Jika Pak Edy Prawoto lebih suka memberi judul “Bule dan Perdagangan
Bebas”, maka saya lebih memilih sudut pandang lain. Aysel dan Emel, dua tokoh
yang diceritakan Kang Abik dalam novel terbarunya Api Tauhid.
Dalam novel pinjaman Perpus Musasi yang bau saya tuntaskan
tersebut, Aysel diceritakan sebagai sepupu Hamzah, teman kuliah tokoh utama
Fahmi ketika menempuh studi di Madinah. Karena Fahmi mendapat ujian sesaat
setelah menikah dengan putri Kyai Arselan, Nuzula. Belum beberapa lama menikah,
Fahmi diminta untuk menceraikan Nuzula tanpa sebab yang jelas. Kegalauan Fahmi
akhirnya dilarikan dengan cara ‘radikal’; menghafal Quran dengan hafalan
sebanyak 40 kali di raudhah masjid
Nabawi.
Belum genap 20 kali khataman, tubuh Fahmi akhirnya ambruk.
Ketika ditemukan sahabatnya asal Indonesia, Ali, ia segera dibawa ke rumah
sakit oleh Hamzah. Begitu siuman dan baikan. Keinginannya untuk melupakan masa
lalunya begitu kuat, sampai akhirnya Hamzah menceritakan rencananya pulang ke
negara asalnya, Turki, pada liburan kuliah. Gayung bersambut, Fahmi akhirnya
mau ketika ditawari Hamzah untuk ikut bersamanya. Bersama Subki, sahabat
kuliahnya yang lain asal Indonesia, mereka pun pergi ke negeri yang berbatasan
dengan selat Bosphorus tersebut.
Di negara bekas kekhalifahan Utsmaniyah itu, Fahmi dan Subki
diajak berkeliling kota-kota bersejarah yang ada kaitannya dengan Badiuzzaman
Said Nursi, seorang Mujaddid—yang juga menjadi kisah lain di novel ini—dan ikut
andil dalam menjaga kemurnian tauhid umat Islam Turki dari gempuran atheisme
dan sekularisme yang didengungkan Mustafa Kemal Attaturk.
Di sanalah akhirnya mereka bertemu dengan Aysel dan Emel.
Emel sendiri juga ada ikatan saudara dengan Hamzah. Kedua saudara Hamzah
tersebut diceritakan dalam novel tersebut sama-sama mempunyai paras yang
rupawan—terus terang sebelumnya saya hanya bisa menggambarkan paras-paras
rupawan Indonesia—yang membedakan hanyalah soal kualitas hafalan Quran. Dalam
bidang hafalan, Emel, lebih unggul dari Aysel, karena Emel lebih mendalami ilmu
agama dibanding Aysel.
Kembali ke topik awal. Sabtu pagi itu (11/4), saya ‘beruntung’
bertemu Aysel dan Emel dalam arti yang lebih luas, hehe..
Ruang guru dibuat panik, ketika para peserta pelatihan yang mendapat
wejangan IT dari Pak Edy, dikejutkan dengan kedatangan gadis-gadis luar negeri.
Ternyata mereka adalah mahasiswa Bu Purwaningsih, Dosen yang sekaligus Dekan
Fakultas Keperawatan Unair, yang sengaja diundang ke sekolah untuk menjadi
pembicara dalam kegiatan IPM tentang Bahaya dan Penanggulangan HIV/ AIDS.
Mereka berenam adalah mahasiswi Belanda yang menjalani
pertukaran mahasiswa dengan Unair. Selama enam bulan mereka “menjajah” kembali
Ibu Pertiwi. Dari sekilas perbincangan dengan Bu Pur—panggilan Bu Purwaningsih,
mereka sudah dua bulan berada di kota Pahlawan. Bu Pur juga bercerita, jika
diantara enam mahasiswi asal Belanda itu, ada satu yang keturunan Turki.
“Agamanya Islam, Bu?”
“Ya, Islam! Ketika saya studi di Belanda, Ayah-Ibu mereka
salat dan puasa, tapi dia (gadis Turki) itu ga salat dan ga puasa..”jawab Bu Pur.
“Kenapa, Bu?”
“Karena pengaruh lingkungan. Disana kan ateis begitu
dominan. Materialisme menjadi Tuhan. Meskipun gereja-gereja bertebaran, namun taka
da yang berpenghuni, sepi.” tambah wali murid dari Iqra kelas 7C ini.
Hmm..saya hanya bisa menarik nafas panjang..
Kedatangan para tamu dari Belanda ke sekolah kami tersebut,
setidaknya pada diri saya pribadi memberi banyak pelajaran.
Yang pertama adalah aspek keimanan. Betapa kita sungguh
bersyukur dilahirkan Ibu kita sudah dalam keadaan Islam. Kita berislam secara
turunan. Dan lingkungan kita, negara kita mayoritas pemeluk agamanya adalah Islam.
Sejak kecil kita dibiasakan dengan akhlak dan ibadah Islami, Alhamdulillah..
Kedua, saya sendiri merasa minder, Dengan kemampuan bilingual yang sangat terbatas dan
pas-pasan, rasa-rasanya begitu kelu lidah ini untuk sekedar bertanya pada
mereka. Saya pun jadi teringat masa pra-kemerdekaan. Bagaimana kecerdasan para founding father kita, Bung Hatta dan
Agus Salim saat berdiplomasi dengan mereka. Lha kita (saya), jangankan
berdiplomasi, untuk sekedar….(ah sudahlah)
Terakhir, rasa penasaran saya dengan sosok Aysel dan Emel
akhirnya sedikit terobati. Bayangan saya pada keduanya, akhirnya terjawab
dengan kehadiran enam mahasiswa asal Belanda tersebut. Lho, Belanda kan bukan
Turki? Iya, setidaknya Turki adalah separuh wilayahnya masuk Eropa, Iya, kan?!
Porong, 130415
—ghadul bashar—
0 komentar:
Post a Comment