“Nak, Mohamed Salah mengajarkan kepada kita, bahwa
manusia terlupakan itu menyimpan ledakan impian, dan manusia terpinggirkan itu
mengerikan.”
Status fesbuk dari Romi Satria Wahono, mantan peneliti di
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), itu ditulis usai pertandingan leg
pertama semifinal Liga Champions, yang mempertemukan Liverpool versus AS Roma.
Konteksnya sungguh pas, karena Mohamed Salah, salah satu bintang dalam lapangan
tersebut merupakan eks pemain AS Roma sebelum membela The Reds, Liverpool.
Siapa sangka, pemain yang mengenakan nomor punggung sebelas
itu, menjadi pemain yang berpindah-pindah klub. Karirnya tidak langsung
cemerlang, tetapi melewati beberapa proses. Pada 2013, Chelsea menjadi klub
pertama yang dibelanya di Premier League.
Sayang, Salah hanya bertahan selama
dua musim dan jarang bermain. Setelah itu, dia dipinjamkan ke Fiorentina dan AS
Roma. Di Roma, naluri mencetak golnya meningkat drastis. Pemain timnas Mesir
itu bahkan membukukan 34 gol dalam 83 laga, atau dua musimnya bersama klub
ibukota Italia tersebut. Apakah Chelsea, yang merupakan bekas klubnya tertarik?
Ternyata tidak. The Blues—julukan Chelsea—malah melelang pemain berumur 25
tahun itu dengan harga miring.
Setelah dua musim di AS Roma, Salah bergabung dengan
Liverpool. Sikapnya yang tak merayakan selebrasi saat mencetak gol ke gawang mantan
klubnya itu pada semifinal lalu, membuat pemain yang kerap merayakan golnya
dengan sujud syukur tersebut banjir pujian. Salah hanya mengangkat tangan saat
tendangannya meluncur ke dalam gawang dan tidak dapat dijangkau Alisson Becker,
kiper Roma.
**
Fenomena Mohamed Salah mengingatkan kembali pada kita, jika ingin
menjadi manusia yang sukses tidak bisa instan, butuh proses. Untuk menghasilkan
sebuah pisau yang tajam, besi yang menjadi bahan bakunya harus dipanaskan sebelum
dipukul berulang-ulang. Dipanaskan lagi dan dipukul berkali-kali lagi. Mohamed
Salah sebelum menjadi bintang seperti sekarang, dia pernah merasakan bagaimana
rasanya menjadi pemain buangan, menjadi manusia yang terlupakan.
Namun dia mempunyai impian untuk menjadi pemain andalan.
Bakat yang dimilikinya dibarengi dengan latihan yang ekstra keras dan doa. Ya,
sebagai muslim, dia tidak pernah melupakan siapa penciptanya. Saat mencetak gol
dia bersujud syukur, rasa ungkapan terima kasih telah diberikan kemudahan oleh
Allah. Dia tidak hanya berprinsip “man jadda wa jada”, tapi dia
tambahkan dalam prinsipnya itu “man jadda, insya Allah wa jada”.
Baginya, tanpa campur tangan Rabb-nya, mustahil Salah bisa
terus mencetak gol. Usaha, ikhtiar dilakukan dengan mengerahkan segala
potensinya, doa dipanjatkan pada Dzat yang menguasai alam raya, selanjutnya
sikap tawakkal dengan hasil ikhtiar dia serahkan pada-Nya. Itulah ciri manusia
beriman.
Maka, jika hari ini ada yang masih bersedih hati dengan
ucapan teman yang menyakitkan. Tersinggung dengan kelakuan kasar seorang kawan,
maka bukalah kembali lembaran cerita orang-orang sukses. Baca dan hayati lembar
demi lembar proses ‘naik kelas’ mereka. Ya, bukankah Allah memberi ujian bagi
hambaNya sebelum ditinggikan derajatNya. Maka, laa tahzan, jangan
bersedih. Innallaha ma’ana, sesungguhnya Allah bersama kita.
(* artikel dimuat di majalah SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, Musasi Magazine edisi 6)
foto: google |
0 komentar:
Post a Comment