Kalah adalah hal yang biasa dalam olahraga. Jika tak menang,
maka hasilnya adalah imbang atau menelan kekalahan. Para pemain, pelatih,
stakeholder, dan pada mereka yang mengaku mencintai olahraga akan sangat mahfum
dengan makna menang-kalah dalam olahraga.
Banyak faktor yang bisa dikaitkan atas kekalahan yang
menimpa suatu individu atau tim yang sedang bertanding. Bisa karena latihannya
yang kurang terstruktur, terukur, dan berkelanjutan. Bisa juga ketika ditengah pertandingan
mengalami cedera sehingga tak mampu melanjutkan jalannya pertandingan dan harus
ditandu ke luar arena permainan. Sedang faktor lainnya sungguh beragam, hingga
sampai ada yang menyalahkan takdir Tuhan yang menjadi biang keladinya. Poin
terakhir itu yang terkadang sering dikambinghitamkan dengan beragam excuse lain yang dipaparkan.
Namun, dalam olahraga kita diajarkan untuk bersikap sportif
menerima kekalahan dan mengakui keunggulan lawan. Karena bagaimanapun itu,
ketika kita sudah berjuang dengan penuh maksimal, dan hasil akhir menunjukkan
hasil yang kurang menggembirakan, kita tak perlu bersedih sebenarnya . Karena
bila kita yakin kemenangan itu akan menanti kita setelahnya.
Seperti itulah gambaran sikap saya sebagai makhluk Allah
yang masih banyak berlumuran dosa dan
khilaf yang tiada kira. Melihat teman-teman kuliah yang mengikuti yudisium, hati ini menggelegak penuh Tanya,
kira-kira mengapa saya tak bisa seperti mereka? Apa saja yang saya kerjakan
sehingga kalah dalam hasil yang telah mereka capai? Kurang sungguh-sungguhkah
saya? Atau memang kurang rajin dan banyak ke kampus untuk berkonsultasi dengan
dosen? Begitulah kira-kira pertanyaan yang langsung menggelayut di kepala.
Tapi kemudian saya kembali sadar, saya tak sama dengan
mereka. Ya, mereka-mereka yang sedang berbahagia dengan yudisiumnya itu. Tapi,
pantaskah saya beralasan dengan kesibukan yang ada. Mulai dari menapakan kaki
di tiga tempat yang berbeda dalam satu rentang waktu. Cukupkah alasan ketidakmampuan
saya mengejar capaian mereka dengan mengatakan. “Saya kan ikut organisasi,
sehingga wajar kalau saya tak bisa menyamai mereka?” Begitukah kira-kira?? Atau
dengan alasan-alasan lain yang hanya menjadi penghibur sesaat ketidakberdayaan
yang sedang menghinggapi? Tidak cukupkah beralasan karena kita sendiri yang
tidak merancang jauh-jauh hari, atau karena kita sendiri yang kurang fokus,
nir-istiqomah, dan mengabaikan faktor ketawakalan setelah sekuat tenaga
berikhtiar.
Sebenarnya tak pantas semua alasan itu. Benar..benar tak
pantas.
Karena seharusnya saya menginterupsi diri saya sendiri,
menyadari kelemahan dan kekurangan, dan mulai berusaha menyusun strategi untuk
menghadapi beragam “perang” yang menghadang di depan.
Karena olahragawan sejati, tak pernah menyalahkan orang lain
ketika kalah dalam permainan/ pertandingan. Dia akan mengidentifikasi kelemahan
diri, mengevaluasinya, kemudian meng-upgrade beragam keunggulan yang
dimilikinya.
Tak pernah terbersit dipikirannya untuk menyerah sebelum
mencoba. Pantang kalah, sebelum kaki keluar arena!
Mari berusaha! Karena waktu adalah rahasia dariNya untuk
mereka yang beriman, bertaqwa, dan berilmu. Bismillah, Oktober bisa!
0 komentar:
Post a Comment