“Kau tahu, Musa, apa
tanda perbuatan kita akan mengantarkan ke surga?”
“Jika ada setan
menghalangi, itulah tanda perbuatan kita benar. Ingatkah kamu kisah Ibrahim
ketika ia menerima perintah menyembelih Ismail? Berhari-hari Ibrahim berpikir
apakah ini perintah Allah atau sekadar bunga tidur. Ia bawa Ismail ke bukit
dengan hati ragu-ragu. Tapi di jalan, iblis menghalang-halangi, maka yakinlah
Ibrahim bahwa perbuatan itu benar-benar perintah Allah!” (Cuplikan Novel Pak
Guru, hal. 307)
Mendengar kata Guru, pandangan sebagian dari kita akan
terlempar pada sosok yang cerdas, penuh kharisma, berwibawa, dan lekat dengan
keteladanan bagi muridnya. Namun, tunggu dulu, kita pun perlu menyodorkan
sebuah logika: sosok guru juga manusia. Jika sudah demikian, maka tak perlu
heran jika banyak kekurangan dan kealphaan dari seorang Umar Bakrie, karena
sekali lagi, dia pun manusia. Tapi sejenak kita merenung, selain kembali pada FITRAH sebagai manusia, sosok guru juga
harus meluruskan KHITTAH (garis
besar perjuangan).
Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal
10 ayat (1) menyatakan bahwa guru mempunyai 4 kompetensi, yaitu kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional serta kompetensi
sosial. Nah, melihat kenyataan diatas, guru tak selayaknya menjadi manusia yang
sama dengan manusia kebanyakan. Lho? Dalam hal kompetensi kepribadian, jika
dianalogikan mahasiswa yang baru lulus kuliah dan mendapatkan nilai IPK, maka
seorang guru harus mempunyai kepribadian yang ber-IPK diatas 3,00 atau yang lebih
radikal dia harus cumlaude dalam
kompetensi kepribadian.
Dalam novel Pak Guru, setidaknya kita dapati gambaran dan
dinamika kehidupan guru. Lika-likunya menjadi berharga, ketika banyak
nilai-nilai kearifan yang terkandung dalam novel bertebal 328 halaman ini.
Novel yang berlatar pedalaman Lamongan pada tahun 70-an itu
menggambarkan sosok Musa, guru yang baru saja diangkat menjadi kepala sekolah
di SDN Sidomulyo. Sebagai guru baru yang belum kenyang pengalaman, dia merasa
berat ketika Pak Danutirto, kepala sekolah sebelumnya, menunjuk Musa untuk
menerima tongkat jabatan sebagai kepala sekolah yang baru. Musa yang dianggap Pak
Danutirto sebagai sosok yang berdisiplin tinggi dan penuh tanggungjawab dalam
mengemban tugas dianggap paling cocok untuk menggantikan Pak Danutirto yang
harus pensiun.
Padahal, jika melihat peta senioritas, masih ada sosok Pak
Sarkowi, guru yang umur dan pengalamannya lebih tinggi dari Musa. Namun, Pak
Danutirto mempunyai pandangan lain, maka dia tetap memilih Musa untuk
menggantikannya. Karuan saja, keputusan sang kepala sekolah menjadikan iri hati
Pak Sarkowi. Sebagai guru paling senior di sekolah yang sekelilingnya daerah
pertambakan itu, dia merasa dilecehkan. Sejak Musa diangkat sebagai kepala
sekolah baru, api kecemburuan Pak Sarkowi makin membesar. Dia mengannggap Musa
anak kemarin sore yang tak pantas menjadi kepala sekolah.
Dalam tiap rapat guru yang dipimpin Musa, Pak Sarkowi selalu
mencari alasan untuk enggan menghadiri. Dalam tiap kesempatan bertemu para guru
yang lain, Pak Sarkowi selalu menghembuskan api permusuhan pada Musa, sang
kepala sekolah. Puncaknya, ketika Musa menolak pengajuan KPN (Koperasi Pegawai
Negara) yang diajukannya Pak Sarkowi. Bukan tanpa alasan Musa menolak
permintaan tersebut. Menurut Musa, gaji guru yang tak seberapa, lalu banyak
potongan, maka guru dikhawatirkan banyak mencari obyekan di luar. Para murid
pun yang menjadi korban. Namun, karena sudah diliputi rasa kebencian, kebaikan
yang disampaikan Musa tak berarti apa-apa dihadapan Pak Sarkowi.
