Pemandangan saya tertimpuk pada motor yang diparkir di tepi
jalan. Tak jauh dari motor tersebut seorang laki-laki berdiri. Membelakangi
jalan raya, tanpa malu-malu kemudian menuntaskan hajatnya. Ya, pengendara motor
tersebut dengan rasa percaya dirinya (maaf) kencing di tepi jalan. Jika itu
dilakukan saat malam, saya menjadi lumrah, tapi ini dilakukan pagi hari, saat
matahari sudah bersinarl terang, dan pemandangan menjadi gamblang.
Astaghfirulah, saya berdoa, semoga adik perempuan saya tidak melihat
pemandangan yang di banyak negara masuk daftar pelanggaran berat.
Saya tidak bisa membayangkan mengapa dengan populasi yang
mayoritas muslim, negara kita ini menanggalkan rasa malunya. Mereka salat dan
menjalankan puasa, tapi kemudian buang apa-apa sembarang saja. Jika untuk
membuang barang najis saja seperti air seni sendiri, mereka tidak punya rasa
malu. Apalagi untuk membuang sampah dan mengotori lingkungan.
Membandingkan dengan Singapura yang terkenal bersih saya
jadi ngiri. Mendengar negeri singa itu menerapkan denda besar bagi mereka yang
membuang sampah sembarangan, saya jadi sakit hati. Dan sakitnya itu di…(halah).
“Ada yang salah dengan negeri ini?” pikir saya. Salah karena dijajah Belanda,
bukan Inggris. Salah karena dijajah terlalu lama hingga 3,5 abad lamanya.
Hingga mentalitas terjajahnya sampai beberapa turunan.
Guru SMA saya yang kini menjadi kepala sekolah pernah
memberikan nasehat. Karena terlalu lamanya terjajah, bangsa kita terbentuk
mentalitas terjajah. Bangsa terjajah yang mempunyai mentalitas terjajah, yang
salah satu diantaranya adalah mentalitas anti malu. Bangsa kulit gosong—begitu beliau
menyebutnya—tak lain adalah sebutan untuk bangsa dengan mentalitas inlander. Mentalitas
inlander akut salah satunya adalah tak berani menegakkan kepala. Malu tidak
pada tempatnya, dan merasa bisa padahal aslinya tidak bisa apa-apa.
Dua mentalitas terakhir rupanya kembali menyeruak dalam trending
topic terkini. Malu dan rumangsa bisa menjadi cerminan jika bangsa
kita masih belum lepas dari mental tertindas. Kisruh PSSI dan Kemenpora yang
berlarut-larut seolah merupakan gambaran nyata jika bangsa yang lepas dari
penjajahan berkat rahmat Allah semata ini masih berkutat dengan masalahnya
sendiri.
Kemenpora sebagai otoritas tertinggi pemegang kebijakan olahraga
bertindak overprocedur. Di bawah kendali Imam Nahrawi yang tak lain
merupakan politisi, Kemenpora masuk dalam lubang jarum. Alih-alih lepas dan
mengurai masalah yang membelit PSSI, campur tangan pemerintah melalui Kemenpora
membuat masalah semakin semrawut. Pembekuan PSSI tanpa disertai blue print
kompetisi pengganti menjadikan sepak bola nasional diambang sanksi.
29 Mei 2015 adalah batas akhir yang diberikan FIFA agar
pemerintah (Kemenpora) tidak memberikan intervensi dalam urusan si kulit bundar.
Lepas dari batas waktu yang ditentukan, kiamat kecil bagi persepakbolaan
nasional. Kabar gugatan PSSI terhadap SK Kemenpora yang dikabulkan PTUN
setidaknya membawa angin segar. Sepak bola tetaplah sepak bola, biarkan bola
tetap bundar dan menggelinding di lapangan. Jangan pernah membawanya keluar
menuju panggung politik yang liar.
Porong, 260515
0 komentar:
Post a Comment