Hari keempat Ujian Kenaikan Kelas
(UKK) SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, artinya juga sudah dua kali juga menjadi
pengawas ruang kelas yang menjadi tempat ujian. Disaat yang sama, saya
menemukan beberapa fakta, yang menuntut saya untuk selalu tamak ilmu, bukan
tamak harta, tahta, apalagi wanita. Di satu sisi saya juga menangkap sebuah
pelajaran berharga, betapa profesi seorang Guru dituntut untuk serba bisa dalam
segala hal..
Hari pertama, Selasa (3/6) ketika
mata pelajaran yang diujikan adalah Matematika dan Ke-Muhammadiyahan (KMD),
saya tidak terlampau sulit untuk melayani pertanyaan dari para murid, baik
kelas tujuh ataupun kelas delapan. Meskipun dulu ketika masih di bangku SMP
tidak pernah menjadi juara kelas, dan kurang begitu antusias dengan pelajaran
hitung-menghitung (entah, motivasi belajar saya ketika SMP begitu buruk :(),
namun setelah meihat dengan seksama soal yang ditanyakan, bagaimana cara atau
rumus untuk mengerjakannya, saya akhirnya berucap lirih namun pasti: b i s a!
Pun demikian dengan pelajaran KMD.
Bekal belajar selama mengaji di TPA (Taman Pendidikan Alquran) Nurul Huda,
serta mengkaji di majelis-majelis ilmu yang ada di kota domisili, setidaknya
memberikan bekal untuk paham, khususnya dalam sejarah perjalanan Persyarikatan.
Hanya sedikit yang menjadi hambatan, salah satunya adalah ketika para siswa
selesai mengerjakan soal dan mengembalikan lembar jawaban, secara teknis saya
masih kurang begitu lancar, baik dalam menyusun kembali lembar jawaban maupun
soal yang telah dikembalikan. Ketelitian juga menjadi catatan, karena saya
kadang melewatkan tanda tangan berita acara, penyusunan lembar jawaban dari
yang terkecil hingga terbesar, dan lain sebagainya. Maklum, masih calon Cik
Gu..
Namun, menginjak hari kedua, saya
kembali kepada topik awal, bila Guru
harus selalu meng-udate ilmu. Saat menjadi pengawas hari kedua, dengan
matapelajaran yang diujikannya adalah IPA. Ketika salah seorang siswa beranjak
kedepan menghampiri saya dan bertanya salah satu soal yang tidak ada pilihan
jawabannya, dan kemudian siswa tersebut menjelaskan alur pemikiran untuk
menyelesaikan soal tersebut dengan memaparkan step by step rumusnya, saya
akhirnya membatin, betapa fakir ilmu diri ini, betapa sombong akan kemampuan
yang dimiliki. Karena saya hanya bisa manggut-manggut mendengar penjelasan yang
diberikan siswa, dan menyampaikan kata pamungkas: dihitung lagi dengan teliti,
nanti pasti ketemu jawabannya ya..
Bel tanda berakhirnya ujian belum
berbunyi, masih banyak juga ternyata para siswa yang bertanya, entah itu
pertanyaannya seperti, apa pengertian dari resonansi; lampu pijar itu yang seperti
apa, hingga pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat saya terkekeh bin
ketawa..haha. Lebih dari itu, tekad saya untuk belajar IPA juga semakin
membulat.
Ternyata, ujian jam pertama seolah
menjadi testcase bagi saya, di paroh kedua ujian yang mengetengahkan
matapelajaran khas sekolah Islam, ya dialah Bahasa Arab! Bekal bahasa Arab
dasar selama di TPA, ternyata masih kurang mumpuni untuk menjawab soal-soal
Bahasa Arab yang ada di SMP. Saya kemudian bertanya pada diri saya, kemana saja
saya selama ini, hingga tak sempat untuk belajar bahasa yang ada dalam kitab
petunjuk dan penerang, Alquran-al-kariim tersebut. Untungnya, salah seorang
pengajar Bahasa Arab, Ustadz Ardian, yang lulusan Mesir dan bergelar Lc., masuk
kelas yang saya jaga dan menawarkan kesempatan untuk bertanya bagi para siswa.
Hah, tekad saya pun semakin
membulat tiga ratus enam puluh derajat, saya harus belajar..belajar..dan
belajar! “Dan mengajarkannya adalah satu bentuk mengaplikasikan ilmu tersebut
menjadi seratus persen, dan hanya empat puluh persen saja, bila kita hanya
belajar teorinya,” nasehat Pak Puji, Guru Bahasa Indonesia di Smanor.
*Porong, 6614
Ketika Kumandang Salat Wustho Memanggil
dan Menggema
0 komentar:
Post a Comment