“Ilmu adalah hewan buruan, dan menulis itu adalah
ikatannya. Ikatlah buruan kamu -yakni ilmu – dengan tali yang kuat – yakni
menuliskannya.”-Imam Syafi’i-
Saya jadi flashback pada medio tahun 2009. Saat masih
berkutat di Gedung Graha Pena. Ketika itu di lantai satu ada toko buku yang
bernama JP Bookstore. Ya, toko buku tersebut memang milik Jawa Pos Grup. Tapi
kali ini saya bukan bermaksud menuliskan “rona-rona” yang ada di dalamnya
(ehm..), tapi dari toko buku tersebut saya mengenal seorang penulis blog yang
juga sekaligus technopreneur.
Nama panggilannya Mas Romi, alias Romi Satria Wahono. Dari
blog yang dia tulis menghasilkan buku kecil yang inspiratif berjudul: “Dapat Apa Sih dari Universitas!” Dari buku tersebut saya banyak termotivasi. Dari
sekedar menuliskan pengalaman di blog, lalu berkeinginan untuk merasakan
atmosfer bangku kampus, hingga kemudian “berhijrah” dari Umsida ke Unesa. Dari
banyaknya hikmah yang ada dalam buku itu, saya masih mengingat pesan kuat yang
ada di dalamnya: “Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya.” Saking begitu kuatnya
pesan tersebut, sampai-sampai tagline blog pertama yang saya buat mencomot
kata-kata yang asal muasalnya ternyata dari seorang ulama madzhab besar: Imam
As-Syafi’i.
Ahad (15/2), bertempat di Rumah Penulis Bina Qolam Surabaya,
saya bersama kawan seperguruan dan seprofesi, Muhammad Zulkhifly, berkesempatan
menimba ilmu. Motivasi awal keikutsertaan saya karena narasumber yang hadir
adalah seorang da’i yang tak hanya menyampaikan dakwahnya lewat bil-lisan,
namun juga bil-qolam. Beliau adalah Ustadz Dr. Adhian Husaini. Menyebut nama
besarnya, sangat sayang untuk melewatkan kesempatan yang langka itu.
UNDANGAN: Hanya Tersebar Lewat Jejaring Sosial dan WA, namun Melimpah Peserta |
Sementara
Pak Kifly, panggilan kawan saya tersebut, motivasinya murni karena keinginannya
menguatkan tekad untuk merajut mimpi-mimpi besarnya: Islamisasi Ilmu. Tugas
berat tersebut diemban Pak Kifly karena tugasnya mengajar IPS, mata pelajaran
yang katanya banyak sekali pemutar balikan fakta sejarah.
Kami berangkat dari Masjid An-Nur, Sidoarjo. Yang memang
kebetulan, tiap Ahad ketiga ada pengajian umum yang wajib dihadiri (ketentuan
tidak tertulis warga Musasi). Nah, karena kami meninggalkan pengajian tidak
tepat pada waktunya (jadi tak hanya datang yang harus tepat waktu), maka kami
berpamitan pada Kepala Sekolah yang kebetulan ada tak jauh dari tampat kami duduk, sekaligus
menyampaikan acara yang akan kami ikuti di Surabaya nanti.
“Koq sepi, Pak?” tanya Pak Kifly pada saya ketika kami baru sampai dan mengambil tempat duduk di barisan ketiga sebelum acara dimulai.
“Belum datang semua, Pak, tenang, sebentar juga pasti ramai,”
jawab saya padanya.
Dan, ternyata memang, ketika kajian belum dimulai, saat Ketua
Yayasan Bina Qolam, Mas Oki Aryono, menyampaikan sejarah didirikannya Yayasan
yang berada di Jalan Bengawan itu, para peserta mulai banyak berdatangan dan
memenuhi ruangan. Sampai-sampai, pada sesi kajian, ketika Ustadz Adhian belum
rampung bertausyiyah, para peserta diminta untuk menggeser tempat duduknya maju
kedepan.
ANTUSIAS: Para Peserta Kajian Intensif Islam Penulis (KIIP) yang Diselenggarakan Bina Qolam Surabaya |
Antusiasme para peserta barangkali selain karena narasumber
yang memang berkompeten dalam bidang penulisan (terutama kajian Islam), yang
tak kalah menarik adalah tema kajian yang diusung saat itu: “Mujahid Penulis
Saatnya Bangkit!”
Dalam tausyiyahnya, Ustadz Adhian membuka mata dan hati para
audiens dengan kalimat pentingnya jihad. Beliau menyebut dalam Quran Surat
As-Shaf, ketika Allah mengajak hambanya untuk (berniaga) berdagang dengan-Nya.
Salah satu bentuk berdagang dengan Allah adalah berjihad dengan harta dan jiwa.
“Jika kita tidak berjihad, kita tidak akan masuk surga,”tambah penulis 30 buku
tersebut.
Nah, ditengah tausyiyahnya beliau menyelipkan kata-kata Imam
Syafi’I tentang seorang yang menuntut ilmu sama dengan orang yang sedang
berburu. Dimana ketika berburu dan mendapatkan buruan, jangan lupa ikatlah dengan
kuat. “Jadi yang disebut orang yang bodoh itu mengaji tapi ga mau nulis,” tukas
ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu.
Betapa dulu, di saat menulis harus menggunakan tinta,
peradaban Islam yang gilang-gemilang banyak melahirkan generasi penulis yang
handal. Sebut saja nama Al-Biruni, Syekh As-Sulami, hingga Imam Al-Ghazali. Di
Indonesia, nama-nama seperti Prof. Dr. HAMKA hingga M. Natsir menjadikan harum
nama bangsa berkat karya-karya monumentalnya.
Dan kini, ketika fasilitas begitu mudah didapat, harusnya
kita tak boleh kalah bersemangat dalam berjihad. Dengan tulisan yang di
dalamnya ada ruhul jihad, maka kita termasuk barisan-barisan yang memuliakan
agama Allah dengan kalam. Kemudian beliau berucap:
“Hina dan Mulianya Agama Allah Bergantung pada Jihad”
Hmm..ketika menuntut ilmu pahalanya sama dengan berjihad.
Dan di era yang modern ini, jihad tak lagi terbatas pada tataran fisik, namun
juga dalam bentuk intelektualitas berupa dakwah bil-qolam. Nah, agar kita bukan termasuk golongan para pemburu yang kehilangan buruannya, mari kita ikat ilmu itu dengan menuliskannya, mau..?
"Jihad Tak Harus dengan Kekerasan, Amarah, dan
Perang. Dengan Pena-pun Bisa Merubah Dunia."
-99 Cahaya di Langit Eropa-
Porong, 25 Maret 2015
Ghirah itu Masih Menyala..
*foto-foto: file facebook
*foto-foto: file facebook
1 komentar:
menarik pak, tulisannya. maaf gak bisa ikut.
Post a Comment