Kumandang adzan maghrib baru saja terdengar sayup-sayup.
Gerobak itu masih penuh tumpukan sampah. Anak kecil itu menangis meratap dan
mengiba, entah apa yang dimintanya, mengharap sang Ibu berhenti mengangkuti
sampah yang masih menggunung di bak-bak sekolah itukah? Atau mengharap sang
Bapak menghampirinya sejenak, menggendongnya, dan membelikannya sekedar permen
atau makanan ringan?
Ternyata tidak, kedua orangtuanya masih saja berkutat dengan
“ladang rezeki” yang kadang tak mengenal waktu. Memang, untuk mengambil
sampah-sampah itu, mereka harus menunggu jam sekolah berdentang berkali-kali,
dan memastikan para penghuninya pergi. Baru kemudian, mereka bisa memungut
sampah-sampah yang kadang mereka sendiri tak pernah andil terlibat, tapi
tahu-tahu sudah menggunung. Dari sampahlah mereka mengais rupiah demi rupiah.
Monas, 22 Oktober 2014.
Portal berita online menulis sampah-sampah yang berserakan
usai “konser rakyat”, “syukuran rakyat” atau “pesta sehari, setelah itu kerja
dan kerja”, entah apalagi namanya, yang banyak bertebaran di Monumen Nasional.
Konon, jargon revolusi mental yang di dengung-dengungkan sebelumnya, hanya
menjadi isapan jempol. Buktinya, meski beragam himbauan konon banyak
dilayangkan di media sosial, namun hasilnya nol besar. Bahkan, salah satu
postingan di fesbuk memperlihatkan alat kontrasepsi bekas pakai yang termasuk
menjadi “komoditi” sampah sisa “pesta semalam suntuk” tersebut, na’udzubillah.
Jargon revolusi mental; jujur, sederhana, dan merakyat;
serta “..adalah kita”, seolah menjadi bias bila dihadapkan pada realita yang
ada. Jika memang memakai alasan merevolusi mental tidak gampang dan tak semudah
membalik telapak tangan, maka kenapa harus menuliskannya di media cetak yang
bertiras lumayan? Mengapa tak membukukannya sehingga latar belakang, rumusan
masalah, hingga hipotesis yang diunngkapkannya jelas?
Apakah syukuran itu tak boleh? Jelas boleh. Tapi haruskah
dengan cara hura-hura, menafikan keadaan bangsa yang sedang banyak dirundung
duka, dari Sinabung yang meletus, kebakaran hutan sampai-sampai asapnya kita
“ekspor” ke negeri jiran? Atau kalo tak mau jauh-jauh, dari kebakaran ratusan
rumah yang terjadi di Jakarta? Atau kekeringan yang melanda negeri gemah ripah
loh jinawi ini? Wooii, dimana empati kita sebagai bangsa yang konon menjunjung
tinggi adat-adat ketimuran?
Apakah itu yang dimaksud dengan “KITA”?
Bukan! Kita bukan mereka..
Kita adalah golongan hamba, yang ketika amanah diberikan,
kita tidak tertawa, tapi kita menangis, karena ada beban yang amat berat yang
harus kita pikul.
Kita bukan mereka..
Kita adalah bangsa Indonesia, yang ketika saudara sebangsa
dan setanah airnya sedang menanggug beban derita, kita mau memikirkannya. Bukan
malah berpesta pora, dengan dalih “rakyat”, yang katanya untuk rakyat, tapi
nyata-nyatanya hanya untuk memuaskan syahwat.
Dan kita bukanlah mereka..
Karena sejarah kita melahirkan tokoh-tokoh yang tak tunduk
pada asing. Tak menjilat antek-antek “kompeni”, dan tak tunduk pada kepentingan
penjajah. Serta tak pernah menjual bangsanya sendiri.
Kita akan bangga, ketika “blusukan” tak menjadi busuk karena
polesan media mainstream, tapi karena niat bersih dan benar. Meleladani sikap
Umar RA., yang ketika malam-malam sendirian mengangkut gandum sekarung untuk
salah seorang rakyatnya.
**
Maghrib pun berlalu, cahaya emas di ujung barat kini
berganti kelabu dan gelap, tanda-tanda malam akan menggantikan siang. Tapi
suara tangis anak kecil itu tak terdengar, entah kemana..
0 komentar:
Post a Comment