Opini Jurnalistik Olahraga | 13 Desember 2012
Sabtu
(1/12) seharusnya menjadi hari yang indah khususnya bagi Timnas dan seluruh
rakyat Indonesia. Betapa tidak, unggul sementara di grup B dan memuncaki
klasemen pada perhelatan Piala AFF 2012. Indonesia yang pada pertandingan
terakhirnya hanya membutuhkan hasil seri melawan tuan rumah Malaysia, harus
gigit jari dan menelan pil pahit kekalahan dua gol tanpa balas. Kekalahan
Timnas Garuda atas Timnas Harimau Malaya-julukan Timnas Malaysia, seperti
mengulang kembali kekalahan yang dialami pada perhelatan Piala AFF 2010 lalu.
Ketika itu, Timnas Merah Putih yang masih dibesut Alfred Riedl harus bertekuk
lutut saat bersua Laskar Negeri Jiran di babak final. Kalah 3-0 pada laga away
di kandang Malaysia, Indonesia hanya mampu membalasnya dengan skor 2-1 di Jakarta.
Indonesia pun kalah agregat 4-2 dan mengubur dalam-dalam impian menjadi juara.
Awan kelabu prestasi sepak bola
Indonesia, sepertinya tak mau beranjak dan tetap menaungi dunia persepakbolaan
nusantara. Karut marutnya sistem kompetisi, kurang tegasnya peran pemerintah,
hingga dualisme kepemimpinan di tubuh PSSI, seolah menjadi salah satu sebab
gagalnya Timnas Indonesia menggapai puncak prestasi. Jangankan berbicara di
level Piala Dunia, untuk tingkat ASEAN saja, Timnas kita belum menunjukkan
taringnya. Faktor terakhir, dualisme kepemimpinan seolah menjadi momok seretnya
prestasi Timnas dalam dua tahun terakhir.
KPSI (Komisi Penyelamat Sepak Bola Indonesia) mendeklarasikan
diri sebagai tandingan PSSI sebagai upaya perlawanan atas ketidakadilan yang
dilakukan Induk Organisasi Sepak Bola Indonesia itu terhadap kubu yang sebelumnya
mendukung Nurdin Halid. Djohar Arifin Hussein sebagai pemegang otoritas tertinggi
Induk organisasi itu pun meradang. Dampaknya pun bisa diprediksi. PSSI tak
mengakui adanya liga bentukan lain, selain IPL (Liga dalam naungan PSSI). ISL
(Indonesian Super League) yang menjadi liga tandingan IPL (Indonesian Premier
league) di blacklist. Ultimatum pun
diberikan, yang intinya, tidak mengakui pemain, pelatih, wasit, dan perangkat
pertandingan lainnya yang terlibat di liga tandingan PSSI tersebut.
Ketika
Joint-Comittee (JC) yang diprakarsai
FIFA ingin menyatukan dua kubu yang berseteru pun akhirnya tak mampu.
Kesepakatan yang sudah diteken pun akhirnya buyar, dan kedua kubu kembali memegang
teguh kemauannya. Para pemain yang
merumput bersama klub ISL, dilarang bergabung Timnas. Atas keputusan itu, tak
ada lagi nama-nama layaknya Firman Utina, Ahmad Bustomi, Patrich Wanggai, atau
Christian Gonzales. Yang ada malah nama-nama pemain IPL yang bisa dikatakan
minim skill dan belum teruji jam terbangnya. Pemain-pemain naturalisasi,
seperti Raphael Maitimo, Toni Cussel, maupun Johny van Baukering pun belum
menunjukkan skill terbaiknya.
Sulitkah Mencari Sebelas Pemain?
Jumlah
penduduk terbesar kelima sedunia belum menjadi jaminan bagi Indonesia untuk
menunjukkan prestasi terbaiknya. Dengan melimpahnya Sumber Daya Manusia yang
ada di negara kita tercinta, tak sulit sebenarnya mencari sebelas pemain hebat
untuk dibentuk menjadi Timnas yang kuat. Kita mestinya malu dengan Malaysia
yang tak mempunyai pemain Naturalisasi tapi mampu menunjukkan prestasi. Bahkan
bisa mengalahkan Timnas kita yang diperkuat sejumlah pemain impor yang masih
diragukan nasionalismenya. Dua kali kekalahan beruntun dari Tim Harimau Malaya,
seharusnya menjadi cambuk dan cermin bagi pemegang tertinggi otoritas
persepakbolaan nasional. Jangan sampai dualisme kepemimpinan menjadi masalah
yang berlarut-larut yang tak berkesudahan, yang berpengaruh tak hanya pada
terhambatnya prestasi Timnas, namun juga pada iklim persepakbolaan nasional.
Kita tak ingin karut marutnya persepakbolaan nasional malah menjadikan
Indonesia menuai sanksi FIFA.
Jauhkan Sepak Bola dari Kepentingan Politis!
Pertarungan
dua partai politik diduga juga berpengaruh dalam karut-marutnya persepakbolaan
nasional yang tak kunjung usai. Dua partai yang berlatar belakang berbeda dan
mempunyai kepentingan yang tak sama, menjadi salah satu faktor mandegnya
prestasi dan iklim persepakbolaan Indonesia. Kita semestinya berkaca pada
Thailand yang dalam beberapa tahun yang lalu juga diwarnai kisruh politik yang
sempat membuat perekonomian negeri Gajah Putih tersebut ambruk. Namun,
yang perlu digarisbawahi, meskipun
perekonomian dan stabilitas keamanann terganggu, namun iklim persepakbolaan
negara yang bermata uang Baht itu tetap berjalan kondusif, urusan politik tidak
sampai mencampuri.
Bila
kita menengok kembali kekisruhan yang terjadi dalam tubuh PSSI, perlunya
ketegasan pemimpin dari Menteri sebagai pembantu Presiden, agar dapat membuat
regulasi dalam kepemimpinan yang berintegritas. Menteri Pemuda dan Olahraga
sebagai pemegang komando kepemimpinan diatas ketua umum PSSI, seharusnya
memberikan efek jera terhadap para provokator yang menghambat laju prestasi
persepakbolaan nasional.
Diatas
itu semua, upaya menyatukan kembali kepemimpinan dalam tubuh organisasi sepak
bola terbesar di Indonesia ini wajib diwujudkan bersama agar negeri dengan
rakyat yang mayoritas penyuka si kulit bundar ini dapat berbangga diri dengan
tim nasionalnya. Dan, tentunya iklim kompetisi yang kondusif akan menarik pihak
sponsor, yang berkorelasi positif terhadap kemampuan finansial klub yang
bernaung dibawah organisasi PSSI itu sendiri.
Daftar Pustaka:
Harian Jawa Pos,
terbitan Minggu, 2 Desember 2012
gambar: http://previews.123rf.com/
0 komentar:
Post a Comment