Sabtu lalu (21/3) ada acara bedah buku. Informasi awal yang
sehari sebelumnya di fesbuk, kemudian tersebar di grup-grup WA dan beberapa
kontak yang ada. Ada salah satu teman yang bertanya: “Pematerinya TOP ga?”
tanyanya. “TOP, wartawan JP!” jawabku.
Eko Prasetyo, ‘eks’ kuli tinta surat kabar nomor wahid di
ujung timur pulau Jawa itu memang sudah hadir. Ya, ketika perjalanan puluhan
kilo dari Porong hingga Taman Bungkul, saat kaki sudah melangkah masuk ke TKP,
menjadi semacam reuni yang tak disengaja.
Saya agak menjaga perasaan, agar ga sok kenal, ataupun sok
dekat (meskipun faktanya, saya dan mas Eko dulu sama-sama sering ketemu, namun
belum saling kenal). Maklum, ketika masih di Graha Pena, saya dan beberapa
kawan se-profesi dituntut untuk tetap menjaga ‘marwah’ korps, agar tetap disegani
dan dihormati (waduh kaya apa aja, hehe..). Yang jelas, ketika dulu masih
sama-sama ‘mencangkul dollar’ di gedung dua puluh satu lantai itu, kami sering
bersua, entah itu di musala lantai dua, pujasera, atau di kantor awak redaksi
yang bercokol di lantai empat.
Dari beberapa media cetak, saya menjadi lebih penasaran
dengan sosoknya. Di majalah Unesa, tulisannya yang menyoal istilah olahraga kerap
nongol. Di kolom citizen reporter surat kabar ‘seribuan’ , tulisannya bejibun
serta melimpah ruah. Rasa penasaran saya kemudian bermuara pada blognya. Dari
sana, sedikit banyak saya mulai mengenal alumnus FBS IKIP Surabaya itu
(sekarang Unesa-red).
Karena tempat acaranya di Bina Qolam, yang notabene
merupakan ‘sarang’ penulis-penulis yang dekat dengan nama ISID Gontor, MIUMI,
INSIST, Hidayatulloh. Saya kemudian bertanya-tanya, apa korelasinya dengan
narasumber yang jelas-jelas merupakan wartawan
surat kabar yang bisa dikatakan ‘sekuler’ itu?
Pertanyaan dan rasa penasaran saya kemudian sedikit demi
sedikit terjawab, ketika sang narasumber menghampiri saya dan bertanya.
“Mas..sebentar mas,
saya koq pernah melihat sampeyan. Koq ga asing wajahnya?”
Saya yang cengar-cengir kemudian mengangguk,
“Iya mas, saya dulu di Graha Pena..”
“Iya mas, saya dulu di Graha Pena..”
“Lho..ya ga salah kan. Makanya saya tadi koq mikir terus.
Koq kayanya pernah lihat ya. Sekarang dimana? Tanya beliau.
“Di SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, mas..”
Dari percakapan awal tersebut, tabir yang sebelumnya
melingkupi saya sedikit demi sedikit akhirnya terbuka.
“Iya mas, alhamdulillah,
saya sudah resign dari JP. Saya diingatkan Allah, jika fitrah tubuh manusia itu
tidak didesain untuk beraktivitas malam. Kerja liver itu bagus-bagusnya pukul
2-3 dini hari. Nah, bayangkan pada waktu-waktu itu saya masih berkutat di
kantor, sering malahan masih dikejar deadline.
Ah, mas Eko, mendengar ceritanya saya jadi berpikir,
sebegitu kerasnya kerja seorang editor yang merangkap sebagai jurnalis. Saya
yang dulu sering ketemu, lebih banyak berprasangka “betapa mudah kerja mereka”.
Astaghfirullah.
Oia, acara bedah buku karangannya yang berjudul: “Jangan
Cuma Pintar Menulis! Cara Dahsyat Menjadi Penulis Kreatif dan Produktif” banyak
berkisah tentang proses kreatif dalam pembuatan buku tersebut.
Mas Eko menjelaskan, dalam membuat buku ada proses kreatif.
Dimana ada tahapan-tahapannya. Seperti yang dicontohkannya. Di saat dulu masih
menjadi mahasiswa Unesa, dia ditantang oleh salah seorang dosennya yang berkata
lantang pada para mahasiswa:“Siapa yang tulisannya bisa tembus koran, tidak
usah ikut ujian, langsung dapat nilai A!”
Maka, banyak usaha yang dilakukannya. Mulai mengirim surat
pembaca, puisi, cerpen, hingga sampai pada tahap menyusun sebuah buku. “Yang
pasti, jangan menulis sesuatu yang tidak kita kuasai” ujar beliau
mewanti-wanti.
Menurutnya konsep yang dibutuhkan penulis itu ada empat. “Yang
pertama adalah kemampuan bertanya secara kritis. Kemudian konsep dan
pengetahuan. Ketiga adalah kemampuan menganalisis, dan yang terakhir mampu
mengorganisasi pemikiran,”jelasnya.
Pada akhir sesi acara, ketika saya memberitahu pada mas Pras
(panggilan Eko Prasetyo-red), amanah kepala Perpustakaan SMP Musasi, agar dalam
setiap beli buku ada tanda tangan penulisnya, mas Eko tersenyum dan segera
menandatangani buku karyanya tersebut. Sembari menandatangani buku, saya
kemudian berbisik,
“Ok, siap mas. Sebagai sesama alumni Graha Pena, saya siap
kapanpun.”jawab beliau sambil mengacungkan jari jempol.
Saya pun bersegera mengambil Samsung dari saku celana, menyentuh
layar, kemudian mengulang beberapa angka-angka yang disebutkannya. *
Porong, 23 Maret 2015
Saat Ghirah Menulis Memyskat
0 komentar:
Post a Comment