Saya menuliskan status ini, dari kegundahan hati. Dibuat dua
seri. Dengan harapan, setidaknya membuka pikiran para generasi muda, khususnya
para remaja.
Kamis lalu (9/7), sekolah kami, SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo,
kedatangan tamu. Seorang Ibu dan anaknya, serta beberapa kerabat yang
mengantarnya. Anaknya yang baru lulus SD mau didaftarkan ke sekolah kami.
Sepintas tidak ada yang aneh, pendaftaran siswa baru memang berakhir hari itu,
dan esoknya tes wawancara calon siswa. Hanya kami sedikit terkejut ketika sudah
mendaftar, salah seorang kerabat Ibu tersebut berucap,” maaf, mohon
bimbingannya. Ini mau masuk Islam”.
Masuk Islam? Siapa yang masuk Islam?
Kerabat tersebut kemudian bercerita. Ibu yang diantarnya itu
dulunya Islam. Dia punya tiga anak. Setelah berpisah dari suaminya, keadaan
ekonominya limbung. Pekerjaannya berjualan sosis di depan rumah tak bisa
mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Pada saat itulah, datang misionaris Kristen
menawarkan bantuan (tentunya tidak gratisan).
Setiap bulannya Ibu tersebut dapat jatah uang 400 ribu plus
beras 20 kilo. Dengan catatan, tiap akhir pekan harus hadir ke gereja. Di
sekitar rumahnya di kawasan Surabaya, ternyata juga banyak warga yang mengalami
nasib serupa. Ekonomi lemah, akidah tergadai murah. Terhitung sejak tahun 2013,
Ibu tersebut resmi murtad. Yang disayangkan, Ibu tersebut juga mengajak salah
satu anaknya (yang sekarang mendaftar di SMP Musasi dan memeluk Islam kembali).
Kasus tersebut terkuak, setelah Ibu-ibu Aisyiyah Sidoarjo mendapat
laporan adanya praktik kristenisasi di sebuah kawasan di Surabaya. Salah satu
yang diselamatkan akidahnya adalah Ibu dan anaknya tersebut.
Saat ikrar syahadat di Masjid Musasi, tampak kedua mata Ibu
tersebut sembab. Ada yang mengendap di sudut kedua matanya. Kepala Sekolah dan
Waka Ismuba yang mendampingi prosesi itu berpesan, agar agama Islam ini menjadi
agama terakhir dan dipertahankan sampai mati, tidak gonta-ganti. Akidah anaknya
juga diperhatikan, sebab anak adalah fitrah. Dia menjadi Yahudi, Nasrani, atau
Majusi bergantung dari kedua orangtuanya.
Pandangan kepala sekolah kemudian beralih pada sang anak
yang duduk di sebelah Ibunya,
“masih hafal Al Fatihah?”
Anak tersebut mengangguk, lantas membunyikan ayat pertama
sampai terakhir dari surat pembuka Alquran tersebut.
“Al-Ikhlas?”
Bibirnya ternyata masih begitu fasih menyebut bacaan surat Alquran
nomor 112 itu, yang kemudian dilanjut dengan Al-Falaq dan An-Nas.
Kami tak bisa menyembunyikan keharuan. Ada tantangan besar
dalam penguatan ekonomi umat. Ada juga PR besar yang harus dipikirkan bersama: penyelamatan
akidah.
27 Ramadan 1436 H
0 komentar:
Post a Comment