Olahraga lahir dan
berkembang berawal dari tradisi. Sumber-sumber sejarah menyimpulkan, bahwa
olahraga memiliki akar yag berasal dari aktivitas manusia untuk meningkatkan
kemampuan dalam menaklukkan alam dan lingkungan. Dari Majalah FORMULA, volume IV-September 2010, kita akan belajar
mengenal dan mencoba melestarikannya.
Tak sedikit dari olahraga
yang berkembang saat ini berasal dari tradisi budaya suatu bangsa. Berbagai
catatan sejarah pun membuktikan, semisal catatan seorang petualang bahari,
Kapten Cook yang menyebutkan, saat ia pertama kali datang ke kepulauan Hawaii,
pada tahun 1778, ia melihat penduduk asli melakukan aktivitas selancar.
Kemudian penduduk Indian yang merupakan
masyarakat asli Amerika Serikat, bermain ‘lacrose’, sepak bola, lari, dan
sejenis permainan atletik lainnya.
Lalu, ada suku Maya dan Aztec di
Amerika Selatan, yang mempunyai budaya permainan bola. Lapangan yang digunakan
dahulu, masih digunakan sampai sekarang. Karena itu, cukup beralasan bahwa
olahraga dapat dikatakan memiliki akar yang bersumber dari kemanusiaan itu
sendiri.
Di Indonesia, kegiatan semacam hal
tersebut masih bisa diketemukan, dan sangat beragam di hamper setiap komunitas masyarakat, yang
lebih dikenal sekarang dengan olahraga tradisional. Lihat saja, tradisi
melompat batu (fahombe batu),
olahraga tradisional bak olahraga loncat tinggi di dunia olahraga modern itu,
sejak zaman nenek moyang telah menjadi ciri khas dari masyarakat Nias, tepatnya di Kabupaten
Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara.
Tradisi melompat batu setinggi lebih
dari 2 meter itu adalah ritus budaya untuk menentukan apakah seorang pemuda di
Desa Bawo Mataluo dapat diakui sebagai pemuda dewasa atau belum. Para pemuda itu, akan diakui sebagai lelaki pemberani dan
memenuhi syarat untuk menikah, apabila dapat melompati sebuah tumpukan batu
yang dibuat sedemikian rupa yang tingginya lebih dari dua meter.
Cara melakukan lompat batu, para
pemuda sambil mengenakan pakaian adat, berlari dengan menginjak batu penopang
kecil terlebih dahulu untuk dapat melewati bangunan batu yang tinggi tersebut.
Sampai sekarang tradisi ini tetap terjaga di tengah gempuran budaya modern yang
semakin deras.
Sejauh ini hanya Indonesia yang mengenalkan jenis
olahraga tradisional kepada publik dalam negeri. Yang dimaksud dengan olahraga
tradisional adalah jenis olahraga yang timbul berdasar permainan dari
masing-masing suku dan etnis yang ada di Indonesia. Dan cabang-cabang ini tidak
semuanya dilombakan laiknya fahombe batu, baik secara nasional maupun
internasional.
Olahraga tradisional semacam Fahombe
Batu (Nias). Rajo-rajo (Bengkulu),
Naik Sigai (Kalimantan Selatan), Cu
(Jambi), Hekan Salu (Sulawesi Tenggara), Kuda
Tunggang (Sumatera Utara) Serok Mancung (Jawa Tengah). Kemudian Kerbau-kerbauan
(Kalimantan Timur), dan Mana Tika (Nusa Tenggara Timur),
dalam suatu festival olahraga tradisional, hanya disajikan sebagai pertunjukkan
permainan saja, tidak dilombakan.
Sedangkan olahraga tradisional yang
sedang berkembang di Indonesia, yang sekarang diperlombakan atau
dipertandingkan diantaranya adalah Sepak
Takraw, Pencak Silat, Karapan Sapi, Engrang, Patihol, Congklak, dan Pacu Jalur.
Olahraga-olahraga tersebut harus terus dikembangkan agar dapat tetap diwariskan
kepada generasi muda bangsa. Salah satu even untuk melestarikannya, diadakanlah
Festival Olahraga Tradisional (FOT),
yang pada tanggal 15-18 Juli tahun lalu, diselenggarakan FOT VII di Ambon. Berikut beberapa olahraga tradisional yang
umumnya diperlombakan:
GASING
Gasing merupakan salah satu
permaianan tradisional Nusantara. Di wilayah pulau tujuh (Natuna), Kepulauan
Riau. Permainan gasing telah ada sebelum penjajahan Belanda. Sedangkan di
Sulawesi Utara, gasing mulai dikenal sejak 1930-an. Permainan ini dilakukan
oleh anak-anak dan orang dewasa. Biasanya dilakukan di pekarangan rumah yang
kondisinya keras dan datar. Permainan gasing dapat dilakukan secara perorangan
maupun beregu dengan jumlah pemain yang bervariasi sesuai kebiasaan didaerah
masing-masing.
GOBAK SODOR
Permainan ini adalah sebuah
permainan grup yang terdiri dari dua grup, dimana masing-masing tim terdiri
dari 3-5 orang. Inti permainannya adalah menghadang lawan agar tidak bisa lolos
melewati garis ke baris terakhir secara bolak-balik dalam area lapangan yang
telah ditentukan. Permainan ini biasanya dimainkan di lapangan bulutangkis
dengan acuan garis-garis yang ada, atau biasa dengan menggunakan lapangan
segiempat dengan ukuran 9 x 4 meter yang ibagi menjadi enam bagian. Garis batas
dari setiap bagian biasanya diberi tanda dengan kapur.
Anggota grup yang mendapat giliran
untuk menjada lapangan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu anggota grup yang
menjaga batas horizontal dan anggota yang menjaga daerah vertikal. Bagi anggota
grup yang mendapat menjaga garis batas horizontal, maka mereka akan berusaha
untuk menghalangi lawan mereka yang juga berusaha untuk melewati garis batas
yang sudah ditentukan oleh garis batas bebas. Bagi anggota grup yang
mendapatkan tugas untuk menjaga garis batas vertikal (umumnya hanya satu orang),
maka orang ini mempunyai akses untuk keseluruhan garis batas vertikal yang
terletak di tengah lapangan. Permainan ini sangat mengasyikkan sekaligus juga
sangat sulit, karena setiap orang harus selalu berjaga dan berlari secepat
mungkin jika diperlukan untuk meraih kemenangan.
ENGRANG
Engrang, Egrang atau Jangkungan
adalah galah atau tongkat yang digunakan seseorang agar bisa berdiri dalam
jarak tertentu di atas tanah. Egrang berjalan adalah egrang yang dilengkapi
tangga sebagai tempat berdiri, atau tali pengikat untuk diikatkan ke kaki, yang
digunakan untuk berjalan diatas tanah selama naik diatas ketinggian normal. Di
dataran banjir, pantai atau tanah labil, bangunan sering dibuat diatas
jangkungan agar tidak rusak oleh air, gelombang, atau tanah yang bergeser.
Jangkungan telah dibuat selama ratusan tahun. (bersambung..)
0 komentar:
Post a Comment