya, termasuk juga dalam jumlah
para pemainnya. Pada
olahraga Bridge,
pemain harus mempunyai partner yang bisa diajak kerjasama, baik dalam menyerang
maupun dalam bertahan, dan membagi tugas dalam strategi yang telah disusun dan
bisa satu hati. Artinya partner memiliki peran sentral dalam kemenangan sebuah
tim, setidaknya partner memiliki kemampuan yang sama, baik dari kemampuan
memahami strategi, tingkat permainan yang digunakan dan kemampuan menerima
maupun menyampaiakan kode pada saat pertandinagan sedang berlangsung. Biasanya dalam
satu meja pertandingan Bridge, haruslah dimainkan dengan minimal 4 orang
pemain. Jika permainan beregu, permainannnya bisa sampai 6 pemain padasatu meja.
Nah, karena sistem permainannya dengan melakukan penawaran (bidding) maka
faktor perhitungan yang jeli sangat diperlukan dalam permainan ini. Tak lain
karena partner kita haruslah paham dengan maksud sistem permainan yang akan
kita terapkan dalam permainan bridge, itulah sebab mengapa olahraga bridge
tidak selalu bergantung pada keberuntungan.
Keberuntungan
hanya berkisar 10 persen, dan hal itulah yang membedakan Bridge
dengan paradigma yang berlaku di masyarakat saat ini: menyamakan semua olahraga
yang menggunakan kartu dengan judi. Permasalahan tersebut setidaknya
diungkapkan Pak Sudarno, Ketua Harian GABSI Jatim yang sekaligus Ketua Umum
GABSI Kabupaten Sidoarjo. Beliau pun menambahkan, kalau mau objektif, semua jenis
olahraga manapun bisa dikatakan dan dijadikan judi, tergantung kepentingan
oknum yang bersangkutan, beliau mencontohkan mulai dari pos-pos kamling yang
menggunakan permainan papan catur sampai
pada sepak bola, semuanya ada sesuatu yang berbau judi. Bridge yang menggunakan
media kartu harus menerima kenyataan dicap sebagai satu-satunya olahraga judi,
sungguh ironi.
Padahal, jika mau objektif, Bridge sudah mengharumkan nama
bangsa Indonesia
di berbagai kancah kejuaraan dunia, yang terakhir, menempati peringkat kedua
pada kejuaraan dunia di Belanda. Bandingkan dengan prestasi persepak bolaan kita,
menjadi juara tingkat Asia Tenggara saja, sangat susahnya. Keuntungan yang
lain, masih menurut Pak Darno adalah dapat meningkatkan intelegensia. Murid-murid SD
maupun SMP yang menekuni olahraga Bridge, kemampuan akademik semakin baik
daripada sebelumnya dan dibandingkan teman-temannya yang tidak menekuni Bridge.
Kemampuan mengingat pun meningkat, dan dapat menghambat kepikunan, itu pula
yang di rasakan oleh para pemain
Bridge, temasuk Pak
Sudarno sendiri yang sudah lebih dari 35 tahun menekuni olahraga asli dataran
eropa itu. Kalau sudah tahu manfaatnya, kenapa kita harus ragu (lagi) dengan
Bridge..??
0 komentar:
Post a Comment