Lain fragmen, Musa
juga berhadapan dengan Bu Eni, guru pindahan dari SDN Alun-alun, sekolah yang
berada di kawasan kota. Keinginan awalnya menjadi pegawai kantoran tak kesampaian
karena Bapaknya menginginkan dirinya untuk jadi guru. Akibatnya pun bisa
ditebak, dia banyak melamun ketika berada di kelas. Raganya berada di depan
murid-muridnya, tapi pikirannya melanglangbuana kemana-mana. Penampilannya pun
tak seperti kebanyakan guru pada umumnya. Jika digambarkan, sosoknya seperti
etalase berjalan. Kegemarannya membaca majalah mode ibukota menuntutnya untuk selalu
ikut tren. Gaya hidup dan cara berpakaian pun lebih banyak berkiblat pada
majalah mode tersebut.
Ketika para guru pada saat itu paling mentok memakai sepeda
pancal, Bu Eni nekat ingin memiliki motor. Setelah pengajuan KPN-nya tak
disetujui kepala sekolah, dia memutar otak. Di dekatinya kepala sekolahnya dulu
di SDN Alun-alun yang juga adik dari bapaknya itu untuk bisa pinjam KPN. Akhirnya
dia menjadi guru pertama di sekolah itu yang memakai motor. Selain bekerja
sampingan sebagai pedagang kosmetik pada para ibu-ibu, lama-lama ia juga
menjadi joki dalam meloloskan murid-murid SD ke SMP negeri. Bu Eni dikenal
mempunyai banyak channel pada orang
dalam SMP. Tentu, untuk urusan tersebut tidak gratis, alias pasang tarif. Sebagai
kepala sekolah, Musa tak ingin praktik ketidakjujuran tersebut tumbuh subur. Baginya,
menuntut ilmu harus diperoleh dengan jalan kebaikan, bukan dengan sogokan.
Mulailah dia menjalani “jihad” memberantas kemungkaran yang
terjadi di depannya dengan tangan (kekuasaan sebagai kepala sekolah). Bukan
dengan jalan kekerasan, namun dengan cara yang moderat dan elegan, yakni
mendatangkan sosok Ustadz. Cara tersebut rupanya ampuh ketika Ustadz tersebut
memberikan nasehat pada para walimurid kelas 6 agar tak menggunakan cara-cara
haram dalam memuluskan jalan anaknya untuk menuntut ilmu. Walimurid akhirnya
lebih banyak menggunakan jalan legal. Musa lega, praktik kotor “bawah meja” tak
terulang.
Novel besutan Awang Surya ini merupakan novel persembahan
untuk “Musa” Mudjib Sholeh yang tak lain adalah guru, kepala sekolah dan
bapaknya. Satu pesan kuat dalam novel ini, jika kita menempuh jalan kebenaran,
akan selalu mendapat perlawanan dan hambatan dari setan. Musa tak ingin para
guru menjadi sosok konsumtif, sehingga gajinya tak menjadi berkah bagi
keluarganya. Dia juga tak ingin cara-cara kotor dilalui, hanya karena keyakinan
yang kurang pada keberhasilan. Musa selalu ingat pada nasehat Haji Husin,
kakaknya yang juga anggota Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan, ketika sakit
dia menyempatkan untuk menguatkan hati Musa.
“Kalau sekarang ini
kamu mengajak anak buahmu hidup bener, tapi mereka menolak, itu tanda
perbuatanmu benar. Jangan ragu…, hadapi! Insya Allah pertolongan Allah akan
datang tepat pada waktunya.”
Judul : Pak Guru Penulis: Awang Surya Penerbit: Ersa-Jakarta (2014) |
PENULIS: Awang Surya |
0 komentar:
Post a Comment