Perjalanan Porong-Lawang pada Kamis (25/12) siang itu
ternyata banyak menyita tenaga dan waktu. Bayangkan, jarak yang biasa ditempuh
hanya dalam waktu normal 2 x 30 menit (dengan mengesampingkan berhenti mengisi
bahan bakar dan duduk sebentar di warung pinggir jalan-red), kali ini bisa
memakan waktu sampai hampir dua jam lebih. Faktor klasik; kemacetan, masih
menjadi aktor utama terhambatnya perjalanan.
Berangkat ba’da salat dhuhur, motor vega lansiran tahun
200-an meluncur deras ke arah selatan. Di belakang rumah “jagal”, akhirnya
motor itu berhenti kemudian. Disana sudah menunggu mz Syahrul, mb Fine, Fuha,
dan Izzam, keluarga yang menjadi role model kami berdua. Ya, saya dan Mohammad
Delgago, entrepreneur pasar Porong, yang sekaligus menjadi sekretaris Pemuda
Muhammadiyah Porong, diajak bersama keluarga “Baiti Jannati” tersebut untuk
berlibur ke Lawang.
Tujuan destinasi kami awalnya adalah singgah di Lawang,
tepatnya di Perumahan Malang Anggun Sejahtera, perumahan yang masih saudara kandung
Perum TAS II di Tanggulangin, dan Perum TAS I di desa Kedungbendo yang sudah
ditenggelamkan lumpur. Jangan bayangkan, nasib perum MAS akan sama dengan Perum
TAS I.
Ketika masuk di gerbang utamanya yang berdekatan dengan RSJ
Dr. Radjiman Wediodiningrat, alias Rumah Sakit Jiwa Sumber Porong, kita akan
disambut dengan ratusan pohon trembesi yang sudah berjejer di sepanjang jalan
akses menuju perumahan. Disana (perumahan MAS-red) tak ubahnya sebuah lembah
yang dikelilingi perbukitan dan pegunungan. Subhannallah sungguh luar biasa
alam ciptaan Allah.
Perjalanan menuju rumah mz Syahrul dan mb Fine yang berada
di blok E tersebut menjadi tak membosankan karena lukisan Sang Pencipta yang
tiada berbanding. Sesampainya dirumah bertipe 36 itu kami bersih rumah yang
memang hanya di”satroni” minimal sebulan sekali.
Setelah bersih-bersih rumah dan berdiskusi akan jalan dakwah
persyarikatan Muhammadiyah yang ada di ranting dan cabang (termasuk juga
ortomnya-red), kami berangkat untuk silaturahim ke petani organik. Perumahan
tersebut memang berbatasan dengan rumah warga kampung yang berada di perbukitan
yang jalannya naik turun. Sepanjang perjalanan, kami menyaksikan pemandangan
berhektar-hektar sawah dengan lanskap bukit hijau yang sungguh sejuk dipandang
mata. Disana di ujung jalan, tepatnya di desa Ngepoh, motor kami belokkan ke kiri dan akhirnya berhenti di sebuah rumah.
Pak Kemin Hardianto nama petani organic tersebut. Mulai
tahun 2007 beliau beserta kelompok tani “Sumber Makmur II” mengembangkan pertanian
organik. Pertanian yang menghilangkan unsur pupuk kimia untuk menyuburkan
tanaman. Kebetulan Pak Kemin merupakan ketua kelompok tani yang sudah
menghasilkan produk organik berupa beras tipe IR-64, beras merah, beras hitam,
serta seral beras merah dan hitam. Dari keterangan beliau juga kami baru tahu
bila produk organik terutama beras rasanya sangat mengenyangkan. Beliau
menuturkan, untuk setengah liter beras cukup untuk empat orang di keluarganya.
Rumahnya yang sederhana itu penuh dengan aneka tumbuhan, kolam ikan, dan gazebo
untuk pertemuan kelompok petani. Setelah berdiskusi hampir tiga puluh menit
akhirnya kami pamit pulang dengan “oleh-oleh” delapan karung beras yang
masing-masing berisi 5kg, empat sereal beras merah dan hitam.
