Pada postingan sebelumnya, saya
sedikit menyentil perihal mental berkompetisi yang sudah kita kantongi semenjak
kita masih belum terlahir ke dunia. Dengan status berupa sel sperma, kita
berebut, berkompetisi, dan bersaing tidak dengan satu-dua lawan saja, tapi
dengan ribuan, bahkan jutaan competitor sel-sel sperma yang lainnya menuju satu
tujuan: indung telur!
Sama halnya dengan pertandingan
sepak bola. Persaingan menjadi nyata manakala dua tim yang bertanding mempunyai
kekuatan yang berimbang. Dua-duanya menampilkan permainan yang sama-sama
atraktif untuk bersaing dan berkompetisi menggapai kemenangan. Saling adu
strategi dua pelatih di luar lapangan, kedua supporter sama-sama memberikan
dukungan yang atraktif pada timnya masing-masing, serta dua puluh dua pemain
yang saling menampilkan kemampuan terbaiknya di lapangan hijau dengan porsi
peran yang telah ditentukan pelatih kedua kesebelasan. Jadi, bisa disimpulkan,
persaingan sepak bola yang sesungguhnya adalah ketika dua tim yang sedang
bertanding sama-sama menampilkan kemampuan terbaiknya untuk meraih kemenangan.
Mereka sangat yakin dengan ungkapan; bermainlah dengan cantik dan
atraktif, niscaya kemenangan hanya
tinggal menunggu waktu!
Jika bicara tentang persaingan,
saya jadi teringat masa sekolah enam tahun alias SD dulu. Di jaman yang lekat
dengan seragam putih merah tersebut, saya tak ubahnya menjadi petarung yang
sangat bernafsu untuk menjuarai sebuah kompetisi. Saya kurang paham apakah
faktor sekolah desa sehingga tingkat persaingan menjadi kecil dan tipis. Namun
yang perlu digaris bawahi pada saat itu adalah tingkat persaingan yang tidak
kalah dengan pertandingan sepak bola, yakni ada partner bersaing yang sama-sama
kuatnya.
Dibanding dengan pesaing saya
yang tak lain adalah anak seorang guru, rajin, dan kecerdasan yang bisa saya
tebak karena faktor buah jatuh yang tak jauh dari pohonnya alias menurun dari
kedua orangtuanya. Jika dianalogikan dengan saya yang…ah jika saya sebutkan
akan kena ayat tujuh pada surat Ibrahim, jadi ya, Alhamdulillah tidak kalah
dengan para partner saingan yang menurut saya sebenarnya kecerdasannya sedikit
diatas saya (somsed*).
SMP tak lain merupakan pijakan
selanjutnya dari SD, mental-mental petarung sebenarnya masih melekat dalam dada
dan jiwa saya hingga awal-awal kelas satu. Kebetulan saat itu saat kelas satu semua
siswa diwajibkan masuk siang, karena faktor jumlah kelas yang tidak mencukupi.
Jika saya analisa, faktor masuk sekolah pada siang harinya itulah yang
menyebabkan prestasi saya sedikit menurun, atau bahkan bisa dikatakan terjun
bebas. Masa SMP yang seharusnya dijadikan sebagai tempat mencari jati diri
rupanya belum saya temukan hingga tiga tahun tenggat waktu belajar yang diberikan
di sekolah yang menjadi favorit nomor satu di kecamatan Porong itu.
Dan, efek belajar yang dijalankan
tidak sepenuh hati dampaknya ternyata baru saya rasakan ketika akan mendaftar
masuk dan melanjutkan jenjang belajar di SMK. Saya tidak tahu, kenapa saya dulu
begitu penurut dan tidak dapat memberikan argumen penolakan pada orangtua. Sehingga
ketika orangtua memberi fatwa harus bersekolah di SMK, walaupun dalam hati saya
berteriak ketidakcocokan saya dengan pelajaran dan faktor lulusan yang menurut
pandangan tak jauh-jauh dari mesin, bubut, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang
begitu soro lainnya itu. Maka ketika saya
akhirnya menyadari, jika takdir NEM yang tak mencukupi sehingga saya harus
gigit jari untuk sekedar masuk SMK Negeri, dan harus merelakan pengalaman
terdampar di sekolah swasta, cita-cita yang tak pernah saya bayangkan
sebelumya.
Saya seolah dilemparkan ke masa
lalu, dimana saya harus menjalani aktivitas
sekolah pada siang hari, waktu dimana anak-anak sekolah negeri senang karena
sudah pulang, sementara saya dan banyak kawan-kawan yang lainnya berangkat
sekolah dengan ketidakpastian ada gurunya atau tidak, maklum swasta. Tak
bertahan lama sebenarnya saya menjadi murid swasta, jika saya pada saat itu,
masuk triwulan pertama kelas satu, ketika ada pendaftaran disekolah baru di
Sidoarjo dengan beragam akses gratis dan dapat uang saku, saya masuk dan
diterima. Tapi ternyata, takdir Allah memberikan saya waktu untuk tetap menahan
nafas, hingga satu tahun berikutnya. Atau ketika saya sudah berada di bangku
kelas dua..
(*bersambung..menyambung kembali
tali-temali tulisan masa lampau, untuk menggambar masa depan..)
0 komentar:
Post a Comment