Pagi tadi ketika berniat berangkat ke SMAN 1 Sidoarjo.
Ketika sampai di perempatan alun-alun terlihat sebuah spanduk bertengger di dedahanan
pohon. Tulisan yang tertera di spanduk itu yang membuat tertarik. Kurang lebih
bunyinya: “Mari Sukseskan Pelaksanaan Revolusi Mental!” Tidak ada yang salah
sebenarnya dari kalimat tersebut. Tidak pula ada yang aneh,meski virus narsis
masih menggelayut dalam mindset para pemegang kebijakan di kabupaten tercinta
kita ini. Buktinya, foto mereka selalu saja menyertai dalam setiap ucapan,
promosi wisata, ataupun dalam bentuk info dan pengumuman lainnya. Tidakkah cukup,
foto mereka tersebar begitu merata dari pendopo delta wibawa hingga pelosok
desa-desa?
Menarik ketika mengaitkan mental dan mentalitas. Dimana
setiap kebijakan yang ditelorkan tidak lain adalah sebuah ajakan untuk merevolusi
mental. Entah, yang dinamakan revolusi mental itu juga masih absurd. Se-absurd tujuan dan makna dari revolusi mental itu
sendiri. Rakyat nampaknya hanya diberikan jargon dan pepesan kosong belaka.
Buktinya, ketika kebijakan yang digedok oleh para pemangku
kebijakan di kabupaten kita tercinta ini bertabrakan dengan gaung yang mereka
sampaikan sendiri. Revolusi mental tidak akan pernah bisa berjalan, ketika
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan malah mendukung untuk mereduksi mental. Mengokohkan
mentalitas terjajah, memupuk dan menyemainya di bumi jenggala.
Kita tidak habis pikir, ketika suatu kebijakan yang banyak
ditolak oleh khalayak malah dipertahankan. Parkir berlangganan adalah yang
pertama. Bagaimana para pemilik kendaraan,mau tidak mau, harus rela merogoh
koceknya untuk mengikuti parkir berlangganan. Jika tidak mau, konsekuensinya
kadang berliku. Ada mekanisme birokrasi yang tidak mudah untuk ditembus. Bisa
dibayangkan, ketika pemilik kendaraan harus ‘bermain perasaan’ dengan juru
parkir. Bersikap tega-tegaan hanya karena uang dua ribu perak. Pertanyaannya
kemudian, untuk apa kita membayar parkir berlangganan itu? Melihat para jukir
itu menunggu agar segera diberi ceperan, sungguh membuat hati ini miris.
Bukankah mereka sudah dibayar oleh Pemkab? Saya tidak tega untuk menyebut perilaku
seperti itu karena saking lamanya kita terjajah Belanda. Penyemainyatak tak
lain adalah mereka sendiri sebagai pembuat kebijakan dan penelor undang-undang.
Jika pemimpin yang tidak bisa mengayomi rakyat, jangan
salahkan pemimpinnya, tapi salahkan rakyatnya. Lho koq bisa? Logikanya, ketika
pemimpin yang dipilih itu tidak sesuai dengan keinginan, berarti proses seleksi
yang dilakukan sangat rendah. Bisa jadi, rakyat kita tidak mampu untuk memilih
pemimpin. Tengok saja, ketika rakyat menolak untuk pengeboran Lapindo, petinggi
kita yang baru terpilih malah memberikan izinnya. Mana yang dinamakan suara
pemimpin suara rakyat? Bukankah itu bertentangan dengan rakyat. Jadi, mungkin
kita kurang cerdas dalam memilih. Bisa jadi pula kita termasuk amnesia dalam
memilih pemimpin. Entahlah sampai kapan revolusi mental tetap mengendap di
sanubari impian.
Jasem, 270116