Tak lupa kami
berterimakasih atas suguhan “godho sukun”. Panganan tradisional yang biasa
menempati urutan terbawah di penjualnya tersebut (penilaian pribadi
penulis-red), ditangan keluarga Pak Kemin menjadi terhormat. Karena menjadi
suguhan wajib. Dan memang harus diakui, untuk rasa godho sukun yang biasa keras
dan hambar seperti nasib godho pohong yang belum berkolaborasi dengan keju.
Sungguh manis dan lembut, karena menurut istri Pak Kemin, untuk citarasa godho
sukun yang maknyus seperti yang dihidangkan itu, hal pertama yang harus
dilakukan adalah “mengukep”, menjadikan matang buah sukun itu terlebih dahulu.
Baru setelah matang, sukun tersebut dikukus dan digoreng beserta tepung. Wah,
pantesan beda rasanya. Wong kita biasanya cuman langsung menggoreng, tanpa
melihat sudah matang atau belum, apalagi mengukus, ck..ck..(ilmu baru-red).
Usai bersilaturrahim dan mendapat banyak ilmu baru, kami pun
kembali ke ‘basecamp’ untuk menunaikan salat maghrib. Dirangkai dengan salat
Isya setelahnya, kami segera bersiap mengisi perut. Di jalan utama menuju
gerbang perumahan itulah warung penjual tahu telor. Panganan yang mirip dengan
tahu tek tersebut menjadi jujugan kami untuk makan malam. Kami harus
berterimakasih pada mz Syahrul dan mb Fine, karena mulai siang hingga malam,
untuk urusan perut, kami tak boleh merogoh kocek sekalipun. Jazakumulah khairan
katsir.
Kota Lawang kadang terlalu nyaman untuk dinikmati
keindahannya pada malam hari. Tak seperti ramainya jalan rayanya, untuk
perumahan MAS sendiri saat itu bisa dibilang masih sepi. Padahal di dalamnya ada cottage yang
disewakan per-kamarnya. Jika dilihat dari kampung tempat kami membeli produk
organik tadi, cottage yang bernama “BESS” tersebut sungguh menarik dan anggun.
Karena perpaduan lampu yang berwarna kuning menjadi pusat perhatian bagi siapa
saja yang melintas di jalanan kampung. Dengan view perbukitan dengan hawa
pegunungan yang khas, kami bermimpi untuk kapan-kapan bersama kawan Pemuda
Muhammadiyah untuk menyewanya. Ya, walaupun untuk harga weekend dan weekday-nya
bisa sampai ratusan ribu perhari. Ga pa pa-lah, “mimpi itu harus dikerjakan,
bukan diomongkan,”kata Pak Romi Satria Wahono.
Pagi Sang Pencerah
Pagi yang tak biasa kami lewati. Senyuknya kota Lawang
menyusup diantara jendela-jendela kamar. Di pagi yang tidak seberapa dingin itu
kawan kami Delgago sudah bergegas ke kamar mandi. Ditanya suhu air yang ada di
kamar mandi, dengan sedikit membusungkan dada, dia menjawab bahwa aktivitas
mandi pagi sudah menjadi kebiasaannya. Karena saban pagi dia harus berangkat ke
Pasar Porong untuk “berjihad”.
Ba’da salat subuh berjamaah, kami pun bersiap dengan
aktivitas jalan-jalan, Menyusuri jalanan perumahan yang berpaving, menembus lintasan
makadam yang membatasi jalanan kampung dengan perumahan. Dan, lagi-lagi
pemandangan yang sayang untuk dilewatkan, menjadikan mata kami begitu dominan
menikmati alam ciptaan sang Khaliq. Perjalanan yang berlangsung kurang lebih
sejam, yang diselingi dengan foto-foto itu berakhir di warung nasi di sebelah
timur pasar Lawang.
Usai menunaikan hak perut, saya dan Delgago bergegas segera
menjalankan amanah yang lain; pergi ke Batu. Sementara mz Syahrul ke Porong untuk
menyelesaikan proyek pindahan Perguruan Muhammadiyah yang ada di Lajuk. Usai
salat Jumat, beliau akan kembali ke Lawang untuk menjemput Mb Fine, Fuha, dan
Izzam. Kami pun pamit.
