Hari ini ketika aku mengetik kalimat diatas laptop bermerk
Asus yang masih cicilan. Aku ingin menulis, bersebab dengan menulis, virus
kegalauan akan menyingkir dan hilang, begitu katanya..
Galau? Koq bisa? “Bisa saja, namanya juga manusia,” biasa yang
diucap mereka yang mengajukan pembelaannya. Jika dirunut, kegalauan yang
pertama adalah karena faktor “I”
Berjuang dalam dunia akademik perkuliahan dalam sembilan (baca:
SEMBILAN semester) bukan merupakan catatan baik bagiku, mesipun ada yang
berseloroh, “lakon India menang keri”
(pemenang dalam film India pasti menang terakhir). Tapi masih ingatkah,
tidakkah cukup dua tahun telat kuliah menjadi cambuknya? Satu tahun menunggu
sekolah berasrama menjadi penyentil telinga? Jadi seharusnya, diri ini bukan
berleha-leha masanya, namun bergegas-cepat, ber-“fastabiqul khairats”, berlomba-lomba
menuju kebaikan. Kebaikan apapun itu, ya lulus kuliah, ya menjadi pendidik
profesional, ya menjadi imam yang baik bagi keluarga, yang terakhir itu diingat
dengan baik juga.
Mengingat kata berlomba-lomba, aku kemudian tersadar ada
kata-kata yang selalu diucapkan Principal SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo, Pak
Aunur Rofiq, tiap briefing pagi, lima belas menit sebelum para guru masuk kelas
mengamalkan ilmu:
“Hari ini bukanlah masa orang pintar mengalahkan yang bodoh.
Bukan pula yang kuat mengalahkan yang lemah. Tapi hari ini adalah masa, siapa yang
bergerak cepat, dia akan mengalahkan
yang lambat!”
Principal Smamda, SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo, Pak Hidayatulloh, pun pernah menyampaikan hal
serupa. Bila tak salah, ketika ada pelatihan Baitul Arqam (pengkaderan) untuk
para guru baru di lingkungan cabang Muhammadiyah Sidoarjo yang dilangsungkan di
padepokan Umsida, Trawas-Mojokerto beberapa waktu silam:
“Di Korea Selatan, para siswa sudah ditanamkan falsafah
ber”fastabiqul khairats”, yakni berlomba-lomba menjadi yang terdepan. Falasafah
yang ditanamkan sejak mereka masih kecil yang berbunyi: saat yang lain masih
tidur, aku sudah bangun. Saat yang lain bangun, aku sudah berjalan. Saat yang
lain berjalan aku sudah berlari. Saat yang lain berlari, aku sudah terbang."
Dalam petuahnya, beliau menjabarkan juga, bila suatu kebaikan
tidak cukup dilakukan sekali. Berulang-ulang pun menjadi biasa dan lumrah bila
banyak orang yang melakukannya. Namun, ada satu kebaikan dengan level tertinggi
dan itu tidak cukup dilakukan sekali: yakni suatu kebaikan yang dilakukan
pertama kali ketika belum ada orang yang melakukannya dan kita istiqamah
mengulangnya. Subhanallah!
Pak Imam Robandi,
petinggi Dikdasmen Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur, dan juga Dikdasmen PP
Muhammadiyah, serta lulusan doktor engineering Jepang dan menjadi guru besar
ITS berkata dalam bukunya:
“Jadilah kijang cerdas, yang berlari kencang sebelum harimau
terbangun”
Dari ketiganya ternukil pesan, bila kebaikan harus dilakukan
dengan cepat dan bersegera. Kebaikan apa saja? Ya kebaikan apapun, jangan
menundanya, karena belum tentu esok hari kita menjumpai matahari masih bersinar
di ufuk timur. Kita pun belum tentu bisa menghela nafas dan menghirup udara
pagi dari balik jendela kamar (dengan catatan kamarnya berjendela).
Spirit ideas dari para tokoh wajib hukumnya menjadi inspirasi.
Salah satu inspirasi datangnya dari Ustadzah Fine Ifike Favourita yang
mengatakan: “kehidupan sebelum menikah bukanlah apa-apa dibandingkan sesudah
menikah dan punya anak. Karena disana (setelah menikah dan punya anak) kita akan merasakan bagaimana ujian hidup
yang sesungguhnya.
Tulisan Pak Romi Satria Wahono, salah seorang penulis
favorit, dalam bukunya pernah mengutip ayat Al Quran: bila Allah tidak akan
mengubah nasib suatu kaum bila manusia tersebut tidak mau mengubahnya. Kalimat
yang termaktub dalam buku terbitan tahun 2009 yang berjudul “Dapat Apa Sih dari
Universitas”, itu secara tidak sengaja aku temukan di JP Bookstore, toko buku
milik Jawa Pos Grup yang dulu masih bermarkas di lobi lantai satu Graha
Pena.
Dan seringkali Pak Romi mengistilahkan dirinya adalah
sebagai pejuang ilmu yang berjuang laksana para pahlawan yang bertempur dengan
darah, jiwa, dan airmatanya untuk merebut kemerdekaan. Karena beliau masih
sadar bila dirinya merupakan bagian dari bangsa yang bernama Indonesia, bukan
bangsa Thailand atau Malaysia, yang mendapat kemerdekaan bukan dengan jalan
perjuangan, tapi dengan belas kasihan. Maka di setiap akhir tulisan beliau
menulis sebuah kalimat “sakti” yang menjadi semangat para pedjoeang lain yang
membacanya: “TETAP DALAM PERDJOEANGAN!”
Hidup adalah perjungan. Bila diibaratkan dengan zaman pra
kemerdekaan, maka perjuangan melawan penjajah dengan segenap tenaga, pikiran,
dan harta adalah jihad yang utama. Dalam konteks kekinian, bagaimana mewarnai
kemerdekaan ini dengan semangat djoeang yang terpatri di sanubari, dan
meyakinkan pada diri, bila tak mudah untuk meraih kemenangan. Kemenangan sejati
hanya dapat diraih dengan kesungguhan, kerja keras, semangat tinggi, pantang
menyerah, dan mengembalikan hasil akhirnya pada ketentuan Allah Azza wa Jalla.
**
Hidup adalah
perjuangan,
Dari sebuah nilai yang
dulu tak pernah lekang, dalam tiap deru nafas anak-anak SMA yang berlatih dua
kali sehari, sepuluh kali sepekan..
Hidup adalah
perjuangan,
Semangat pertama kali
yang dilihat mereka, anak-anak SMA penghuni asrama, yang menaikkan asa
menggantungkan cita-cita, setinggi langit katanya..
Hidup adalah perjuangan,
Yang terpatri dari seorang
mahasiswa olahraga, berkelana menyambung hidup pendidikan dan idealismenya
dengan menjadi karyawan perusahaan swasta..
Hidup akan tetap dalam
perjuangan,
Cermin dari seorang
calon guru: amanah dan cita-cita mendidiknya..
Hidup bukanlah hidup,
ketika langkah dan nafas perjuangan meredup,
Dari seorang manusia
biasa yang berupaya menyempurnakan separuh agamanya, yang hingga kini Allah
masih merahasiakannya..
Lidah Wetan-SMP Musasi, ghurubus
syams, ketika matahari di ufuk barat terbenam..
Dua puluh empat September berapsodi, saat jilidan proposal rampung tertandatangani..
0 komentar:
Post a Comment