Dalam perjalanan menuju kota Batu, prediksi kami bila
jalanan bakalan padat ternyata tepat. Sepanjang perjalanan dari Lawang hingga
Karanglo, jarum speedometer motor kami hanya mentok pada kisaran 20-40 km/jam.
Libur umat kristiani yang digandeng dengan cuti bersama membuat istilah libur
panjang semakin kentara dengan padatnya kendaraan di jalan raya. Dan tak dapat
dipungkiri, kami sesekali membenarkan tempat duduk karena panasnya jok motor di
tengah kemacetan sangat terasa.
Plang Papan Panti Asuhan 'Aisyiyah Bumiaji Kota Batu |
Lewat Karang Ploso untuk menghindari kemacetan Kota Batu.
Tibalah kami di pintu gerbang Kaliwatu Rafting. Amal Usaha kreatif dari
Pimpinan Cabang Muhammadiyah Bumiaji. Ya, berada di daerah wisata yang dikelilingi
view pegunungan yang berhawa dingin menjadikan kecamatan Bumiaji memilih untuk
bergerak di amal usaha kreatif berupa tempat wisata. Kaliwatu sendiri merupakan
brand rafting dari “Apple Sun Learning Center”, yang berada satu kompleks
dengan Panti Asuhan Aisyiyah Bumiaji. Disana ada Masjid biru yang gagah dan
indah.
Setelah perjalanan yang melelahkan, kami agak mendinginkan
suhu tubuh sejenak dengan berleyeh-leyeh di masjid biru tersebut. Setelah
beberapa menit kami pun bertemu dengan Ibu pengasuh panti. Setelah menyampaikan
maksud kedatangan kami, dipanggillah Pak Wahab, Bapak pengasuh panti. Keduanya
kemudian mempersilakan kami masuk ke ruang kantor panti yang berada di sebelah
barat. Hampir satu tahun rupanya, ketika kedatangan pertama kalinya ke panti
tersebut. Dan saat ini kami pun bermaksud ingin mengadakan kegiatan serupa,
sama dengan kegiatan yang kami selenggarakan pada Januari lalu.
Pak Wahab rupanya masih mengingat kami, dan beliau mempersilakan
bila ingin memakai fasilitas panti untuk kegiatan yang akan kami selenggarakan.
Kami pun berterimakasih banyak. Dan obrolan pun berlangsung hangat dengan
kedatangan Pak Prayit, ‘guide’ tempat-tempat menarik yang ada di Batu. Beliau
juga termasuk bagian dari Panti, Istrinya turut ambil peranan dalam urusan
masak-memasak di Panti Asuhan yang didirikan mulai tahun 2004 tersebut.
Masjid Biru?: Asli Sebenarnya Saya Lupa Nama Masjidnya, hehe.. |
Kami diminta Pak Wahab untuk menahan diri agr tidak segera
pulang. Agar kami melaksanakan salat Jumat di masjid biru. Karena akan diperkenalkan
dengan Pak Teguh, ketua panti. Kebetulan Pak Teguh yang menjadi khatib dalam
salat Jumat nanti.
Sosok Pak Teguh mengingatkan saya pada presiden ketiga republik
ini; BJ. Habibie. Itu terlihat dalam penyampaian khutbah Jumat yang bertema
Taqarrub Qalbi dalam menghadapi tahun baru yang sarat kemaksiatan. Pun juga tampak
ketika kami berbincang usai salat Jumat. Beliau dengan lugas meminta kami untuk
mengirim surat lewat email.
Obrolan kami tak lama, karena di hari yang sama masih banyak
amanah-amanah lain yang sudah menunggu. Sebelum beranjak pulang, kami diminta
untuk mencicipi panganan yang ada di meja depan kami. Karena awal bertamu tadi
sudah disuguhi apel beserta sarinya. Kami pun berterimakasih. Karena mungkin
melihat kesungkanan kami, akhirnya Pak Wahab sendiri yang menyorongkan sendiri panganan
khas tersebut untuk kami. Kami berterimakasih kembali, atas “klenyemnya”..eh,
kebaikannya.
Tanggulangi Mudharat Tahun Baru: Pamflet dalam Bentuk Selebaran yang Diberikan pada Jamaah Salat Jumat |
0 komentar:
Post a Comment